Chereads / Isekai Dungeon / Chapter 2 - 7 Raja Iblis

Chapter 2 - 7 Raja Iblis

Barang di dalam tas jadi berserakan, itu benar-benar gila, seperti melihat hantaman rudal dari dekat. Untungnya tempat ini tidak terpengaruh dengan segala sesuatu yang terjadi di balik penghalang.

"Tadi itu hampir saja," ucapnya sembari memasuki penghalang tanpa menoleh ke arahku.

"Kau sudah mengalahkannnya?"

"Iya."

"Bukannya kau babak belur sebelumnya?"

"Bukan hanya dia yang kulawan, serigala itu adalah sisa yang belum kumusnahkan."

Aku melihat ke luar penghalang. Terlihat lubang besar seperti kawah layaknya habis terhantam oleh meteor, dan serangan itu dilakukan oleh gadis sepertinya, sangat menakjubkan. Setelah melihat sesaat aku kemudian kembali memasuki penghalang. Tubuh dari monster serigala itu kurasa sudah tak bersisa akibat serangan besar yang menimpanya.

Gadis itu bernapas panjang kemudian menyuruhku mengikutinya lagi. Kelihatannya ia tak menyalahkanku. Ia hanya menunjukkan beberapa tempat yang dapat aku gunakan termasuk dapur, tempat untuk mandi, tidur, dan sebagainya.

**

"Cukup bersih juga tempatnya, apa ada orang lain selain kita?" tanyaku. Mengingat Istana seluas ini cukup luas dan terawat, hanya ada sedikit debu di berbagai sudut tempat yang kutemui.

"Tidak, hanya aku."

"Kau merawat tempat ini sendirian?"

"Iya, kenapa?"

Sejujurnya aku tak tahu harus bilang apa, aku takjub padanya dapat hidup sendirian di tempat ini, meski dia seorang putri kerajaan. Aku pikir putri kerajaan hanya selalu mendapatkan pelayanan yang serba instan dari pelayannya.

"Aku hanya merasa kagum padamu."

"Jika tidak ada yang kamu tanyakan lagi, aku akan istirahat lagi."

"Baiklah."

Ia pergi kembali beristirahat, aku menaruh barangku di kamar yang sudah ia sediakan. Dunia lain, tapi sangat berbeda dari pandanganku, hanya ada dia seorang disini. Rencanaku untuk pulang ke kampung halaman sekarang jadi gagal. Lagipula di kampung halaman juga mungkin akan membebani mereka lagi, mungkin ini merupakan takdir.

***

Langit sore terlihat sangat bergairah, mega kuningnya seolah memandikan segala penjuru tempat ini, penghalangnya seperti sebuah proyeksi besar layaknya sebuah film sci-fi yang menggunakan teknologi canggih untuk membuat rekayasa pada kejadian siang malam, dan cuacanya kurasa. Tapi mungkin juga ini terhubung di sebuah tempat yang memang sama dengan dunia pada umumnya, tidak di luar seperti neraka sebelumnya.

Saat aku berjalan-jalan menikmati pemandangan sore, tak sengaja aku melihat gadis itu sedang duduk di sebuah kursi memandangi langit senja, aku segera mendekat ke arahnya.

"Maaf soal tadi pagi," ucapku padanya untuk membuka percakapan, ketika aku memandangnya ia seolah memikirkan sesuatu yang cukup rumit. Tapi kemudian ia meresponku, "Tak apa. Aku juga minta maaf telah membuatmu terlibat."

Meski baru saja bertemu, tadi pagi kami saling berdebat soal pemanggilan itu. Mungkin juga karena pertarungan sebelumnya, dan hal yang kami alami membuat mental kami sedikit lelah, sehingga kurang berpikir jernih.

"Apa kau ingin kembali?" ucapnya padaku.

"Aku tidak tahu, lagipula ini seperti film anime yang aku lihat setiap harinya."

"Oh, video bergambar itu."

"Eh, kau tahu?"

