"Loh, Nisa, kok kamu masuk?" tanya sesama karyawan ketika melihatku datang.
"Tukaran libur sama Mbak Ayu."
Aku bekerja di sebuah swalayan 24 jam tidak jauh dari lingkungan tempatku tinggal. Swalayan tempatku bekerja memang tidak besar, tapi memiliki cabang di kota lain. Gajinya juga lumayan.
Sebelum ini aku sudah berkali-kali pindah tempat kerja. Selain harus menyesuaikan dengan jam sekolah, juga riwayat penyakit keluargaku yang tidak mudah diterima. Padahal aku sudah menjelaskan berdasarkan ilmu medis bahwa AIDS tidak mudah menular seperti yang mereka pikirkan. Juga membawa bukti bahwa aku bersih. Tapi menghancurkan pemikiran konservatif tentang sebuah ketakutan sama seperti berperang melawan waktu.
Ketika berusaha meyakinkan pihak sekolah beserta seluruh penghuninya, aku telah menguras banyak emosi. Meski telah menunjukkan hasil tes rumah sakit, berkata dengan tegas ke sana-kemari bahwa aku bukan pengidap. Bahwa aku baik-baik saja, dan sehat, sama seperti semua orang yang berada di sekitarku, tatapan dan bisik-bisik yang mereka lakukan baik di belakang ataupun di depanku tetap tidak berubah.
Memiliki anggota keluarga yang semuanya pengidap, tinggal di rumah yang sama, makan, minum di tempat yang sama, sepertinya bagi mereka sangat mustahil ada yang tidak terjangkit. Bagi mereka penjelasan medis tidak penting, yang terpenting adalah tidak mengambil risiko. Bahkan, meski risiko itu sama sekali tidak ada.
Ilyas ... aku jadi ke pikiran setengah mati. Pertandingannya pasti sudah selesai. Tapi sampai detik ini Ilyas belum juga membalas chatku. Tidak mengangkat panggilanku.
Tiga jam lalu Ilyas balik menghubungiku setelah aku mengirimkan chat permintaan maaf karena tidak bisa datang.
"Maaf," kataku.
Tidak ada reaksi. Hening. Cukup lama. Panggilan masih terhubung dan aku bisa mendengar Ilyas menghela napas di ujung ponselnya.
"Bagaimana persiapannya? Apa semuanya lancar? Kalian pasti menang, 'kan?" Aku mengatur suaraku agar terdengar ceria.
"Sekali saja, bisa enggak aku jadi prioritasmu?" Suara Ilyas terdengar kecewa.
"Maaf ..."
"Oke, oke aku mengerti. Aku enggak apa-apa."
Panggilan diputus.
Sebenarnya Ilyas tipe yang paling tidak suka berdebat ataupun marah-marah di ponsel. Menurutnya masalah tidak akan selesai jika tidak dibahas dengan bertatap muka secara langsung. Dan aku tahu karena alasan itu Ilyas mengabaikan chat dan panggilanku.
Bagiku, akan lebih baik jika Ilyas memarahiku dan kami berdebat panjang lebar. Dibanding aku harus mendengar dia mengatakan 'mengerti dan tidak apa-apa', kemudian mematikan ponselnya. Aku suka kami berdebat, dia mengatakan apa yang ada di pikirannya, dan menyelesaikan semuanya, kemudian kembali baik-baik saja.
Setidaknya aku bisa tahu apa yang di pikirannya tentangku. Setidaknya aku jadi tahu bagaimana aku harus bersikap.
Toko sudah tidak lagi ramai, jadi aku meminta anak baru untuk menggantikanku di kasir.
"Eri, kita sudah bisa tukaran." Aku tidak boleh seperti ini terus. Aku harus menyibukkan diri agar pikiranku bisa teralihkan. "Pelan-pelan aja kalau ngasir. Jangan lupa barangnya dihitung lagi sebelum dibungkus."
"Iya, Kak. Terima kasih."
