Setelah membuka kafe selama seharian, 'Dear Moon' ditutup di jam sebelas malam. Maka setelah seluruh karyawan mengunci pintu dan mengurus segala hal yang perlu, mereka pun mulai berniat untuk meninggalkan tempat itu.
"Selamat beristirahat yang semua. Berhati-hati di jalan pulang," kata Gino setelah mengunci pintu kafe. Melepas dengan ramah para karyawan shift malam yang bertugas.
"Ya, Mas. Mbak. Hati-hati di jalan juga ya."
Para karyawan itu membubarkan diri, sehingga kini hanya menyisakan dua orang dengan kedudukan paling tinggi di tempat itu – Luna dan Gino. Sementara Mia tak pernah ikut shift malam. Perempuan itu selalu pulang di jam lima sore karena harus mengurus suaminya di rumah.
Gino mengantongi kunci toko yang ada di tangannya, lalu melirik Luna yang masih berdiri di sampingnya.
"Malam ini kamu mau pulang jalan kaki lagi? Padahal aku bisa mengantar kamu lho, Luna," kata Gino pada perempuan itu. Namun dengan senyuman Luna menggeleng.
"Nggak perlu. Kamu langsung pulang aja. Aku kan sudah bilang kalau aku memang lebih suka berjalan, demi menjaga kesehatan juga di jaman sekarang. Lagian kontrakanku dekat banget dari sini."
Namun Gino malah tertawa miris dengan jawaban itu. Karena dari awal dia tak pernah percaya dengan ucapan Luna itu. Menurutnya Luna hanya sengaja berjalan pulang untuk menghindarinya, sehingga tidak perlu merasa terdesak untuk menjawab pernyataan cintanya. Dia juga terus menutup kemungkinan mereka untuk saling bermesraan.
'Tapi sudahlah. Kan memang inilah yang kuinginkan dari awal.'
"Ya sudah. Kalau begitu pergilah berjalan lebih dulu, lalu aku akan mengiringi kamu dengan mobilku—"
"Tch, nggak usah Gino. Beneran deh. Aku benaran nggak papa pulang sendiri."
"Tapi ini udah malam banget, Luna. Bahaya bisa saja terjadi."
"Nggak ada hal seperti itu, Gino. Kamu terlalu parno. Sudah beberapa bulan aku tinggal di sana, tapi tak terjadi apapun kok. Aku juga selalu pulang malam kayak begini. Jadi nggak usah berlebihan."
Sayangnya mulai malam ini akan berbeda. Karena Gino akan menggunakan sikap keras kepalanya ini, deni keuntungannya sendiri. Agar dia bisa lebih dekat dengan wanita ini.
"Ya sudah kalau begitu. Kamu jalan duluan deh, biar aku yang tutup pagar. Aku akan lebih tenang seperti itu."
"Udah. Kamu naik mobil aja, lalu aku yang akan tutup pagarnya. Nanti kita berjalan pulang bersama-sama."
"Argh, kenapa sih kamu begitu keras kepala." Gino akhirnya menghela napas pesrah. Lantas mulai berjalan menuju mobilnya. "Ya sudah. Ayo pulang. Jangan lama-lama di sini. Mending istirahat di rumah."
Keduanya kemudian mengambil jalan mereka masing-masing. Gino menaiki mobilnya dan bergerak ke luar perkarangan. Namun dia turun lagi untuk membantu Luna menarik pintu pagar.
"Aku bilang nggak usah juga. Pagar ini ringan, sehingga nggak perlu dua orang yang menguncinya," omel Luna melihat pria itu sudah kembali bekerja keras di sampingnya.
"Entah itu ringan atau berat, tapi gimana mungkin aku biarin kamu bekerja sendiri sementara aku ada di sini? Sekalian biar kerjaan kita lebih ringan juga."
Giliran Luna yang tak bisa protes, membiarkan Gino membantunya. Sehingga tak lama kemudian mereka bisa menggembok pagar itu biar aman.
"Kamu yakin nggak ikut—"
"Tch, kamu nanya yang sama melulu. Apa nggak capek, huh? Tiap malam selalu begitu." Luna memotong ucapannyas ambil meledek pria itu. "Aku nggak apa-apa. Udah. Segera masuk mobil sana. Karena aku mau langsung pulang juga. Bye."