Aku agak heran ketika menyebut anime ia tahu begitu saja soal itu. Padahal dari pakaian dan model bangunan ini seperti abad pertengahan. Dari yang kuamati tidak mungkin ada hiburan seperti itu di dunia pada zaman seperti ini.

"Tentu saja, jika seorang putri tidak mengerti pikiran rakyatnya, bagaimana dia akan menjadi seorang ratu."

"Aku bukan rakyatmu lo."

"Ya, dari perkataanmu tadi pagi, aku tidak akan memaksamu untuk pulang atau menetap disini."

"Jadi sekarang kau tahu cara memulangkanku?"

"Iya, baru saja. Tapi itu semua, tergantung pilihanmu."

Ini sudah jauh dari perkiraanku seperti alur anime yang aku lihat setiap harinya. Mendengarnya itu sedikit melegakan, tapi entah kenapa aku seperti tak tega membiarkannya sendirian di tempat ini.

"Oh iya, namaku Mikka, siapa namamu."

Mungkin agak terlambat tapi seharusnya aku tahu dirinya sejak awal.

"Tirtava Novalka, panggil saja Titra, salam kenal Mikka." Ia tersenyum ke arahku entah kenapa jantungku jadi berdegub lebih kencang, kalau dibilang jatuh cinta, kesannya aku terlalu gampangan. Mungkin sekedar kekaguman sendiri, aku yakin jika sudah beberapa bulan perasaanku mungkin akan biasa saja, mungkin karena bentuk telinganya agak berbeda. Dan dalam penelitian yang aku baca, jatuh cinta sebenarnya akan terlihat ketika perasaan kita yang sama akan bertahan sampai 3 bulan. Ini belum bisa kusimpulkan begitu saja, lagipula ia terlihat sangat muda.

"Ngomong-ngomong bukankah aku terlihat lebih tua darimu Tirta?"

"Soal panggilan ya, seharusnya aku menuntutmu juga karena tidak memanggilku Putri Tirta, memang berapa umurmu?"

"Begini-begini. Aku sudah 26 tahun."

"Oh, kau sudah menikah?"

"Be-belum."

Agak memalukan tentu saja, dalam peraturan di dunia abad pertengahan bahkan seorang pria berumur 13 tahun bisa menikah. Dan seorang gadis 8 tahun saja sudah dinikahkan. Dalam pandangan Tirta kurasa aku sudah seperti seorang ayah baginya.

"Masih sangat muda itu, apa kau tahu, umurku sudah 1350 tahun."

"Apa? Yang benar."

"Ya, aku juga belum menikah."

Dia tersenyum tipis, bisa saja berbohong. Tapi mengingat dunia ini sudah seperti dunia fantasi, itu bisa saja itu terjadi.

**

Tempat ini diluar dugaanku, menyediakan segalanya. Bahkan ada listrik juga yang ditenagai dengan panel surya di kamarku. Tirta sempat memberitahuku soal ini, setelah mengobrol sedikit diluar tadi soal ruanganku. Aku sekarang jadi tambah penasaran dengannya, tempat ini seperti pencampuran abad pertengahan, modern, dan masa depan. Di beberapa ruangan aku juga menemukan ruangan yang berisi peralatan, sepertinya sebuah ruang penelitian. Fasilitasnya lengkap, jika hidup disini kurasa aku tak perlu memikirkan soal deadline pekerjaan, dimarahi client atau boss, memikirkan cicilan, omongan tetangga atau pajak negara yang serba tinggi karena kekacauan kebijakan yang dipimpin orang-orang bodoh, dan kurasa doa rakyat yang teraniaya juga yang membuat situasi negara yang kutinggali jadi seperti neraka, untunglah aku terlempar ke dunia lain sekarang.

