Suara langkah kaki mendekat ke arah meja Soobin.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Jam sekolah sudah berakhir setengah jam yang lalu. Dan yang tersisa di sana hanyalah Soobin, Park Sol dan Soomi.
Soobin menengadahkan wajahnya sambil memasukkan tumpukan buku yang terlihat cukup berat.
"Aku mau bicara denganmu," kata Soomi dengan tangan bersedekap. Matanya menatap sinis Soobin.
"Ada—ada apa?" Dan bodohnya Soobin tergagap hanya karena diajak bicara oleh Soomi.
"Aku tidak suka kau menyukaiku. Yah, aku tahu aku memang cantik." Soomi mengibaskan rambutnya dengan satu tangannya. "Tapi aku tidak cukup pantas untuk disukai oleh laki-laki sepertimu.
Park Sol yang mendengarnya merasa tidak terima. Ia berdiri kemudian menghampiri meja Soobin yang jaraknya hanya terpaut tiga ubin saja.
"Apa maksudmu tidak pantas? Memangnya kau idol? Artis, uh? Kau hanya murid yang kebetulan cantik di kelas ini."
Soobin memberikan kode pada Park Sol agar menghentikan ocehannya. Ia sungguh tak mau membuat keributan di kelas seperti ini.
"Memangnya kenapa kalau aku bukan artis atau idol? Kalian tau, gara-gara kejadian tadi siang semua murid mengolok-olokku karena si culun ini."
"Ma—maafkan aku," kata Soobin dengan sangat pelan.
"Yya! Soobin-ahh, kenapa kau harus meminta maaf padanya? Kau memangnya salah apa?" Park Sol tidak terima.
"Sudahlah, aku memang yang salah. Seharusnya aku tau kalau aku tidak cukup baik untuk menyukai Soomi."
"Baguslah kalau kau mengerti," sahut Soomi, ia memutar tumitnya kemudian pergi.
PLAK!!
"Dasar bodoh!" Park Sol dengan kesal memukul lengan Soobin. Namun sahabatnya itu malah tertawa karena senang.
"Kau tertawa? Dasar aneh," gerutu Park Sol.
"Tadi kau melihatnya, kan? Dia menyapaku. Dia mengajakku bicara," kata Soobin malu malu. Jelas sekali dia sangat senang karena Soomi mengajaknya bicara.
"Menyapa? Kau bilang itu tadi menyapa? Dia menghinamu!"
"Tidak apa apa, yang penting dia tau kalau aku ada di kelas ini." Masih dengan senyumnya yang mengembang. Soobin sudah selesai memasukkan buku bukunya ke dalam tasnya.
Ia berdiri dan bersiap untuk pulang.
"Mau makan tteokbokki dulu?" ajak Park Sol.
"Tidak. Aku harus pulang."
"Nonton Anime?" tebak Park Sol.
Soobin mengacungkan jempolnya. Satu satunya hal yang membuatnya bahagia selain melihat Soomi adalah dapat menonton anime sepuasnya.
Ia kadang dapat melupakan apa yang sudah dilakukan Seongwu padanya selama di sekolah. Atau bisa dikatakan, jika hal itu adalah pelarian Soobin.
Park Sol memandang Soobin dari samping. Sebenarnya sahabatnya itu manis. Bahkan gigi kelincinya itu terlihat imut.
Namun karena kacamatanya setebal pantat botol lalu potongan rambut yang ketinggalan zaman membuatnya terlihat sangat konyol.
"Kau tak ingin memotong rambutmu? Atau jika tidak, kau bisa menggunakan soft lens, kan? Pasti Soomi akan menyukaimu, sedikit sih."
Soobin mencibir. "Tidak. Memakai soft lens itu merepotkan. Kemudian rambutku—" Soobin tiba tiba teringat.
Ia menghentikan langkah ketika berjalan di koridor sekolah.
"Ada apa? Kau melupakan sesuatu?"
Soobin mengangguk.
"Tadi, ada murid perempuan memberikan susunya padaku waktu aku tak sengaja membuatnya jatuh di lapangan."
Park Sol tampak antusias.
"Siapa? Kau tau namanya?"
Soobin menggeleng. "Aku hanya tau nama belakangnya Ri, kau tau?"
Park Sol berdecak kesal. "Bodoh. Ada banyak murid perempuan dengan nama Ri di sekolah ini.
"Apa kau melihat wajahnya?"
Soobin menggeleng. "Rambutnya panjang, wajahnya terlihat seperti siluet karena terhalang cahaya matahari tadi."