Tanpa pamit dua kali, Luna mulai berjalan memasuki gang yang terletak tak jauh dari kafenya itu. Terus melambaikan tangan selama beberapa saat, sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam. Menyisakan Gino yang memandang punggungnya menjauh.
"Besok nggak usah maksain datang pagi. Karyawan bisa kerja sendiri!" seru Gino lagi. Luna hanya semakin meninggikan tangannya, melambai, sambil semakin berjalan menjauh.
Di saat itulah senyuman manis Gino berubah jadi seringaian licik. Pria itu melayangkan pandangannya ke sekitar, menemukan sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Seorang pria dengan pakaian hitam-hitam turun dengan tergesa-gesaa ke arahnya.
"Cepatlah. Kenapa lama sekali? Dia keburu pergi."
"M-Maaf, Bos."
Pria misterius dengan pakaian serba hitam itu pun berlari-lari kecil menuju arah yang diambil Luna tadi. Mulai menjalankan rencana licik Gino dengan bantuan Roy dan anak-anak buahnya.
"Maaf, Luna. Tapi aku sudah nggak sabar. Sebaiknya kita singkirkan segala hal yang nggak perlu ini, lalu mulai bercinta. Mau sampai kapan kamu tahan hidup kesepian."
Setelah menggumamkan itu dengan pelan, Gino langsung memasuki mobilnya lagi. Dengan senyuman lebar meninggalkan tempat itu, setelah sebelumnya sempat memberi kode pada beberapa pria di mobil untuk menangani tugas mereka dengan becus.
***
Luna berjalan pelan menyusuri pinggir jalanan gang yang dia masuki. Untungnya keadaan masih lumayan ramai karena di sini dekat dengan pusat kota. Di mana usaha-usaha kecil yang ada di sekitar sana pun masih menggeliat. Sama halnya dengan kendaraan yang berlalu lalang.
Kalau sudah begini, maka kegalauan akan kembali mendatanginya. Setelah dia sibuk bekerja di kafe dengan memasang senyum palsu dan keceriaan, biasanya di saat begini emosi aslinya akan bermunculan. Membuatnya jadi merasa muram sambil menundukkan kepala, semuram malam yang dingin seakan tanpa bintang ini.
Namun walau begitu Luna berusaha untuk menahannya. Sama seperti sebelumnya, dia menepis pemikiran itu dan terus berjalan menuju kontrakannya yang sudah semakin dekat. Harus selalu melanjutkan hidup.
Tapi….
Di satu titik Luna menghentikan langkahnya tiba-tiba, lantas segera melirik ke belakang. Ada perasaan aneh yang dia rasakan seakan ada yang mengikuti dan mengawasinya dari belakang. Namun dia tidak melihat apapun yang mencurigakan, selain kesibukan malam yang dia tinggalkan tadi.
'Apa perasaanku saja ya?'
Luna akhirnya terus berjalan. Namun di saat itu juga sama. Dia merasa seperti ada langkah yang mengikuti ritme langkahnya. Yang bahkan saat dia mempercepat jalan pulang, rasa-rasanya langkah itu juga kian dipercepat untuk menyusulnya.
Luna melihat ke belakang lagi untuk memastikan, walau kembali tidak ada yang berubah.
'Sepertinya karena aku kebanyakan melamun nih. Sehingga itu sebabnya jadi begini. Sudahlah. Segera pulang saja.'
Luna akhirnya semakin mempercepat langkahnya. Segera menaiki tangga menuju salah satu unit di sana. Di mana tanpa dia sadari kejutan lain dari Gino telah menunggunya untuknya.
Dengan suasana hati yang tak terlalu tenang itu, Luna segera menuju unit nomor 302 yang berada di lantai tiga. Anehnya walau keadaan tempat itu memang cenderung sepi setiap kali dia sampai di rumah, malam ini lebih sepi lagi. Hal itu membuatnya ingin segera memasuki rumah dan mengunci pintu agar aman dari kegelisahan ini.
Tapi hal yang tak terduga dia temukan di depan pintu kontrakannya. Dia melihat ada sebuah buket bunga terletak tepat di depan pintu. Sehingga membuatnya memungut dengan kebingungan.
'Ini dari siapa?'
***