Hanya saja satu yang kurang, adalah internet dan sinyal, jadi aku tak dapat menghubungi orang-orang di duniaku. Tapi tak masalah, aku juga kurang mempedulikan internet sejak isinya hanyalah perundungan, hoax, dan informasi yang digunakan para elit untuk mengendalikan orang-orang bawah. Mungkin sisanya yang menghibur hanyalah cerita maupun seni visual. Tak berapa lama terdengar ketukan pintu disaat aku sedang memainkan laptopku yang sedang ku charge. Tak lain yang mengetuk adalah Tirta, aku pun mempersilakan masuk.

"Apa kau cukup nyaman disini?" Tanyanya.

"Tak bisa dipungkiri, tentu. Apa aku merepotkanmu?"

"Tidak, aku malah senang, ada teman mengobrol sekarang."

Sebelum memutuskan kembali ke duniaku atau menetap disini, Tirta menyuruhku untuk belajar terlebih dahulu bagaimana cara bertahan di tempat ini, dan mempelajari apa saja yang belum kuketahui. Itu juga sebenarnya ideku, tapi tak kusangka kami sepemikiran.

Sesaat kemudian terdengar suara lonceng jam, padahal kupikir ini belum jam 12 malam. Suara itu berasal dari tengah aula istana, cukup nyaring sehingga terdengar sampai ke tempat ini.

"Sudah saatnya ya?" gumam Tirta yang memandang ke arah luar. "Aku akan pergi selama beberapa hari, kau ingin tetap disini, apa mau ikut? Tapi kadang disana cukup berbahaya."

"Tak apa. Aku ikut."

"Kalau begitu kemarilah."

Aku penasaran yang diucapkannya mungkinkah ia akan pergi keluar, namun jalur yang kita ambil adalah jalur menuju ruang bawah tanah istana.

"Kita pergi kemana?"

"Entahlah, kau sudah bawa barang yang kamu perlukan?"

"Sudah."

"Oke, disini tempatnya."

Ia membawaku ke sebuah ruangan kosong yang hanya ada lantai yang terbuat dari batuan murmer beserta dinding dan atapnya. Kemudian ia menutup pintunya.

"Kalau begitu, pegang tanganku."

"Sekarang?"

"Tentu saja. Kau tak mau kita terpisah kan?"

"Em, baiklah."

Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya, apa ini semacam tempat berteleportasi, tapi dari yang kuamati sepertinya ia akan melakukan itu. Mulai kupegang tangannya serasa halus, lembut dan hangat. Aku pikir tangannya kasar dan keras melihat kegiatannya disini. Tapi rupanya hal itu tak merubahnya. Seingatku sekalipun wanita jika melakukan pekerjaan pria tekstur tangannya akan berubah jadi lebih kasar, walaupun tidak sekasar pria.

"Untuk seorang pria, kau memiliki tekstur tangan yang lembut juga." ucap Tirta tersenyum. Apa ia membaca pikiranku, tapi itu tidak mungkin. Ia pasti akan tersinggung ketika aku memikirkan hal itu.

"Tentu saja, aku tak terlalu melakukan pekerjaan berat."

"Itu bahaya juga."

Sesaat kemudian pemandangan di sekitar menjadi berubah setelah Tirta menanggapi perkataanku.

Sejauh mata memandang hanya ada reruntuhan gedung yang sudah dipenuhi dengan pepohonan dan akar yang menjalar mengikis bangunannya. Seperti sebuah tempat yang sudah lama tak ditinggali oleh manusia.

"Dimana kita?"

Aku terpana melihat sekeliling meski langit berwarna biru serta udara yang terlihat segar namun tempat ini seperti telah lama ditinggalkan.

"Aku juga tidak tahu."

"Tunggu sebentar, kenapa kau yang mengajakku malah bilang tidak tahu."

"Memang begitu cara kerjanya."

Ruangan itu bisa terhubung dengan berbagai dunia paralel, dimana pada sistem ruangan tersebut akan membawa kami ke salah satu dunia itu untuk bersiap menghadapi para iblis yang akan menyerang kelak.

"Disini kita akan mencari apapun yang bisa digunakan untuk mengalahkan para raja iblis."

"Para? Raja iblisnya bukan satu saja?"

"Total ada 7."

"Apa?"

*****