Sebenarnya aku pernah merasa lelah dan memutuskan untuk tidak pergi ke sekolah selama beberapa hari. Tapi yang terjadi orang-orang justru menganggapku mulai terkena demam. Ini menyebalkan, karena apa pun yang aku lakukan selalu salah di mata mereka. Bahkan saat aku tidak melakukan apa pun, aku tetap saja salah.
Aku ingin sekali memaki mereka semua dengan segala caci-maki merendahkan tapi apa gunanya. Kemudian, yang bisa kulakukan hanya tidak melakukan apa pun, tidak mencolok, dan tetap menjalani hidupku dalam diam.
Memang tidak semua orang memperlakukanku layaknya virus yang siap menginfeksi mereka. Masih ada beberapa orang yang kutahu percaya dan menyimpan kepercayaannya untuk diri mereka sendiri. Ada juga yang diam-diam mengingatkan jika yang lainnya mulai bersikap keterlaluan.
Dukungan secara terbuka dari Ilyas, Alvian, dan Pak Budiman, bos di tempatku kerja adalah yang paling kusyukuri melebihi apa pun. Kehadiran mereka membuatku percaya, tidak perlu meminta seluruh dunia mendengarkanku untuk bisa menemukan orang-orang yang mau berada di pihakku. Yang mau percaya tanpa syarat.
Aku mengambil barang di gudang dan mengisi stok barang yang sudah berkurang. Aku menurunkan beberapa kaleng minuman bersoda di rak bagian atas, mengelap, dan menyusunnya kembali. Aku merapikan dan membenarkan tempat barang-barang yang berantakan.
Aku harus menyibukkan diri, aku harus mengalihkan pikiranku. Jika tidak, aku akan terus gelisah.
Waktu yang kuhabiskan untuk bersih-bersih sekitar satu setengah jam. Ketika jam kerjaku akan berakhir, aku merapikan sekali lagi bagian yang baru saja selesai kubersihkan. Pintu terdengar dibuka, seorang pelanggan masuk, membuka freezer es krim, dan membayar belanjaannya di kasir.
Dari tempatku berada, semua terdengar dengan jelas menandakan akal sehatku telah kembali. Menyibukkan diri dengan bersih-bersih sangat membantu mengembalikan ketenangan. Aku sudah lebih baik sekarang.
Ketika akan beranjak, aku mengalihkan pandanganku ke ujung lorong tempatku duduk. Pelanggan yang sebelumnya membeli es krim ternyata berdiri di depan lorong tempatku merapikan barang.
Ilyas Rasyid. Dia berjalan ke arahku, berjongkok menjajariku, menatapku selama beberapa saat, dan tiba-tiba menghela napas. Satu es krim yang sudah dibuka dari bungkusnya disodorkan padaku.
Melihat wajahnya saja bisa membuatku selega ini. Aku jauh menjadi lebih tenang. Laki-laki ini, entah sejak kapan aku membutuhkannya seperti candu.
"Aku masih kesal," katanya kemudian. "Kesal setengah mati. Aku sudah menunggu seminggu penuh untuk hari ini dan ternyata ..." Ilyas menghela napas lagi. Kemudian dia melanjutkan kalimatnya dengan suara yang lebih lembut. "Aku pikir, aku bisa mengerti dan bersikap bijaksana tapi ternyata ... aku masih kekanak-kanakan, sama sekali enggak dewasa," tambahnya sembari mengacak-acak rambutnya.
"Kita, 'kan memang belum dewasa." Aku menimpali kemudian tersenyum ke arahnya. Berharap Ilyas tidak lagi merasa bersalah. Karena di sini aku tahu, kesalahan sepenuhnya ada padaku.
Ilyas balas tersenyum. "Benar. Ternyata jadi dewasa itu enggak mudah."
Sebelum jam pulang, aku menghabiskan waktu 20 menit untuk mendengarkan Ilyas bercerita tentang pertandingannya. Kami berada di lorong yang terdiri dari rak-rak sabun dan pemutih pakaian. Kami duduk di lantai, menikmati setiap waktu yang terus bergerak maju. Menikmati setiap kata yang keluar dari mulutnya.
