"Apa yang kamu pikirkan?"
Luna yang awalnya melamun di balkon lantai dua kafe dekat ruangannya tampak sedikit tersentak. Ketika melirik ke belakang, dia menemukan sosok Gino yang mendekatinya. Dua cup minuman yang masih mengeluarkan asap terlihat dari sana.
"Nih. Green tea kesukaan kamu. Biar kamu rileks."
Luna tersenyum sambil menerimanya. "Terima kasih, Gin."
Hening.
Untuk sejenak kedua orang itu berdiri berdampingan di sana, seraya menikmati pemandangan yang ada. Mereka melihat keramaian yang tersedia di depan kafe. Di mana di jam segini, saat semua orang telah meninggalkan pekerjaan mereka, jalanan menjadi ramai oleh orang-orang yang kebanyakan keluar untuk mencari hiburan.
Percaya tak percaya menonton semua itu memberikan hiburan tersendiri juga buat mereka.
"Apa yang kamu pikirkan? Apa ini soal Serra dan ulahnya tadi?" Gino akhirnya kembali memecah keheningan.
"Hm…." Luna menjawab tanpa ragu. "Ini menyebalkan sekali. Kupikir setelah aku benar-benar meninggalkan Rafael, segala masalah selesai. Aku bisa mencoba melupakannya dan menata kehidupanku yang baru. Tapi kenapa itu masih saja menjadi masalah? Kenapa itu masih saja mengikutiku seperti sekarang? Aku tak mengerti."
Gino awalnya mengusulkan pada Luna untuk melanjutkan hidup di luar kota saja. Karena melihat bagaimana wanita itu kembali sangat galu terhadap Rafael, dia pikir benar-benar memisahkan mereka adalah solusi terbaik dari semua ini. Dengan begitu peluang Rafael kembali mendekatinya akan semakin kecil. Karena mungkin saja kebencian pria itu tak ampuh selamanya, mengingat dia tahu betul betapa dalamnya perasaan Rafael terhadap Luna.
Tapi sayangnya Luna menolak usulan itu. Karena keluarga dan hidupnya selalu di ibu kota ini. Sehingga pada akhirnya membuat Gino menyerah untuk memberikan usulan.
Namun inilah dampak yang harus diterima. Mereka masih berada di kota yang sama dengan Rafael, sehingga kemungkinan bertemu juga besar. Luna juga akan semakin sulit untuk melupakan pria itu karena banyak tempat kenangan mereka juga di sekitarnya. Belum lagi Serra yang masih mengait-ngaitkan mereka, sehingga mau tak mau ini jadi tak sesuai dengan harapannya. Sehingga mau tak mau Gino hanya perlu berlapang dada.
"Pokoknya kamu jangan khawtirkan Serra. Aku akan berusaha untuk menjauhkannya dari tempat ini, walaupun mungkin butuh waktu. Yang jelas dia nggak akan mengganggu operasional ataupun produktifitas dari 'Dear Moon'. Jadi jangan dipikirkan."
Luna melirik padanya heran.
"Tapi tadi Serra bilang apa pada kamu saat kamu membawa ke ruangannya? Setiap hari dia datang ke sini, dia benar-benar jadi lebih tenang setelah itu. Dia berhenti mengacau dan akhirnya pergi begitu saja."
"Tentu saja berusaha menenangkannya sebisaku. Dia curhat tentang apa yang harus dia lakukan untuk mendapatkan hati Rafael lagi, lalu aku berikan sedikit pemikiranku. Karena walau gini-gini… aku kan memang sudah mendampingi Rafael sejak umur empat tahun. Aku tahu paling banyak tentangnya – bahkan mungkin dibanding orang tuanya yang selalu gila kerja."
Ucapan ini membuat Luna terdiam.
Karena sampai sekarang salah satu penyesalan di dalam dirinya karena merasa telah merusak persahabatan kental antara kedua pria itu. Bahkan tak hanya itu, Gino pun kini telah dicap sebgai seorang penipu oleh Rafael, ketika dia merasa pria itu tak salah apa-apa.
Tentu saja karena dia tak tahu keadaan sebenarnya, di mana Gino yang selalu menunjukkan pesona pria baik-baik di depannya ini ternyata diam-diam malah sebaiknya.
"Maaf ya, Gin." Luna bersuara lagi dengan tiba-tiba. "Maaf karena aku udah merusak pertemanan kalian. Maaf karena sudah bikin Rafael salah paham sama kamu, lalu membenci kamu. Kamu pasti merasa sangat sedih karena harus kehilangannya dengan cara seperti ini."
