Udara kamar terasa lebih dingin tiga hari terakhir ini. Meski begitu, Betari tak ingin meninggalkannya. Dia menghabiskan waktu dengan duduk menghadap jendela. Tatapannya kosong. Dia ingin menangis sejadi-jadinya, tapi matanya seperti kering. Terlebih hatinya.
Sudah tiga hari mengurung diri di kamar, Betari belum memiliki rencana apa pun. Dia sedang benar-benar ingin mengosongkan pikiran. Surat pengunduran dirinya juga belum mendapatkan tanggapan dari perusahaan.
Agha Memanggil Frisa ke ruangannya. Hari ini dia berencana mengunjungi Betari di rumahnya dan ingin Frisa mendampinginya.
"Kita ke rumah anak itu sekarang,"
"Baik, Pak. Mari,"
Frisa merasa senang bisa pergi berdua seperti yang dia hayalkan selama ini. Meski tak lebih dari sekadar hubungan bos dan sekretaris. Namun sebagai sekretaris, orang-orang tak percaya dirinya tak pernah disentuh atasannya tersebut. Bahkan saat Karenina masih menjadi istri atasannya itu, dia pernah menggodanya dengan pertanyaan apakah Agha pernah memakainya. Saat itu dia merasa ketakutan, mengira Karenina akan mengintimidasi dirinya karena cemburu. Namun lama-lama dia merasa aneh dengan sifat Karenina yang betul-betul easy going. Bahkan menyarankan agar tak perlu menolak jika Agha menginginkannya. Sayangnya, justru Agha bukan tipe bos yang seperti itu. Dia sangat kaku dan formal di kantor. Frisa tak memiliki nyali untuk menunjukkan gelagat ketertarikannya.
Mereka sampai di halaman sebuah rumah bergaya klasik. Orang biasa akan menganggap ruah di depannya itu ketinggalan jaman. Namun, sebagai orang yang memahami arsitektur, Agha bisa melihat nilai tinggi dimiliki bangunan di depannya. Material kayu yang dipakai, merupakan kayu kuno yang tua dan mahal.Dan tentu saja kuat. Aksen tradisional yang melambangkan kesederhanaan dan kewibawaan juga mempertahankan identitas budaya, membuatnya tak dapat menyembunyikan rasa takjub.
Keduanya menapaki teras berundan dua dan mengetuk pintu. Tak berapa lama, muncul seseorang yang ditebak Agha adalah ibu Betari.
"Selamat siang, Bu. Apa benar ini rumah Betari?"
"Iya, benar. Kalian wartawan ya? Mau menyebar gosip? Pergi!" Bu Rasyid berniat menutup pintu lagi namun Frisa menahannya.
"Bukan Bu, kami dari kantor tempat kerja Betari. Sudah beberapa hari Betari tidak masuk kerja. Bolehkami bertemu dengannya?"
"Oh, teman kerjanya?" Bu Rasyid masih menunjukkan wajah masam. Semenjak tahu video pernikahan Betari yang gagal viral di internet, wanita itu benar-benar tak percaya pada siapa pun. Terlebih banyak wartawan yang berusaha mengorek informasi dan membuat kejadian hari itu semakin diketahui khalayak. Orang tua Betari merasa tak punya muka dan dipermalukan di mana-mana.
Bu Rasyid mengantar keduanya ke kamar Betari. Sebab dia tahu, memanggilnya untuk keluar hanya sia-sia belaka. Saat pintu kamar terbuka, Agha merasakan hatinya seperti mendapat cubitan. Betari duduk membelakangi mereka, namun aura kehilangan semangat hidup itu begitu terasa. Agha hanya berdiri mematung, sedangkan Frisa menghampiri betari dan berbicara dengannya.
"Hai, Betari. Pak Agha datang untuk bertemu denganmu," kata Frisa membuat Betari baru menyadari ada yang datang ke kamarnya.
"Hei, Mbak Frisa." Betari berusaha ramah. Dia menoleh dan mendapati Direktur ASTANA Corp yang biasanya hanya dilihatnya ketika pada pertemuan penting perusahaan, atau foto di bagan jajaran direksi yang di pajang di kantor. Pria Itu terlihat lebih muda dan segar aslinya. Namun sorot matanya yang dingin bisa membuat siapa pun merasa tertekan saat melihatnya.
"Pak Direktur ...,"
Bu Rasyid terkesima. Dia menjadi canggung dan benar-benar tak mengira bahwa yang datang adalah atasan Betari.
"Saya minta maaf Pak, saya benar-benar tidak tahu," kata Bu Rasyid pada Agha. Agha tersenyum tipis.
