Tirta kemudian mengangkat satu tangannya, "Ini adalah api?" Ia memunculkan cahaya dari proses pembakaran di atas telapaknya berwarna merah dan biru redup.
"Kau tahu di mana kesalahanmu saat menggunakannya tadi?" Senyumnya tipis, nampak memberi ruang pikiranku mencerna dan menganalisa.
"Apinya kurang besar?" jawabku.
"Salah."
"Kurang halus dan pekat?"
"Salah lagi."
Baiklah aku tidak suka tebak-tebakan seperti ini, tapi nampaknya Tirta masih mencoba menyuruhku menerkanya dengan memperlihatkan bibirnya yang semakin melengkung.
"Tirta apa kau bisa memberiku petunjuk?"
"Waktu habis." Ia menggenggam tangannya sembari memejamkan mata yang mengakibatkan api itu hilang. "Sejak awal kau tak perlu menggunakan sebuah api."
"Jika sejak awal seperti itu kenapa aku harus menebaknya?" Aku tak paham dengan maksudnya.
"Tetap saja kau harus menebaknya, ini merupakan pertanyaan jebakan." Ia nampak bangga dengan ucapannya, sejujurnya kupikir tak ada yang perlu dibanggakan dengan hal seperti saat lawan bicara salah menebak. Itu bukan suatu piala yang bisa dipajang di rak kamar.
Ia lalu kembali melanjutkan perkataannya, "Harusnya kau cukup menghangatkan tubuhmu saja dengan kekuatan astral, ini adalah sebuah cara dalam menghadapi situasi tertentu, seperti suhu ekstrim."
"Kalau bilang saja pasti mudah."
Cara menjadikannya tentu saja rumit, aku tak bisa menyebarkan kehangatan di seluruh tubuhku hanya dengan membayangkannya saja karena kekuatan astral masih rumit untuk dikendalikan.
"Sejak awal kau sudah salah berpikir, astral bukanlah satuan energi seperti sihir."
"Bukannya kau dulu pernah mengatakan astral adalah sebuah energi?"
"Aku pikir kau akan memahaminya meski aku memberikan sedikit kiasan."
Sedikit kiasan apanya? Jelas-jelas ia mencoba menyesatkanku. Wajahnya masih begitu percaya diri tanpa sedikit pun menyiratkan kesalahan akan yang diajarkan padaku sebelumnya.
Maksudku, lihatlah ajarannya yang plinplan itu.
"Akan kuberitahu satu hal saja, astral bukanlah suatu hal yang bisa dikonsepkan melainkan dirasakan," jelasnya.
"Dirasakan?"
"Huh, itulah kenapa kalian para laki-laki susah mempelajari apa yang namanya kemampuan gaib. Kalian terlalu bergantung dengan yang namanya logika," ucap Tirta sembari menggerakkan kedua tangannya setinggi dada.
"Kenapa kau seolah menspesialkan perempuan?"
"Memang begitulah kenyataannya, tapi di mana ada kata spesial maka itu ada kata biasa jika kalian para laki-laki tidak ada maka kami bukanlah spesial lagi, berbanggalah!" Tirta memperlihatkan sisi narsistiknya lagi, dari semua orang yang pernah kutemui selama hidupku, dia itu bahkan tingkat percaya dirinya lebih tinggi dari orang-orang yang memampangkan dirinya di sosial media.
Ia kemudian kembali melanjutkan kalimatnya, "Nah, Mikka kau tahu kan laki-laki itu adalah makhluk yang biasa saja, tapi meski dia biasa, dia bisa meninggikan dan membuat perempuan menjadi spesial bukankah itu luar biasa?"
"Bilang saja, kau ingin aku menuruti setiap perkataanmu."
Rasanya malas menanggapinya, kalau sudah seperti ini, dia takkan tenang sebelum ia mencurahkan seluruh pemikiran dan perasaannya itu.
