"Bagaimana anak kami dok, apakah ... Luka di wajahnya bisa hilang? Apa-apakah wajahnya bisa kembali normal?"
Jelas sekali terdengar di telinga Rania, suara lirih ibunya yang disertai isak tangis, sedang berbicara dengan dokter yang merawatnya. Perlahan tangannya bergerak mencapai wajahnya yang terbalut perban. Dia merasa dirinya seperti mumi, meski lebih beruntung karena hanya kepala, wajah, hingga lehernya saja yang diperban.
Tapi rasa sakit dan panas di wajahnya mungkin tak sebanding, dengan rasa kecewa dan sakit hati pada temannya, yang telah membuatnya mengalami semua kejadian ini.
"Maaf sekali, putri Ibu mengalami kerusakan yang cukup parah di bagian wajahnya. Tidak ada lagi yang bisa kami lakukan untuk memperbaikinya. Hanya keajaiban Tuhan yang bisa mengembalikan wajahnya seperti sedia kala."
"Tolong ... Tolong, lakukan sesuatu untuk mengembalikan wajahnya ... Dia masih kecil, sebentar lagi dia akan lulus SMA, dia ... dia ... " Ucapan ibunya terhenti oleh isakan yang semakin memilukan. Ayah Rania yang berada di sampingnya hanya mampu memegangi tubuh ringkih istrinya yang terus bergetar. Dia sendiri tak sanggup untuk mengeluarkan sepatah kata pun, musibah beruntun yang dialami keluarganya sangat mengguncang batinnya.
"Kami turut prihatin dengan musibah yang terjadi. Semoga Tuhan memberikan ketabahan pada Ibu dan Bapak sekeluarga. Tentang putri Ibu, sebenarnya masih ada peluang untuk memperbaiki semuanya, yaitu dengan operasi plastik." Jelas dokter yang masih terlihat muda itu dengan perlahan.
"Bberapa kira-kira biayanya dok?" Secepat kilat ibu Gadis bertanya, berharap setitik keajaiban untuk putri semata wayangnya yang kini sedang terbaring di ranjang rumah sakit.
Kecelakaan pesawat yang ditumpangi kedua anaknya, tak hanya membuat putrinya cacat. Namun dia juga harus kehilangan putra satu-satunya yang meninggal di tempat kejadian.
Sungguh nestapa yang begitu dalam, kehilangan nyawa saja sudah merupakan pukulan berat bagi keluarganya., kenapa harus ditambah dengan luka yang diderita putri bungsunya ...
RG