Gino meliriknya dengan cepat. "Tch, sampai kapan sih kita harus terus membahas ini? Itu bukan salah kamu, Luna. Jadi jangan menyalahkan diri sendiri terus seperti ini."
Luna menghela napas dalam-dalam.
Namun sebenarnya Gino antara menikmati dan membenci rasa bersalah ini. Di sisi lain dia bisa menggunakannya untuk meraup simpati dari Luna, namun di sisi lain juga mungkin menjadi penghalang baginya untuk mendapatkan hati perempuan ini. Karena dia terus saja diperlakukan sebagai teman karena fakta kalau dia adalah teman dari mantan kekasihnya.
"Justru aku selalu berharap agar kerugian yang kudapatkan ini, memberikanku untung di bidang yang lain. Kamu, Luna. Karena kini aku tak lagi berteman dengan Rafael, kuharap kamu berhenti menolakku dengan alasan itu." Jeda sejenak, pria itu pun melanjutkan, "Aku selalu berharap kamu mulai lebih terbiasa."
Ekspresi Luna tampak langsung berubah sedikit keberatan kalau Gino sudah mulai membahas soal ini. Soal perasaan yang sulit terbalaskan pada perempuan itu.
"Gino…."
"I know." Pria itu terkekeh ringan. "Aku tahu kalau kamu selalu nggak senang kalau aku mengatakan ini. Tapi izinkan aku untuk sesekali curi-curi kesempatan."
Luna tak bisa berkata-kata.
Gino tahu semakin sulit baginya untuk memegang ucapannya. Semakin dia goyah dengan kenyataan yang ada. Apalagi Gino juga memastikan untuk terus cari muka di depan Mia, sehingga sahabat Luna itu bisa terus membantunya untuk mendekati Luna. Bisa terus mendorong wanita ini agar mau dengannya.
Gino merasa kalau begini terus pada akhirnya Luna akan menyerah dan mau menerimanya.
"Ya sudahlah. Berhenti membahas ini. Yang jelas, aku nggak mau kamu terlalu mengkhawatirkan Serra. Aku yang akan mengurusnya. Jadi kamu bersabar sampai aku bisa benar-benar memikirkan cara untuk menyingkirkannya, oke?"
"Oke." Luna tersenyum lagi padanya. "Makasih, Gino."
"My pleasure. Itu sudah menjadi tugasku kok. Aku kan manajer dari kafe ini."
Kedua orang itu kembali saling tersenyum.
"Tapi… apa kamu masih belum berniat untuk mencari pekerjaan lagi, Gin?" Luna bertanya lagi setelah beberapa saat. "Aku tahu kalau kamu menikmati pekerjaan ini. Karena walau kafe kita kecil, tapi kita semua sangat berdedikasi untuk mengembangkannya. Tapi… ini kan bidang kamu sama sekali? Kamu adalah pria cerdas tipe kantoran, yang terbiasa berkutat dengan hal-hal berbau IT. Apa kamu yakin nggak mau kembali ke bidang kamu—"
"Luna." Gino menyela ucapannya. "Aku benaran have fun dengan semua ini kok. Aku menyukai semua yang kita lakukan ini. Kan sudah kukatakan?"
"Tapi tetap saja kalau saja kamu memang merasa tak sesuai."
"Enggak sesuai kok. Kamu kan tahu kalau nyatanya banyak yang mulai menawarkan pekerjaan lagi padaku, tapi aku yang menolaknya. Karena memang aku sangat menyukai semua ini. Lagipula aku memang butuh healing setelah kerja tanpa henti selama bertahun-tahun, jadi kamu nggak perlu mencemaskan ini."
Bagaimana Luna tak cemas? Karena memang hidup Gino seperti banyak berubah karenanya. Kehilangan teman, lalu juga pekerjaan. Sehingga walaupun dia tahu Gino sangat bersenang-senang menekuni bisnis mereka ini, tetap saja dia merasa bersalah akan perubahan besar yang terjadi karena Gino berpihak padanya.
Lagi-lagi tentu saja karena Luna tak tahu keadaan sepenuhnya. Dia masih belum mengetahui diri Gino yang sebenarnya. Kalau pria yang sering dianggapnya sebagai malaikat tanpa sayap ini, nyatanya merupakan iblis terkejam yang terlalu pandai menyamar. Dia masih belum tahu hal itu.
***