"Memang hebat calon pendampingku."
Ia kemudian menarik tanganku, lalu menyentuh telapak tanganku dengan telapak tangannya.
Rasanya begitu lembut, padahal ia bekerja keras setiap hari, entah rahasia apa yang membuat kulitnya tetap lembut.
"Baiklah, kita mulai ke topik utama, astral itu bukanlah perpanjangan tubuh seperti teori sesat di anime yang kamu tonton." Ia menggesek sedikit telapak tanganku yang membuat tubuhku serasa bergejolak.
"Tir-ta?"
"Tubuh astral bukanlah tubuh, mereka tidak terbagi atas otak, kaki, tangan, dan yang lainnya. Semuanya adalah otak, semuanya adalah kaki, dan semuanya adalah tangan."
Saat dia mengesek-gesek tanganku tubuhku rasanya berkontraksi seperti ada ombak yang terombang-ambing, namun sensasinya bukan seperti itu juga seperti sensasi yang belum pernah kurasakan.
Sesaat kemudian ia melepas tanganku.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Apa yang sebenarnya sudah kau lakukan Tirta?"
Tubuh di dalamku agak bergoyang-goyang, namun kemudian rasanya energi mengalir lebih cepat dan agak besar, seperti sesuatu yang mencuat ke berbagai arah dan terkendali hampir secara otomatis.
"Ini? Semacam cheat saja."
Anehnya pengendalianku lebih mudah dirasakan. Dan rasanya aku bisa mengeluarkan sisi-sisi lain yang belum pernah kugunakan sebelumnya.
"Jangan senang dulu, istilahnya aku hanya memperlebar dan memperbanyak jalurmu."
"Hanya dengan menggesekkan telapak tanganmu ke telapak tanganku?"
Ia kemudian berdiri melihat sebentar ke arah luar memandang turunnya butiran salju yang makin pekat berterbangan terseret angin, lalu kembali menatapku.
"Aslinya tidak seperti itu, kau perlu minum banyak ramuan atau terkadang malah kau harus melakukan latihan fisik yang cukup kuat atau melakukan olah rasa."
"Tapi kenapa kau bisa hanya dengan menggesekannya?" Aku bisa melihat beberapa perbedaan seperti penglihatan dan pendengaran lain ketika mengaktifkan kemampuan astral, seolah lebih pekat dan kuat.
"Memangnya kau kira siapa aku? Aku sudah ribuan tahun mempelajari ini. Tentunya aku tahu bagaimana mengajari seseorang dan bagaimana melihat batasan mereka."
"Memang hebat sekali Ratu ku."
"Tentu."
Lihat, semakin dipuji ia semakin besar kepala. Tapi, itu tidaklah terlalu bermasalah. Dia tetaplah menarik meski ada beberapa minus dari dirinya.
***
Setelah beberapa menit mencoba aku sudah bisa menguasai apa yang dijelaskan Tirta sebelumnya. "Kurasa aku sudah siap melanjutkan perjalanan."
"Baguslah, ayo pergi."
Aku kembali keluar berada di pegunungan bersalju dan tebing curam, berjalan berhati-hati agar tak terpeleset sesekali Tirta membantuku dengan mengulurkan tangannya untuk melompati tebing-tebing yang licin.
Tujuan kami adalah ke tempat raja iblis yang ada di wilayah ini lalu memusnahkannya.
Setelah hampir satu jam perjalanan aku mulai kelelahan, kemudian Tirta kembali menciptakan gua untuk berteduh. Ia kemudian mengambil beberapa makanan melalui lubang dimensi yang ia ciptakan.
"Ini."
"Terimakasih." Memang makanan yang manis-manis dan lembut yang kubutuhkan di cuaca dingin seperti ini.
"Kau menyukainya?"
"Ya rasanya enak, tapi ngomong-ngomong Tirta, apa itu semacam penyimpanan dimensi?"
*****