"Ada apa dengan wajahmu itu?" tanya ayah Soobin ketika dia sudah sampai di rumahnya.
Soobin tidak menjawab. Dia masuk ke kamar kemudian menutupnya hingga menimbulkan suara berdedam.
Ayahnya yang waktu itu kebetulan pulang lebih cepat dari biasanya pun masuk ke kamar Soobin.
"Kau tidak mendengar ayahmu sedang bertanya, hah?" tanya ayah Soobin dengan tangan berkacak pinggang.
"Ayah hanya bertanya tanpa mau memberikan solusi kepadaku, jadi tak ada gunanya untukku menjawabnya, kan?" Soobin meletakkan tasnya di kursi. Ia mengambil komik yang tertata rapi di rak. Lalu membacanya.
"Kau pasti dipukul oleh murid lain ya?" tebak ayahnya.
Soobin diam saja.
"Kau sudah melakukan kesalahan apa? Hingga dipukuli seperti itu?"
Soobin melirik ke ayahnya. Ia meletakkan komik di atas kasurnya.
"Ternyata ayah lebih percaya jika aku melakukan kesalahan makanya dipukul oleh murid lain. Daripada aku yang tidak melakukan apa apa tapi tetap saja menjadi sasaran kemarahan mereka?"
Ayah Soobin terdiam. Matanya bergetar menatap anaknya yang sudah berani memelotot ke arahnya.
"Kau ini—kau pasti lemah makanya dipukul. Balas mereka kalau mereka memukulmu! Jangan menjadi lelaki yang lemah!"
Soobin mendecih. "Bukankah ayah sendiri yang mengatakan jika aku harus diam dan jangan melakukan kesalahan agar image perusahaan yang ayah jaga selama ini tidak tercoreng?"
Ayah Soobin menyugar rambutnya. Ia melonggarkan dasinya lalu mengembuskan napasnya dengan berat.
"Kau ini sudah berani melawan ayahmu, ya?" desis ayahnya lalu keluar dari kamarnya.
**
Malamnya, Soobin merasa jika ada suara gemerisak di dalam kamarnya.
Soobin masih setengah tidur. Gara-gara obat penghilang rasa nyeri membuat matanya sulit dibuka karena mengantuk.
Namun dia dapat melihat sekelebat bayangan ayahnya berdiri di ambang pintu dan menyuruh penjaga keamanan masuk ke kamarnya dan mengambil komik milik Soobin.
Soobin berusaha kuat untuk terbangun. Ia tahu jika ada yang salah dengan ayahnya saat ini.
Soobin duduk di tepi ranjang dan melihat petugas keamanan di rumahnya membawa komiknya keluar dengan keranjang.
"Mau dibawa ke mana komik-komikku?!" seru Soobin. Ia memakai sandal kemudian berlari mengejar petugas keamanan.
Ayahnya yang masih ada di sana kemudian menarik lengan Soobin.
"Ayah pikir, komik komik itu lah yang membuatmu lemah. Jadi ayah memutuskan untuk membakarnya."
Mata Soobin membulat. "Membakarnya?"
"Sudahlah, komik itu hanya akan membuatmu tampak bodoh Soobin-ah!"
"Atas dasar apa ayah membuang komik komik itu!" teriak Soobin marah.
Hanya komik itu lah dia dapat membuang rasa sedihnya. Rasa kecewanya atas ketidakadilan yang ia terima selama ini di sekolah dan juga di rumah.
Komik komik itu bahkan sudah dia kumpulkan sejak dirinya berada di kelas 6 sd. Dengan uang sakunya sendiri. Dia mengumpulkan tiap serinya. Bahkan usahanya yang paling besar adalah menunggu toko komik itu buka hanya demi mendapatkan komik seri terbatas.
"Ayah melakukan ini demi kebaikanmu, Soobin," sahut ibunya yang muncul dari kamarnya.
"Kebaikan kata Eomma?" tanya Soobin tak percaya. Dia hampir saja memuntahkan tawanya ketika mendengar ucapan itu dari ibunya. "Tau apa kalian tentang kebaikan untukku? Yang kalian tau hanya bekerja dan bekerja!"
Soobin berlari ke pekarangan rumah. Komik komik itu sudah dimasukan dalam drum sampah. Petugas keamanan membakarnya hingga habis tak bersisa.
Tidak, masih ada satu di tangan petugas keamanan itu. Soobin merampasnya dengan wajah yang marah.
"Aku membenci kalian semua," desis Soobin.
