Chereads / Jerat Pernikahan Kontrak / Chapter 25 - 25 Perjanjian baru

Chapter 25 - 25 Perjanjian baru

Jefri menyeringai senang saat mendengar jawaban dari Karin. Tentu saja ia merasa didukung. Syarat apa pun akan ia lakukan agar niatnya kembali pada Jeni bisa disetujui.

"Apa itu syaratnya?" Jefri bertanya dengan senang.

"Kalian boleh rujuk selama waktu kesempatan selama lima bulan yang kamu maksud. Dalam waktu selama lima bulan itu kamu harus memutuskan, Jeni atau istri kamu yang akan kamu jadikan wanita satu-satunya. Namun, satu syarat yang harus kamu sepakati. Syarat itu adalah kamu tidak boleh menyentuh Jeni dalam kurun waktu perjanjian itu yakni lima bulan. Selama lima bulan kamu tidak boleh menyentuh tubuh Jeni dengan cara apa pun. Dan Tante meminta surat kesepakatannya. Kalau kamu mau, silahkan. Tapi kalau kamu tidak kau, pergilah dan jauhi Jeni selamanya." Karin tampak berbicara dengan tegas pada Jefri. Ia tidak mau jika Jeni harus kembali terperangkat dalam jeratan Jefri.

"Apa!" Jefri terkejut. Mana bisa ia kembali pada Jeni jika tubuh wanita cantik itu tak bisa disentuh sama sekali. Tapi, jika Jefri tak menyetujuinya, itu sama saja dia memberikan kesempatan pada Wili untuk bisa bersama Jeni.

Jefri tercengang. Ia merasa bingung. Ia ingin kembali pada Jeni karena Jefri sangat mencintainya dan ingin selalu bercinta dengannya.

"Kenapa kamu diam?" Karin membangunkan Jefri dari lamunan singkatnya.

"Kenapa harus seperti itu syaratnya? Itu hanya akan menyakiti saya," balas Jefri terlihat dilema.

"Bukankah jika kalian rujuk memang akan banyak menyakiti orang lain? Istrimu dan juga adikmu!" Karin berbicara sedikit emosi.

"Saya hanya meminta, jangan sentuh Jeni selama lima itu. Setelah kamu memutuskan siapa yang akan menjadi satu-satunya istrimu maka saat itu pula kamu bisa memilih bersama Jeni atau istrimu. Jika Jeni orang yang kamu pilih, tentu saja Jeni akan menjadi milikmu seutuhnya. Tapi jika istrimu yang kamu pilih, maka biarkan Jeni pergi dan jangan kamu usik lagi." Karin tampak tegas. Ia tak akan lagi mengorbankan Jeni. Janinnya memang butuh seorang Ayah, tapi bukan untuk terus menjadi simpanan suami orang.

Jefri mematung sambil menurunkan wajahnya. Ia terlihat bingung harus memutuskan apa. Nyatanya Karin memang lebih terlihat jelas dibanding papahnya Jeni yang hanya menginginkan uang semata.

'Aku yakin, Jefri tak akan mampu jika menikah tanpa menyentuh tubuh Jeni. Aku lelaki sialan ini memang hanya menginginkan tubuh anakku saja tanpa perduli dengan masa depannya,' pikir Karin merasa menang. Ia memang tak main-main dengan ucapannya. Nada bicara dan raut wajahnya tampak tegas dan serius sehingga Jefri tak berani menentangnya.

"Saya tidak meminta jawaban kamu hari ini, pergilah dan pikirkan tawaran saya. Jika kamu bersedia, datanglah kembali dengan membawa surat perjanjian yang saya minta. Tapi bila tidak bersedia, maka jangan pernah mengganggu kehidupan Jeni kembali," tegas Karin.

Jefri masih saja diam dengan isi dada yang terasa sesak mendengar tawaran Karin. Ia memang tak bisa memberikan jawaban untuk malam ini. Ia dilema dan masih dalam posisi serba salah.

"Silahkan pulanglah. Kami akan segera istirahat," pinta Karin terdengar mengusir namun masih dengan nada ramah tanpa meninggikan nada suaranya.

"Oke saya akan pulang untuk malam ini. Saya akan segera kembali dan menyampaikan keputusan saya," balas Jefri lesu. Raut wajahnya seketika berubah tak seperti tadi yang semringah dan terlihat senang.

