Dis, jadi kan sekarang kamu temenin aku?"
"Oh, ketemu orang dari penerbit itu? Hari ini memangnya?!"
"Yoyoy ... "
"Jam berapa, aku masih ada satu matkul lagi abis istirahat."
"Masih lama kok, jam 4-an."
***
Gadis masih berdiri mematung di depan cermin wastafel di dalam toilet. Kilasan peristiwa beberapa tahun lalu hingga tadi siang saat dirinya masih berada di kampus, bergantian hadir di benaknya bagai sebuah slide film yang diputar di bioskop.
Ketakutan perlahan merambati dirinya. Dia takut jika rahasianya akan terbongkar, meski dia memiliki alasan untuk itu. Namun jika sampai itu terjadi, dia tidak bisa membayangkan bagaimana respon semua orang.
"Mbak, Mbak kenapa?" Salah seorang petugas kebersihan bertanya kepadanya, setelah beberapa lama dirinya melihat Gadis dengan wajah linglung, berdiri diam tanpa melakukan apapun.
Gadis tersentak, air mata yang sejak tadi ditahannya, keluar membasahi pipi dan menetes mengenai hijab yang dikenakannya.
"Aduh Mbak, kok malah jadi nangis? Maaf Mbak, saya salah apa sama Mbak?" Bingung petugas kebersihan itu yang menjadi semakin serba salah setelah beberapa orang yang baru memasuki toilet, menatapnya dan Gadis dengan mimik curiga.
"Maaf ... Tolong biarkan saya menangis sebentar." Gadis berbalik menghadap tembok untuk meredakan tangisnya. Cukup lama dia tersedu hingga sebuah panggilan di handphonenya membuatnya sekuat tenaga menghentikan tangis.
"Halo ... "
"Ya." Jawabnya pelan.
"Halo ... Dis, kamu dimana? Ke toilet kok lama amat, kamu ngga apa-apa kan?" Tanya suara dari seberang.
"Aku ngga apa-apa. Kamu udah beres belum, aku tunggu di lobi ya?" Ujar Gadis, berusaha berbicara senormal mungkin.
"Masih lama kayaknya, kita lagi bahas kontrak dulu. Jangan di lobi dong, tunggu di sini aja, aku gugup banget nih. Nanti kamu tolong bantu aku baca draft kontraknya."
Untuk beberapa saat Gadis hanya terdiam, mendengarkan helaan nafasnya sendiri sebelum menjawab panggilan kedua dari Bunga, satu-satunya sahabat Gadis di kampus.
"Halo, Dis?"
"Oke, bentar lagi aku selesai." Jawab Gadis akhirnya, setelah jeda cukup lama.
Berat bagi hatinya untuk mengeluarkan Lima kata itu, namun dia tidak tega jika harus mengabaikan permintaan Bunga.
Lima belas menit berlalu, Gadis berjalan pelan keluar dari toilet setelah merapikan penampilannya. Tak bisa dipungkiri, mentalnya masih belum cukup kuat untuk menghadapi kenyataan saat ini. Namun janjinya pada Bunga, untuk menemani dalam pertemuan dengan salah seorang dari penerbit yang akan menerbitkan novel karangannya, tak bisa diingkari olehnya.
Toilet yang dipilih Gadis berada di lantai paling bawah di sebuah mall yang menjadi tempat pertemuan Bunga dengan pihak penerbit. Sedangkan restoran dimana Bunga berada saat ini berada di lantai empat. Sengaja dia memilih toilet yang jauh agar bisa lebih lama meredakan gejolak di hatinya.
"Dis! Kamu ngapain aja sih, aku gabut banget nih, sendirian dari tadi." Bisik Bunga saat Gadis sudah duduk kembali di sampingnya.
"Kan ada temen" Balas Gadis, dengan isyarat kepala menunjuk pada seorang wanita anggun dengan setelan jas formal namun stylist yang berada di depan mereka.
Saat Gadis melirik pada wanita itu, pandangan mereka tak sengaja bertemu, membuat Gadis kentara sekali menunjukkan rasa tak suka.
"Maaf saya tidak bermaksud, hanya saja kamu ... Mengingatkan saya pada seseorang." Ucap Gadis di depannya dengan canggung.
