Hari ini Irul memilih untuk bersih-bersih gudang yang di dalam rumah peninggalan nenek. Banyak sekali debu-debu dan barang-barang yang rusak di dalam box besar maupun kecil. Irul berkacak pinggang menoleh ke belakang berusaha mencari tempat yang bagus buat menyusun kotak sebelum digantikan dengan kotak yang baru.
Irul membuang sampah terlebih dahulu di depan rumah sebelum membereskan kembali gudang yang rusuh. Di depan sudah ada robot pembersih yang memasukkan sampah masuk ke dalam truk.
"Selamat pagi Irul!" sapa supir sampah, tersenyum lebar ke Irul.
"Selamat pagi juga!" sapa Irul balik.
Ini yang sering di jalani oleh Irul setiap pagi yaitu menyapa orang-orang, ramah. Terutama supir kebersihan lingkungan. Setelah berbincang-bincang banyak, Irul memilih masuk kembali dan fokus bersih-bersih tanpa ada yang mengusik pekerjaannya.
Ia harus cepat-cepat membersihkan gudang dan melanjutkan pekerjaan sebagai seorang penulis. Memang tidaklah mudah untuk menjadi penulis dan sering kali penulis merasa bosan. Apalagi tengah mengalami writerblock membuat mood penulis jelek dan mencari cara menemukan ide-ide kecil dengan refreshing mencari sesuatu.
Salah satu box, Irul buka. Debu-debu yang berjumlah banyak terbang ke udara membuat Irul terbatuk-batuk.
"Huk...huk...huk."
Lalu tidak lama kemudian, Irul bersin sebanyak tiga kali. Terlalu banyak debu sehingga hidung mancung Irul bersin-bersin. Memakai masker? Kelihatanya itu mustahil, Irul tidak terlalu menyukai masker. Ia tidak bisa mengirup udara secara leluasa jika memakai masker terus-menerus.
"Hachim!"
Bersin paling besar dan beranggapan itu bersin terakhir. Berharap, Irul tidak lagi bersin akibat debu-debu kecil yang mulai banyak memenuhi barang dan ruangan yang tidak pernah di bersihkan. Mumpung Irul punya banyak waktu luang jadi ia memilih membersihkan gudang. Pertanyaan demi pertanyaan masih saja, Irul pikirkan terutama bagaimana bisa ia datang kesini?
Setahunya, dirinya mati tertabrak truk atau selama ini ia bermimpi buruk? Entahlah, ia tidak tahu banget. Di membuka box di hadapannya sesekali bersin. Di dalam box tersebut terdapat banyak lembaran-lembaran koran lama.
Bahkan kertasnya pun sudah penuh debu, warna kuning dan banyak sekali sobek karena sudah lama ada di dalam kotak dan termakan oleh waktu. Saat bersih-bersih. Irul membuka salah satu kardus yang berisikan koran lama. Dilihatnya tulisan yang mulai samar-samar dan untungnya masih terbaca.
Dibacanya judul koran utama tersebut, ia terbelalak tidak percaya bahwa kematian novelis Laura Deana masih menjadi misteri. Walaupun tahun sudah berganti dan kejadiannya 20 tahun yang lalu. Jika novelis terkenal Laura Deana, tewas pada malam hari sedangkan Irul sendiri keesokkan harinya. Berjalan-jalan setelah membaca "Hujan Darah".
Di dalam buku tersebut juga sangatlah gelap. Orang yang ingin membacanya pasti bakal muntah dan banyak sekali kata "darah" yang muncul di sana. Ini membuat rasa penasaran Irul meledak atas kematian novelis terkenal tersebut. Jika dulu, Irul adalah seorang pemuda biasa saja yang ingin menjadi seorang novelis.
Namun, di kehidupannya kini. Irul malah menjadi seorang novelis dan dicibir sebagai novelis amatir. Bukankah itu menyebalkan. Mengingat ucapan Riska yang dulu sempat bertanya padanya kalau apakah Irul tertarik memecahkan kasus kematian Laura? Setidaknya penasaran dengan kasus kriminal orang lain.
"Di koran-koran ini. Pasti tidak ada penerangan secara rinci mengenai kematian Laura Deana di apartemen." gumam Irul membaca koran di genggamannya. Dahinya berkerut, berusaha berpikir krisis mengenai hal yang tidak masuk diakal.
Atau tuhan sedang mengujinya sehingga ia harus transmigrasi ke tubuh seseorang yang memiliki nama sama dan berprofesi sebagai novelis. Entah, Irul harus menyesal atau berterima kasih. Tidak hanya itu saja, ia juga bertemu dengan Diana Leana yang memiliki wajah persis sama Laura Deana.