"Jangan dipikirkan, Bu."
"Silakan duduk, saya ke belakang dulu." Bu Rasyid mempersilakan dua tamunya duduk di kursi yang ada dalam ruangan itu kemudian pergi ke dapur mengambil suguhan. Setelah bercakap ringan dengan Betari, Frisa duduk dan Agha yang gantian mendekati Betari. Dia membawa kursinya hingga mereka duduk berdekatan di dekat jendela itu.
"Maaf karena masalah pribadi saya jadi merepotkan Anda dan perusahaan, Pak."
"Aku mengerti perasaanmu. Itu bukan hal yang mudah untuk diterima. Aku hanya berharap kamu bisa cepat bangkit dan kembali bergabung dengan perusahaan."
"Aku ... entahlah, mungkin aku sudah kehilangan semangat hidupku."
"Betari, kamu tidak kehilangan apa pun. Lihat dirimu masih muda, tidak buruk dan punya pekerjaan. Semua itu masih milikmu. Dengan itu, kamu masih bisa meraih masa depan yang jauh lebih indah. Jika kamu menyerah, tak ada yang kamu rugikan selain dirimu sendiri. Tapi jika kamu bangkit, keberuntungan itu menjadi milikmu,"
Perkataan Agha seperti guyuran salju yang menyadarkannya. Hatinya yang menjadi abu, seolah kembali membentuk diri. Ya, buat apa dia menghancurkan dirinya sendiri?
"Wah ... luar biasa Pak Direktur," Frisa bertepuk tangan.
"Terima kasih Pak, Mbak Frisa, kalian memang benar. Lagipula dengan tetap bekerja, aku pasti bisa melupakan kesedihanku meski sejenak."
"Betul, jangan malah membuat etos kerjamu menurun. Rugi," ujar Frisa lagi."
"Kalau begitu, sampai jumpa di kantor." Agha beranjak, berniat untuk pamit. Namun Bu Rasyid mencegah.
"Aku memasak soto kesukaan Beta. Pak Direktur dan Mbak Frisa pasti juga akan menyukainya. Ayo cicipi dulu, pumpung hangat. Ayo, Beta!" Bu Rasyid menggiring dua tamunya ke ruang makan. Suasana hati Betari yang membaik, membuat napsu makannya juga bangkit. Tiga hari dia tidak makan dengan benar. Agha yang biasanya tidak mau makan sembarangan, kali ini tidak keberatan. Suasana klasik dan hangat ini membuat ruang hampa di hatinya terisi. Dia sendiri tak mengerti kenapa bisa begitu. Kebetulan juga Pak Rasyid sudah pulang dari kantor untuk makan siang di rumah. Bu Rasyid sudah memberitahukan bahwa atasan Betari datang berkunjung. Agha mendapat kesempatan mengenal keluarga itu lebih dekat. Saat mereka sedang bersantap, di luar terdengar kendaraan berhenti dan seseorang datang. Betari dan keluarganya tahu itu adalah Reksa. Di luar, pria itu memanggil-manggil Betari. Wajah Pak Rasyid merah padam menahan emosi.
"Bu, aku tidak mau bertemu dengannya," selera makan Betari lenyap seketika. Dia meletakkan sendoknya dan ingin beranjak kembali ke kamar. Tapi Agha menangkap tangannya.
"Tidak usah menghindar, hadapilah. Bukan kamu yang membuat kekacauan ini. Semakin kamu lari, maka kamu akan semakin sakit sendiri. Ayo keluar!"
Melihat itu, hati Pak Rasyid menghangat. Begitupun Betari, dia merasa Direktur muda itu ingin mengajarinya menjadi perempuan yang elegan dan tahan banting menghadapi seorang pria pecundang. Mereka keluar menemui Reksa.
"Ta! Dengarkan aku, aku dijebak. Kamu tahu Rasti kan?" Ekspresi Reksa berubah ketika melihat Betari muncul tapi tangannya digenggam seorang pria. Pria yang terlihat dari penampilannya, pasti orang berpengaruh, "Ta, pernikahan kita tidak boleh batal."
"Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu kemarin, Sa. Tapi satu hal yang aku pahami. Jika kamu saja tidak bisa menjaga dirimu sendiri, bagaimana kamu bisa menjagaku kelak? Aku anggap kita sudah selesai. Pulanglah!" Betari berbalik dan lesap ke kamarnya. Reksa bermaksud menyusulnya tapi Agha menghalangi. Reksa mendengus. Namun tidak kuasa melampiaskan kekesalannya. Reksa hanya bisa berlutut memeluk kaki Bu Rasyid, memohon ampun pada wanita yang dulu begitu mempercayainya itu.