"Oke! Kita tunggu." Karin menimpali. Sementara Jeni masih saja membisu semenjak kedatangan mamahnya. Beruntung ia belum sempat membubuhkan tanda tangannya pada surat perjanjian yang kini masih berada di atas meja dan ditinggalkan Jefri begitu saja. Surat perjanjian yang dibuat Jefri tadi hanya menguntungkan Jefri saja dan tidak begitu banyak menguntungian Jeni.

Karin yang datang tepat pada waktunya seakan telah menyelamatkan Jeni yang hampir saja memutuskan sesuatu tanpa pemikiran yang panjang. Karin berharap, setelah ini Jefri tak akan lagi mengganggu kehidupan Jeni karena mereka sudah yakin akan segera pergi dari rumahnya dan memilih pindah ke wilayah yang baru yang tentunya melepaskan diri dari kisah rumit yang menegangkan.

"Ayo kita makan, Mamah sudah beli dua bungkus nasi goreng dengan ayam bakarnya. Kita harus makan sebelum tidur. Kita akan pergi besok melupakan semua mimpi buruk ini," ucap Karin seraya meletakan plastik yang berisi makanan yang telah ia beli. Ia kemudian beranjak dari tempat duduknya, berjalan ke dapur mengambil piring dan juga sendok untuk menaruh makanannya.

Jefri kini sudah pergi jauh dan mereka akan segera makan setelah waktunya tertunda oleh perbincangan tadi. Perbincangan panas yang cukup menegangkan.

Sementara Jeni, ia masih saja dalam kebisuannya. Ia pun merasa dilema. Wili adalah lelaki yang ingin ia miliki. Jeni ingin menikah dengan Wili, lelaki yang sangat ia cintai. Tapi, harapan itu menipis begitu tajam dan seketika mematahkan impiannya.

Karin yang sudah menuangkan nasi goreng dengan lauknya itu, segera ia sodorkan pada anaknya.

"Makanlah, kamu harus tetap sehat. Janinmu pun membutuhkan makanan dan gizi yang cukup. Jangan pikirkan masalah ini lagi. Kita akan ikuti alurnya bagaimana nanti. Siap atau pun tidak, kita harus siap menghadapinya," titah Karin. Ia berbicara cukup bijak. Karin tak mau lagi menghakimi anaknya. Yang harus ia lakukan saat ini adalah memperbaiki diri untuk masa depan yang lebih baik lagi.

"Makasi ya, Mah. Aku tidak tahu harus bicara apa lagi. Mamah adalah pahlawanku," balas Jeni. Pasang maniknya kembali berkaca-kaca. Ia menyesal dengan kisah buruknya. Jeni merasa berunting karena mamahnya terlihat sangat mendukung tanpa terus-terusan menghakiminya.

"Hanya ini yang bisa Mamah lakukan. Makanlah dahulu, karena jika harus terus-terusan membahas masalah ini memang tak akan ada habisnya. Kita harus punya tenaga yang cukup serta tubuh yang sehat untuk melewati masalah ini," balas Karin.

Ibu dan anak itu memilih mengakhiri percakapan panas itu malam ini. Mereka memang harus makan agar selalu kuat dan sehat. Karena jika harus mengingat kembali masalah itu, jangankan untuk menikmati makanan, tidur pun terasa tak akan nyenyak.

Karin merasa mereka memang harus segera pergi dari rumah ini, dia harus menjauhi mantan suaminya yang dengan tega menjerumuskan Jeni ke lembah permasalahan ini.

Setelah selesai dengan makan malamnya, mereka berjalan masuk ke ruang kamarnya masing-masing.

Malam ini Jeni tak dapat memejamkan kelopak matanya, rasa pedih pada isi dadanya semakin bertambah parah. Berat rasanya jika harus melepaskan Wili, lelaki itu sangat berharga baginya.

Jeni tampak merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan menatap langit-langit kamarnya, sampai terdengar bunyi notipikasi pesan dari benda pipih yang terletak di atas nakas dekat tempat tidurnya.

Bunyi notipikasi pesan itu membangunkan Jeni dari lamunannya. Wanita cantik itu segera mengambil ponsel pintarnya kemudian membuka pesan masuk yang datangnya dari sang kekasih.

My Wili : [Jen, maafkan aku baru sempat menghubungimu. Seharian ini aku dikampus berjibaku dengan persiapan acara wisuda yang akan dilaksanakan satu minggu lagi.]

Pesan pertama yang dikirim Wili. Kemudian datang kembali pesan kedua dari Wili.

My Wili : [Jen. Aku sangat mencintai kamu. Mas Jefri hanya salah paham dengan uang itu. Aku akan segera menyelesaikan masalah ini dengan, Mas Jefri. Dan rencana pernikahan kita akan tetap terjadi.]