"Laura Deana?" ucap Irul menunjuk kearah wanita di depannya.
Mulut terus menganga lebar. Irul sama sekali tidak mengerti semua ini, mengapa ia ada di sini dan mengapa ia hidup kembali. Jelas-jelas dirinya sudah mati menggenaskan tertabrak truk. Dan mengapa ia sekarang ada di sini sebagai seorang novelis. Memang novelis adalah impiannya tetapi Irul enggan untuk mewujudkannya.
Aneh tapi fakta.
Selama ia menciptakan sebuah karya, Irul selalu gagal dan banyak sekali editor menolak naskahnya. Wanita di depannya itu tersenyum, berkata,"apa kamu nggak ingat aku?"
"Aku Diana Deana." kata Diana. Pemuda tersebut menatap lamat-lamat wajah Diana yang mirip sekali dengan Laura Deana.
Bahkan, namanya aja sangat mirip. Apa dia sedang bermimpi setelah kematiannya atau menjalani hidup lagi. Mana mungkin, Irul transmigrasi ke tubuh orang lain yang namanya sama yaitu "Irul". Ia harus memastikan sesuatu, mencari sebuah kebenaran melihat kalender di layar laptop membuat matanya melotot.
"APA!"
Irul hidup di masa depan dan sudah 20 tahun yang lalu si penulis novelis terkenal, Laura Deana meninggal dan juga dirinya. Jika dia di masa depan dan transmigrasi ke sini, artinya. Menoleh ke Diana yang tersenyum.
"Selesaikan naskah mu. Kau bilang, mau mengirimkan ke editor." kata Diana pergi meninggalkan ruangan.
Irul hanya terdiam memaku. Dan perbandingan sangat jauh, ia hidup di masa depan. Buat menyakinkan lagi, Irul melihat ke arah jendela melihat bangunan tinggi-tinggi tertata bahkan ada transportasi udara dan juga robot.
Menutup laptop dan segera pergi menelusuri kotanya yang sudah berbeda dari sebelumnya. Irul masih saja tidak percaya kalau dirinya hidup di masa depan. Bukan di masa lalunya lagi. Langkah kakinya berlari kecil menelusuri sudut kota sudah berbeda dari sebelumnya sesekali ia menyenggol beberapa orang.
"Maaf."
"Maaf."
"Hati-hati kalau jalan!"
Ada salah satu orang yang protes. Namun, Irul mengabaikannya. Ia menuju ke taman yang dulu sering Irul kunjungi. Kini sudah berbeda, rerata tempat bermainnya menggunakan alat teknologi agar anak-anak terlindungi. Kemajuan teknologi sangat pesat.
Duduk di kursi taman sembari merenung. Ada yang tidak beres dengannya. Mengapa ia bisa mati dan hidup kembali menjadi seorang novelis. Bahkan Riska, temannya sudah bilang untuk terus berkarya meskipun karyanya tidak dianggap atau hanya orang tertentu saja yang baca, Irul menolak.
Ia ingin menjadi novelis karena ingin seperti idolanya, Laura Deana. Namun, seketika sirna dalam sekejap setelah meliris novel berjudul "Hujan Darah" si penulis tewas menggenaskan di dalam apartemennya. Membuat semua bertanya-tanya. Lalu Irul juga sempat membaca buku yang di tulis Laura Deana dan buku itu ia lemparkan ke luar jendela.
Terlalu menyeramkan untuk di baca.
Tidak lama kemudian, dirinya kecelakaan dan meninggal. Lalu hidup kembali ke sini. Titik ini. Di masa depan dan menjadi seorang novelis lalu siapa wanita yang bernama Diana Leana.
"Ini seperti kebalikan." kata Irul.
Kepalanya terasa pusing akibat terlalu berpikir kritis mengenai kejadian tidak masuk akal. Ia memiliki sifat tidak ingin menjadi novelis tetapi kenyataannya kini ia menjadi novelis dan ingin mengajukan naskah ke editor.
Drrrt....Drrrrt..
Suara jam digital berbunyi. Di tekannya tombol muncul video call dari Diana. "Kamu ada dimana?"
"Mencari angin." jawab Irul. Suasana hatinya tidak mood.
"Kau harus ke editor. Ia mau mengkritik mu." kata Diana.
Menghela nafas kasar. Irul ingin kembali ke ruangannya. Tetapi Diana sudah sampai ke tempat Irul berada menggunakan mobil listrik. Kaca terbuka menyuruh Irul untuk masuk.
Di dalam perjalanan, suasana mereka berdua hening dan tidak ada yang membuka topik pembicaraan. Irul masih bergelut dengan pikirannya mencari pikiran logis, ia hidup kembali atas kecelakaan mengerikan tersebut.
Diana yang merasa temannya mengalami perubahan drastis, angkat bicara,"ada apa denganmu? Aku lihat-lihat, kau jauh lebih pendiam dari biasanya."
"Tidak ada apa-apa." jawab Irul melihat pemandangan luar jendela, menopang dagu.
***
Diana mencoba mencairkan suasana bertanya soal "Laura Deana" yang tidak sengaja terlontar dari mulut Irul.