"Alvian bukan pemain yang buruk, tapi dia selalu memilih menjadi cadangan. Katanya enggak enak sama anak-anak lain yang jam latihannya selalu penuh."
Tim futsal Ilyas kalah di final dan hanya keluar sebagai runner up. Menurut Ilyas, sebenarnya mereka bisa mendapat peluang untuk menang lebih besar, seandainya pelatih memanggil Alvian untuk turun sebagai pemain utama lebih awal.
"Dia yang memilih sendiri?" tanyaku terkejut.
Tentu saja aku terkejut. Di dunia ini siapa yang mau menjadi cadangan sementara dia memiliki kemampuan untuk menjadi yang utama.
"Sombong sekali, 'kan anak itu."
Aku tertawa pelan, " Mungkin Alvian punya masalah dengan kepercayaan dirinya sewaktu di lapangan."
"Alvian? Mana mungkin! Anak itu, 'kan memang sudah senggak dari bocah."
Benar. Bukan Alvian Putra kalau memiliki masalah dengan kepercayaan diri. Alvian bukan tipe pemalu, tukang minder, atau apa pun itu namanya. Dia bahkan terlalu percaya diri untuk anak-anak seusia kami. Terlalu sombong untuk remaja yang belum tahu banyak hal tentang kehidupan.
Sebelum akrab dengan Alvian, aku pernah salah mengartikan tatapannya.
Sekilas, tatapan Alvian terlihat seperti merendahkan semua orang yang berada di sekitarnya. Seperti seseorang yang hanya mengagungkan dirinya sendiri. Tapi, begitu akrab dan mengenal Alvian, aku baru tahu kalau tatapan seperti itu adalah bentuk kepercayaan dirinya yang tinggi. Sama sekali tidak bermaksud merendahkan orang lain.
"Ah, aku lupa sabun mandi pesanan Ibu!" Ilyas tiba-tiba berseru ketika kami di luar. "Tunggu di sini, ya!" katanya kemudian kembali masuk ke dalam toko.
Malam ini cuaca terasa lebih dingin dibanding malam-malam sebelumnya. Seharian ini langit hanya digelayuti awan keabu-abuan. Syukur hanya mendung, jadi pertandingan Ilyas bisa tetap berjalan. Ya, walau pada akhirnya aku tetap tidak bisa datang untuk memberikan dukungan.
"Eh?" Rasanya ada yang menganjal.
Aku menoleh ke belakang, celingukan ke kanan dan ke kiri. Tidak ada apa-apa. Hanya 2-3 orang yang berjalan di trotoar. Bahkan lalu-lalang kendaraan tidak begitu padat.
Perasaan apa ini? Bagaimana, ya, menyebutnya ... seperti ada yang sedang memperhatikan dari tempat lain.
Kata orang, meski mata terpejam, jika ada orang yang memperhatikan, kita bisa tahu. Jadi, apa itu benar?
"Kenapa?" Ilyas yang memperhatikan tingkahku, ikut memperhatikan sekeliling kami.
"Mungkin hanya perasaanku," jawabku lebih seperti berbicara pada diri sendiri.
"Perasaan?"
Aku menggeleng.
Kami berjalan pulang.
"Oh iya, apa hari ini Alvian ada menelepon Nisa?"
"Enggak." Aku menggeleng. "Kenapa?" Aku balik bertanya.
"Alvian tahu masalah kita hari ini, tahu alasanku marah. Karena itu dia mengabaikanku. Aneh sekali, 'kan? Kenapa dia harus ikut-ikut marah? Terus kenapa aku yang jadi sasaran kemarahannya?" Ilyas bertanya-tanya, tidak mengerti.
"Mungkin ... dia lagi ada masalah," jawabku pada kemungkinan yang bisa terjadi pada semua orang. Ilyas terlihat mempertimbangkan jawabanku meski air mukanya masih bertanya-tanya.
"Tetap saja aneh."
Akhirnya kami membicarakan Alvian sepanjang Ilyas mengantarku pulang. Semoga saja anak itu tidak sedang makan. Aku hanya khawatir dia akan tersedak karena kami terus-menerus menyebut namanya.
[]