"Besok ya?" gumamku.
Aku memperhatikan kertas di atas meja kayu berwarna coklat, sebuah lembaran yang berisi beberapa coretan ringan, itu adalah catatan yang kubuat sebelumnya, aku kemudian membacanya ulang. Ini tentang penggunaan kemampuan astral dan memetakan cara bertarung agar lebih efektif.
Meski penggunaan kemampuan astral lebih fleksibel dari yang kuduga, tapi dalam model pelatihan haruslah fokus pada gaya bertarung sendiri.
Aku tak mau kuwalahan seperti saat bertarung dengan komandan pasukan waktu itu. Jadi aku mengubah beberapa rangkaian kemampuan dan juga kebiasaan bertarung.
Saat aku fokus membaca cara terbaik bertarung terdengar suara ketukan di pintu kamar yang berada di ujung.
"Masuklah, tidak dikunci."
Ternyata itu adalah Neil, entah ada keperluan dia malam-malam begini, namun dari raut wajahnya nampak ia sedang ingin membicarakan sesuatu yang penting.
"Ada apa Neil?"
Aku kemudian menyuruhnya masuk, lalu ia duduk di lantai menyandarkan punggungnya di dinding berwarna abu-abu, sementara aku juga duduk di lantai, kami saling berhadapan dengan meja yang ada di tengahnya.
"Maaf sebelumnya, aku hanya ingin bertanya, apa senior percaya pada Tirta?"
"Bisakah kau memanggilku Mikka saja? Aku agak sulit berinteraksi aku juga sudah menyuruh Bella melakukannya."
"Baiklah, Mikka."
Kelihatannya ia cukup ragu, tapi aku bisa mengerti, sebab tidak sepertiku yang terlempar ke dunia ini dengan sendirinya. Neil bisa disebut korban meski ia memutuskan untuk ke tempat ini.
Untuk mencoba berkomunikasi lebih aman, aku rasa lebih baik mencoba menggali informasi darinya dulu.
"Jadi, ada apa Neil?"
"Tidak, hanya saja ..."
Neil kemudian menceritakan keadaan Tirta ketika di sana, termasuk konflik yang sudah terjadi.
Dari paparannya itu, memang tak terlalu mengejutkan tapi nampaknya Neil sedikit ragu dengan apa yang ada dalam diri Tirta.
Karena beberapa kali ia merasa bahwa Tirta hanya bermain-main dalam setiap keputusannya, sebenarnya agak menyakitkan bila seseorang yang kucintai mendapat tanggapan buruk dari orang lain.
Tapi, aku ingin rasa cinta yang berkualitas bukan sebuah cinta buta, jadi aku akan mencoba memahami perasaan Neil.
"Tirta memang nampak bermain-main Neil, tapi sebenarnya kupikir dia tipe orang yang lebih sering menutupi kesedihannya agar orang lain bisa terus tersenyum padanya."
"Jadi kau mempercayainya?"
"Bukankah setiap hubungan yang baik akan terjalin jika kita saling mempercayai satu sama lain?"
Neil sedikit memiringkan kepala dan melihat ke arah lain dari sudut ruangan ini, "Kupikir kau benar, tak kusangka kau cukup profesional juga."
Syukurlah dia tidak seperti Vall, sejak aku mengenalnya, Neil terlihat memiliki kemiripan denganku, ia tipe orang yang mau berkorban pada teman-temannya.
"Apakah itu pujian? Tapi aku juga mengerti kekhawatiranmu, akan kucoba pastikan hal itu."
"Ah, kupikir kau tak perlu melakukannya." Ia menggaruk kepalanya meski tak gatal, aku pikir itu adalah sisi tidak enak darinya.
Meski zamanku berbeda dengannya, nampaknya manusia memang selalu memiliki kebiasaan yang sama dalam pola berinteraksi.
"Tidak juga, kupikir aku juga perlu memikirkan ini karena aku sendiri juga belum terlalu mengenal lingkungan disini."