"AKU MEMBENCI KALIAN SEMUA! KALIAN TIDAK TAHU APA YANG AKU ALAMI TAPI SELALU SOK TAHU DAN MERASA JIKA APA YANG SUDAH KALIAN LAKUKAN ADALAH HAL BAIK UNTUKKU!" Soobin berteriak hingga lemas. Ia mendekap komik yang masih tersisa satu.
Matanya yang membengkak tak dapat melihat benda kesayangannya terbakar habis di depannya. Namun mata kirinya, melihat jelas komik komik itu perlahan menjadi abu. Yang akan terbang begitu angin meniupnya.
"Tuan! Tuan!" Supir Soobin menghampirinya kemudian tertegun melihat apa yang di depannya.
Dia lah yang paling tahu apa saja yang sudah dialami oleh Soobin selama ini. Dia lah yang selalu mengantarnya untuk pergi ke toko buku, rumah sakit dan sekolah.
"Mereka membakar komik-komikku." Soobin mengadu pada supirnya. Bahkan hanya pada sopirnya dia dapat mengeluarkan keluh kesahnya.
"Nanti—nanti saat Tuan sudah dewasa. Tuan pasti bisa mengumpulkannya lagi. Tuan jangan bersedih, ada saya yang selalu mendukung Anda."
"Lihat anakmu. Bahkan dia lebih akrab dengan supir daripada ayahnya," kata ayah Soobin yang melihat pemandangan di halaman rumahnya.
"Lagi pula, kenapa kau harus membakar komik milik Soobin?"
"Dia sangat lemah karena selalu membaca komik di kamarnya. Dia sama sekali tidak bisa membaur dengan teman-temannya makanya dia dibully seperti itu."
Ibu Soobin tak dapat berkata apa-apa.
"Tapi nilainya di sekolah selalu bagus, kan?"
"Itu benar. Tapi nilai bagus saja tidak akan membuatnya sanggup menjadi penerus Lora Grup. Dia harus tangguh dan kuat. Jika seperti itu maka saingan perusahaanku nanti akan menertawakannya."
"Ah terserah, setidaknya jangan terlalu keras padanya." Ibu Soobin masuk ke kamarnya. Sudah terlalu malas berdebat dengan suaminya.
**
"Hey Hwang, kenapa wajah kau muram seperti itu?" Park Sol sudah berdiri di depan pintu gerbang sekolahnya. Seperti biasa dia menunggu Soobin di sana.
Soobin diam saja.
"Masih sakit lukamu?"
"Entahlah, rasanya sudah mati rasa."
"Sudah jangan pikirkan masalah kemarin. Kita di sini tinggal dua tahun lagi, bagaimana jika kita bersenang-senang? Pulang sekolah ke karaoke koin?"
Soobin hanya diam saja. Park Sol sudah tidak tahu harus bagaimana untuk menghibur temannya.
"Haruskah aku menjadi anak nakal saja?" tanya Soobin.
Pertanyaan Soobin dibalas dengan ledakan tawa dari Park Sol.
"Anak nakal? Kau mau melakukan apa memang?"
"Entahlah, aku sama sekali tidak memiliki ide tentang itu."
"Bagaimana kalau hari ini kita jalan jalan saja? Jangan belajar terus, aku yang traktir. Aku kan ulang tahun hari ini."
Soobin mengembangkan senyum tipisnya. Merangkul Park Sol dan berjalan bersama sampai ke kelasnya.
Hanya Park Sol yang dia miliki di sekolah itu. Dan hanya Park Sol yang selalu membelanya.
Langkah Soobin terhenti di ambang pintu. Park Sol melirik ke arahnya dan melihat wajah Soobin memucat.
"Yya, ada apa?" tanya Park Sol.
Ia melihat ke arah di mana Soobin sedang memandanginya dengan getir.
"Lihat siapa yang datang? Ternyata tak hanya maniak anime. Tapi dia juga menyukai majalah dewasa." Bukan Seongwu yang berkata, tapi komplotannya yang mengatakannya.
Tetapi yang jelas, itu adalah perbuatan Seongwu.
"Pantas saja dia menyimpan foto Soomi. Jangan jangan—"
Soobin menggeleng lemah. "Tidak! Itu bukan milikku!"
"Tapi itu ada di lokermu, Hwang Soobin."
"Mana mungkin Soobin memiliki majalah majalah seperti itu. Kalau dia punya, aku pasti tahu." Park Sol berusaha membelanya.
"Bagaimana bisa kamu mengatakan hal itu? Sementara kau sendiri memiliki banyak film dewasa di lokermu."
Mata Park Sol membulat. Ia sama sekali tidak memiliki hobi seperti itu. Sungguh!