Park Sol tiba tiba saja berjalan dan meninggalkan Soobin.
"Yya! Tunggu. Bantu aku mencarinya, aku harus mengganti susunya!"
Park Sol tidak menghiraukan panggilan Soobin. Dia terus berjalan meninggalkan sahabatnya itu karena sudah membuatnya kesal.
Padahal mungkin saja murid perempuan itu memiliki potensi menyukai Soobin.
"Kau kesal?" Soobin bertanya ketika langkahnya sudah menyejajari Park Sol.
"Menurutmu?
"Padahal bisa jadi dia menyukaimu, makanya dia mau membantumu. Iya, kan?"
Soobin menggeleng pelan. "Mana mungkin, bisa jadi dia memang baik tak bisa melihat orang lain menderita."
"Seharusnya kau mendekati dia, kenapa harus menyukai Soomi?"
Kali ini langkah Soobin yang terhenti. Ia memandang seorang lelaki yang tiba tiba muncul dari kelas 2-1.
Ia tahu dia siapa.
"Ada apa?" Park Sol menoleh. Wajahnya tak kalah tegang ketika melihat bayangan tegap itu berdiri tak jauh di depannya.
"Jadi kau yang namanya Soobin?"
Soobin mematung. Ingin kabur pun dia tak mungkin bisa. Kakinya sudah terpaku.
"Kau tau kan kalau Soomi sudah memiliki pacar? Kenapa kau menyukainya?!"
"Ma—maaf." Soobin berkata dengan suara yang gemetar.
Park Sol langsung berdiri di depan Soobin. Ia menghalangi lelaki itu agar tidak memukul wajah Soobin.
"Maafkan temanku, lagi pula dia juga sudah ditolak oleh Soomi," kata Park Sol.
Kekasih Soomi mendecih. "Jelas lah dia ditolak, mana mungkin Soomi menyukai laki laki bodoh dan konyol seperti dia!"
Park Sol masih berusaha untuk tersenyum. Ia mengangguk membenarkan kekasih Soomi.
"Maka dari itu, lepaskan Soobin."
"Lepaskan katamu?" Kekasih Soomi tau tau sudah mencengkeram kerah Park Sol. Lalu dalam sekejap membuat Park Sol tersingkir dari depannya.
Kekasih Soomi mendekati Soobin, lalu dia menyeringai.
Lalu tiba tiba … tangan kanannya yang dikepalkan melayang mengenai matanya.
Kacamatanya terjatuh menimbulkan bunyi peletak.
Soobin sudah tersungkur, tapi kekasih Soomi masih belum puas memukulnya.
"Aku tidak suka jika ada seseorang yang menyukai Soomi," desis kekasih Soomi. Ia mengepalkan tangannya lagi hendak memukul Soobin.
Mata kanan Soobin sudah tertutup. Tinggal mata kiri Soobin yang terbuka dan ia tutup rapat rapat.
Kekasih Soomi menepuk nepuk pipi Soobin dengan keras.
"Ingat ancamanku ini, kalau sampai kau mendekati Soomi lagi. Aku tidak akan segan mengirimmu ke neraka." Kekasih Soomi meludah di samping tubuh Soobin. Lalu meninggalkan Soobin yang terkulai lemas karena masih syok.
"Soobin! Hwang Soobin!" Park Sol mengguncangkan bahu Soobin. "Yya! Kau belum mati, kan?"
"Kacamataku." Soobin ingin mencari kacamatanya. Tetapi, ia malah menyentuh air ludah kekasih Soomi yang tadi.
**
Supir yang menjemput Soobin terkejut, ketika dia mendapati anak manjikanya memakai kacamata yang pecah dengan mata yang tetutup sebelah.
"Tuan, Anda kenapa?" tanya supir itu panik.
Soobin melambai pada Park Sol yang sudah mengambil jalan lain ke rumahnya.
"Tidak apa apa."
"Sebaiknya kita melaporkan hal ini pada nyonya dan tuan besar," katanya dengan cemas.
"Mereka sangat sibuk. Tidak mungkin mau mengurus anaknya," sahut Soobin. Ia menyandarkan kepalanya di kursi.
"Kita ke rumah sakit dulu ya?"
Soobin mengangguk sambil mencicit kesakitan.
Mobil yang ia naiki melaju meninggalkan area sekolah. Jika orangtuanya diberitahu, pasti hal itu tak akan mengubah semuanya. Karena orangtuanya tidak akan pernah peduli.