Air muka Gadis seketika berubah. Ketakutan terlihat jelas dari matanya, dan dia berusaha menutupinya dengan memalingkan wajah. Dalam hati tak hentinya dia berdoa agar wanita itu tidak mengenali dirinya. Setidaknya untuk saat ini.
"Pacar ya Mbak?" Tanya Bunga, mencoba mencairkan kekakuan, yang dibalas dengan tawa renyah wanita di depannya.
"Bukan, dia cewek. Mata kamu, sangat mirip dengannya. Tapi, tentu saja wajah kalian berbeda."
Suara halus yang berkelas membuat Gadis takjub akan perubahan wanita itu. Andaikan saja dia bukanlah 'dia' yang sudah membuat keluarganya menderita, Gadis pasti akan terkagum-kagum dengan kepribadian wanita itu.
"Va!" Panggilan dari seseorang kembali menghentak Gadis.
"Suara itu ... "
Lima tahun berlalu, nyatanya tak ada satu hal pun yang luput dari ingatannya. Suara itu, suara ... Yala! Gadis membeku di kursinya. Betapa skenario Tuhan begitu cepat terjadi bahkan di waktu yang belum cukup untuk membuatnya melupakan masa lalu.
"Hey, kamu! Jadi yang kamu bilang mau ketemu klien tuh di sini?" Eva, wanita itu, berseru ketika bertemu seorang lelaki yang ternyata adalah Yala.
"Iya, kan aku udah bilang. Aku malah ngga tahu kalau kamu di sini juga. Kamu masih belum selesai?" Tanya Yala, tak urung kedua matanya beralih pada dua orang gadis dengan setelan casual yang duduk memunggunginya. Salah satu dari mereka tampak mengenakan scarf dusty pink untuk menutupi kepalanya.
"Sepertinya aku lupa. Oh ya, kenalin ini Bunga dan ini Gadis. Bunga ini adalah salah satu penulis baru yang akan bekerja sama dengan perusahaanku." Ucapan Eva membuat Yala maju dua langkah dari tempatnya. Bunga yang sejak tadi mendengarkan langsung sigap berdiri menghadap Yala.
"Bunga ... "
"Yala."
Setelah menjabat tangan Bunga, pandangan Yala beralih pada Gadis yang diam tak bergeming, duduk dengan wajah tertunduk di samping Bunga.
"Dis!" Bunga memanggil Gadis dengan guncangan pelan di bahunya.
"Umh ... ?!" Gadis bergumam pada Bunga.
Meski sekilas, Yala bisa melihat wajah Gadis. Ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berpaling dari raut wajah di depannya itu.
Gadis menangkupkan kedua tangannya di depan dada dengan hanya sedikit mengarahkan badan pada Yala. Sikap Gadis yang tak biasa membuat Bunga mengerutkan keningnya.
"Aku masih lama sih, kamu udah mau pulang?" Sela Eva, memecah keheningan.
"Iya, tapi aku ngga keberatan buat nungguin. Kamu ngga bawa mobil kan?" Ujar Yala, sambil sesekali mencuri pandang pada Gadis tanpa disadari olehnya.
"Iya, kan masih di bengkel. Ya udah kamu duduk di mana gitu, aku selesaiin ini dulu." Balas Eva, kembali duduk di kursinya.
"Ok. Aku di sana ya!" Ujar Yala setelah mengedarkan pandangannya yang diangguki oleh Eva.
Meja yang dipilih Yala berada tak jauh dari meja Eva dan Gadis. Posisinya sangat strategis untuk melihat Gadis yang mejanya berada di urutan tengah.
Sejak menyadari kehadirannya, Gadis tahu pandangan laki-laki itu terus tertuju kepadanya, membuatnya ingin segera pergi dari tempat itu. Kekhawatirannya muncul mengingat sosok Yala yang cermat dan pintar menganalisa sesuatu.
Menutupi kegugupan, Gadis berusaha menyibukkan dirinya dengan membaca berita dan hiburan di handphonenya. Meski usahanya tidak terlalu berpengaruh karena pikirannya dipenuhi ketakutan akan Yala, yang bisa saja menyadari siapa dirinya sebenarnya.