"Siapa itu? Laura Deana?" tanyanya.
Irul menoleh ke arah Diana. Raga yang di masuki oleh Irul sama sekali tidak memiliki pikiran yang jelas. Ia hanya bisa melihat kalau raga ini ingin sekali menjadi seorang novelis yang terkenal dan tidak memiliki pikiran yang lain. Contohnya hubungan raga ini dengan wanita di sampingnya, Diana Leana.
"Dia seorang penulis terkenal. Sayang sekali, ia harus meninggal dengan cara menyeramkan. Padahal ia baru saja menciptakan buku berjudul, Hujan Darah..." kata Irul menatap jalanan penuh kendaraan yang melaju.
"...tidak lama kemudian, ia tewas sambil memegang bukunya sendiri." lanjut Irul.
Diana menepikan mobilnya di depan gedung cetak terbesar di kota. Mereka berdua turun dark mobil. Diana sangat prihatin mendengar cerita Irul mengenai novelis terkenal yang meninggal mengenaskan tersebut.
"Apa dia semirip denganku sampai kah mengira aku ini, Laura?" tanya Diana.
"Iya. Kau mirip sama seperti Laura." jawab Irul jujur. Diana tersenyum miring.
Di ruangan editor yaitu Anna. Beliau memilih mengembalikan naskah milik Irul kembali padanya. Irul bertanya-tanya dalam pikirannya, mengapa naskahnya di kembalikan. Apa ada yang salah dengan garis besar di alur ceritanya.
"Kenapa Bu Anna? Mengembalikan naskah padaku. Bukannya ini sudah dalam jangka sepekan di sini?" kata Irul menatap mata Bu Anna yang justru melihat wajah Irul penuh kebencian.
"Saya tidak mau menerima naskah mu. Karena di dalam ceritamu itu sangat membosankan. Apa pembaca mau, membaca kisah sampah mengenai orang yang ingin menjadi novelis tetapi tidak bisa digapai. Sangat putus asa!" kata Bu Anna terang-terangan.
"Tapi saya sudah menjelaskan secara detail di dalam naskah ini. Mengapa ia ingin menjadi novelis tetapi keinginannya tidak bisa di gapai sebab—"
"Sebab apa?" putus Bu Anna menatap Irul melotot. Kecewa dengan isi naskahnya.
"Tokoh utama di dalam sana terlalu lemah, bagi saya." lanjut Bu Anna.
Diana angkat bicara mengenai isi dalam naskah. Kemungkinan, Irul memiliki maksud lain mengenai jalan ceritanya kali ini. Namun, si editor Anna telah menolak mentah-mentah.
"Bu, kasih dia kesempatan buat revisi naskahnya." pinta Diana lembut.
Bu Anna sangat kokoh dalam pendiriannya dan mengusir mereka berdua dari ruangannya. Ia tidak mau rugi, kalau buku yang di tulis oleh Irul , tidak laku di pasaran.
"Aku tidak mau menulis dengan seorang novelis amatir seperti dirinya!" cibirnya ke Irul.
Mereka berjalan keluar langkah lemas terutama Irul. Ini baru pertama kalinya naskahnya di tolak setelah menerbitkan dua buku yang terbit. Di masa lalunya, Irul sama sekali tidak memiliki karya sedangkan di masa depan. Ia memiliki 2 karya yang sudah terbit dan baru pertama kalinya ditolak mentah-mentah dikarenakan tokoh utamanya yang terlalu lemah. Bahkan alur ceritanya terlihat membosankan.
"Tidak perlu di pikirkan lagi. Sudah hal biasa, naskahnya di tolak." kata Diana saat sudah di dalam mobil.
Irul menatap lekat naskah di dalam map, genggamannya. Tersenyum tipis setelah mendengar cibiran menyakitkan dari editor Bu Anna. Padahal ia hanya ingin membagikan kisah masa lalunya di dalam sini dan tokoh utamanya di tabrak truk setelah kabar kematian novelis terkenal.
"Aku memang novelis amatiran yang ingin karyanya terbit dan di pasarkan. Bersanding dengan penulis terkenal lain. Sayangnya, aku hanya butiran debu."
"Hahaha..." tawa Diana pecah. Setelah mendengar kalimat putus asa keluar dari mulut Irul.
"Kenapa kamu malah ketawa?" tanya Irul melihat Diana, aneh.
Tertawa sendiri.
"Habisnya kamu lucu. Mengatakan kalimat putus asa seolah tidak ada kehidupan kalau naskahnya ditolak." komentar Diana sedikit menyindir.
"Cih. Kau tidak tahu, bagaimana rasanya kalau naskah penulis di tolak? Mana lagi dia bilang aku novelis amatir!" ucap Irul mengumpat dan mencibir balik editor bernama Anna.
Bisa-bisanya ia mengatakan kalau Irul hanya seorang novelis amatir. Diana sesekali melirik ke sampingnya, melihat Irul geram dan suasana hatinya mendadak buruk. Dalam hati Diana kalau Irul ini menarik sekali. Dan sebagai balasnya ia akan menuntun Irul mencapai tujuannya sebagai novelis terkenal.