Seperti anak kembar dan dia seolah terlahir kembali di masa kini.
Drrrt...Drttt..
Ponsel bergetar, segera dicek-nya ternyata dari Diana yang mengirimkan pesan untuk menyelesaikan naskah drama. Menghela nafas lelah, kedua jarinya menekan tombol keyboard lalu mengirimkannya.
***
Diana terus mengawasi Irul sehingga kemampuan untuk fokus mudah pudar. Irul kalau di awasi terus maka ia tidak akan kunjung selesai dalam mengurus naskah drama. Setiap harinya Irul sebagai seorang penulis naskah drama, film, dan buku novel. Menyukai pekerjaan yang super sibuk dan tidak membuat Irul merasa tertekan. Jika mengalami"Writerblock" secara mendadak. Irul akan menjalankan pekerjaan seperti beres-beres atau menonton video.
Memaksa pikiran untuk berpikir berlebihan atau terlalu krisis juga tidak bagus buat kesehatan tubuh. Apalagi lupa makan dan minum.
"Kenapa kamu hapus terus sih? Kalimatnya. Nggak seru." komentar Diana, mengerucutkan bibir.
"Lebih baik kamu pergi dan jangan pernah mengawasi terus menerus. Ini membuatku tidak fokus!" kata Irul, mengusir halus Diana.
"Benarkah? Tidak biasanya. Kalau kamu ku awasi tidak bisa di fokus." katanya membuat Irul terdiam sejenak.
Sejak kapan aku nyaman saat di awasi oleh Diana?—batin Irul.
Memori tubuh ini benar-benar tidak memiliki daya ingat yang kuat. Sehingga Irul berapa kali harus memutar otak. Diana tersenyum dan berjalan pergi, ia tidak mau mengusik kalau Irul ingin fokus membuat drama. Sebelum Diana pergi, ia menitipkan pesan kalau naskah drama harus selesai sebelum jam 5 sore.
Masih memiliki waktu 2 jam lagi. Kedua jarinya terus menerus mengetik perkata dalam satu kalimat. Ia tidak percaya bahwa hidupnya kedepan menjadi novelis amatir. Rasanya ingin sekali tertawa puas. Di sisi lain, ia masih penasaran dengan kematian Laura Deana.
"Aku harus cepat-cepat menulis naskah drama ini. Dan mengumpulkan ke editor buat seleksi." kata Irul. Semangatnya mulai menggebu-gebu.
Di belakang, Diana tersenyum senang bisa melihat Irul dengan semangat menulis naskah drama yang sebentar lagi akan dipakai oleh sutradara. Irul tidak akan pernah tahu, naskah drama itu akan dijadikan sebuah film pendek. Jika Irul tahu itu, ia tidak akan mau mengerjakannya.
Diana mempunyai cara tersendiri untuk Irul agar bisa melangkah maju. Rasa tidak pedenya terlalu tinggi. Mungkin, karena kematian novelis terkenal bernama Laura Deana. Sebenarnya Diana tahu, siapa itu Laura Deana? Dan mengapa alasan Irul datang ke waktu, 20 tahun?
Ya, untuk meraih impian Irul sebahai novelis terkenal serta mengungkap misteri kematian Laura Deana. Bukannya semestinya harus datang ke masa lalu bukan masa depan. Semua pertanyaan itu akan terjawab oleh Irul sendiri. Misteri dibalik kematian Laura Deana dan buku "Hujan Darah".
Jarum jam terus melangkah dan akhirnya Irul sudah mengerjakan tugasnya. Di rentangkan kedua tangan ke atas, menghela nafas lega.
"Uh, akhirnya selesai juga." segelas kopi datang ke mejanya. Menoleh melihat Diana mengantarkan satu gelas kopi hitamnya.
Irul tersenyum sumringah dan bilang terima kasih banyak ke Diana.
"Terima kasih."
"Sama-sama."
Diletakkan cangkir kopi itu di atas meja. Diana memerhatikan wajah Irul lamat-lamat, berkata,"apa kamu penggemar Laura Deana?" tanya Diana ke Irul.
Dibalas anggukkan mantap. "Iya. Memangnya kenapa?"
"Kamu tidak ada niatan untuk memecahkan misteri kematian Laura Deana? Dan menuliskannya ke naskah yang di tolak editor kemarin. Kebetulan genre yang di tolak itu, thriller, misteri." katanya membuat Irul terdiam sesaat lalu menatap Diana lamat-lamat.