"Ngomong-ngomong bagaimana keadaan duniamu, sebelum Senior—Mikka pindah kesini?"
"Kau tertarik? Baiklah akan aku ceritakan sejenak."
Aku hanya memberikan informasi singkat tentang duniaku, bagaimana teknologi di sana dan keadaan politiknya. Ia lumayan antuasias ketika mendengarnya hingga tak terasa hampir satu jam kami mengobrol.
"Senior—Maksudku Mikka? Kenapa kau bisa-bisanya meninggalkan duniamu yang damai itu?"
Nampaknya ia cukup kaget ketika ia mengetahui bahwa duniaku lebih bebas dan damai daripada yang ia duga.
"Mungkin, panggilan hati."
"Memangnya seseorang bisa pindah dunia dengan alasan sekonyol itu?"
"Mungkin karena ketidakberdayaan."
"Apa kau merasa tidak berdaya di dunia yang damai?"
"Entahlah."
Bukan masalah itu juga sebenarnya, mungkin karena ada hal yang cocok bagi jiwaku sendiri. Seperti manusia yang tinggal di pegunungan dan merindukan bagaimana debur ombak lautan atau sebaliknya.
Seolah manusia memang diciptakan untuk memenuhi segala kebutuhan jiwa dan raganya. Dan mungkin pengalaman jiwa itu dapat kutemukan di sini bukan di tempat yang damai.
**
Paginya, aku sudah mengemasi alat-alat yang akan ku gunakan dalam petualangan.
"Mikka, sudah siap?" tanya Tirta yang langsung masuk ke ruanganku.
"Ya, tentu saja."
Setelah berpamitan dengan yang lain kami kemudian keluar dari penghalang Istana. Pemandangan berubah menjadi dataran bersalju dengan tebing-tebing yang curam lalu dari kejauhan terdapat gunung-gunung yang menjulang tinggi, ada juga rawa-rawa di bawah sini.
Angin dingin cukup untuk merasuk ke kulit tubuh, meski aku dan Tirta menggunakan mantel cukup tebal namun suhu disini benar-benar ekstrim.
Aku menjentikkan jari kemudian keluar api di tangan, Ini perlu agar menjaga suhu tubuh agar tak kedinginan. Mungkin tak bertahan lama tapi cukup untuk menghangatkan. Dengan udara dan hujan salju yang tiada henti, seseorang bisa terkena hipotermia kapan saja.
"Mikka, kau terlihat kedinginan?" tanyanya di depanku, wajahnya terlihat begitu polos seolah ia tak paham dengan keadaanku.
"Tentu saja, kau pikir dengan kondisi seperti ini manusia biasa sepertiku bisa bertahan lama?"
"Kemari sebentar." Tirta tiba-tiba menarik tanganku, lalu dengan menapakkan tangannya di salah satu tebing secara ajaib tercipta sebuah gua.
Ia mengangkat tangannya lalu tanah di pinggiran mulai terbentuk seperti batang obor yang kemudian menyala apinya.
"Aku tak tahu kalau disini ada semacam tempat bersembunyi."
"Memang tidak, aku yang membuatnya."
"Tempat seluas ini?"
Aku pikir ia hanya terampil menggunakan kekuatan astral untuk bertarung, namun ternyata ia juga bisa menciptakan tempat berlindung sederhana.
Tempatnya menjadi lebih hangat, ia seperti memblokir udara dingin yang ada di luar. Pemandangan dari gua yang ia ciptakan juga nampak alami dengan permukaan yang basah sebab tetesan air di langit-langit gua.
"Mikka, kau tahu kenapa aku menyuruhmu kesini?" Tirta nampak menciptakan tempat duduk dari tanah, lalu ia mendudukinya.
"Kenapa?"
"Kau masih kurang terampil dalam pengendalian astral, jadi aku akan mengajarimu secara singkat sebelum kita ke tempat yang lebih dingin lagi."
"Apa?! Masih ada yang lebih dingin lagi dari tempat ini?"
"Tentu saja, makanya aku hanya bisa mengajakmu."
*****