'Ini dari siapa?'
Rasa penasaran dan heran membuat Luna segera memungut buket bunga tersebut. Langsung memeriksa kartu ucapan yang dilampirkan di bungkusnya.
[Untuk: Cinta.
Akhirnya datang hari di mana aku bisa mengungkapkan perasaanku padamu. Perempuan pemilik kafe yang cantik, serta selalu membuatku kagum. Yang ahli membuat jantung ini bergetar.
Love, calon pasangan masa depanmu.]
Bukannya merasa tersanjung atau senang, Luna malah tampak gelisah. Dengan cepat celingukan melihat ke sekitar. Mencoba mencari tahu dari mana arahnya bend aini datang. Karena tak sembarangan orang mengetahui tempat tinggalnya.
Lagipula ini tak wajar.
Di saat itu ponselnya berdering. Luna menepis lamunannya barusan, lalu segera mengambilnya dari dalam tas yang dia sandang. Tampak sedikit heran melihat nomor yang tak dikenal berusaha untuk menghubunginya. Namun walau begitu memutuskan untuk tetap meladeninya.
"Halo?"
'Kamu sudah menerima bunganya? Gimana? Kamu suka?'
Luna kembali mengedarkan pandangan ke sekitar dengan waspada. Suaranya terdengar bergetar saat menyahut.
"K-Kamu siapa? Dari mana kamu mendapatkan nomor ponsel saya?" tanyanya gugup.
'Apa itu penting sekarang? Yang penting adalah bunganya? Kamu suka atau enggak? Soalnya setiap di kafe kamu tampak merawat bunga-bunga yang menjadi hiasan kafe. Kamu terlihat merawat mereka dengan baik. Tanpa tahu kalau kamu selalu lebih cantik daripada bunganya.'
Kenapa orang ini bicaranya jadi semakin aneh? Hal itu sungguh semakin memperparah keresahan di dalam dadanya. Muncul rasa takut karena ini menunjukkan tanda-tanda tidak aman baginya, terutama karena dia tinggal sendirian.
"Jangan mengada-ada. Berhenti mengganggu saya. Saya tutup—"
'Atau kenapa kamu tidak membiarkan saya masuk'
Niat Luna untuk menghentikan pembicaraan dan memutus sambungan pun terhenti. Saat orang itu kembali mengatakan hal yang mengejutkan itu. Hal yang membuat keresahan di hati Luna tiba-tiba jadi membesar.
'Malam ini sangat dingin, kan? Sehingga ini kesempatan yang bagus untuk mendapatkn kehangatan. Saya bisa jaga kamu, Luna. Sehingga kamu nggak perlu melewatinya dengan kesepian.'
Bulu kuduk Luna semakin merinding saja mendengarnya.
"Jangan macam-macam. Berhenti mengganggu saya, karena saya bukan orang yang seenaknya kamu perlakukan begini. Bunga ini nggak akan saya terima, karena Anda mengirimnya tanpa sepengetahuan saya serta tanpa keterangan yang jelas asal muasal Anda mengetahuinya. Begitu juga dengan nomor ponsel ini, yang nggak seharusnya dibagikan ke sembarangan orang—"
'Tch, kalau galak begini aura kamu berubah deh. Setiap menjaga kafe kamu terlihat polos dan manis, tapi… kalau marah-marah jadi seksi. Aku jadi penasaran kamu tipe yang seperti apa kalau sudah di tempat tidur ya? Tipe yang polos atau… mungkin tipe seksi yang nggak sabaran—'
"Cukup ya!" Luna berseru dengan tak sabaran. "Ini sudah keterlaluan. Yang Anda lakukan adalah tindak pelecehan. Sehingga—"
'Sehingga apa? Apa kamu akan melaporkanku ke polisi?' Pria itu menyela dengan cepat. 'Kalau memang itu yang kamu mau, silakan saja. Tapi… alangkah baikny kalau kamu melakukannya setelah kita bersenang-senang di malam yang dingin ini. Aku janji, kamu pasti akan merasa puas. Sehingga nggak akan terus kesepian seperti sekarang.'
"Tutup mulut kamu ya!" Luna semakin emosi. 'Awas aja kalau kamu berani macam-macam. Maka saya akan… saya akan—"
'Omong-omong berbaliklah, cantik. Aku bisa hanya melihat punggung kamu saja dari sini. Aku pengen lihat wajah yang yang cantik dan seksi itu.'
Apa?
Luna dengan cepat berbalik, sambil masih celingukan mencari arah suara. Di saat itu matanya sosok pria dengan pakain serta hitam. Ditambah dengan masker yang membuatnya jadi terlihat semakin misterius.
'Boleh kamu ke sana? Bokeh aku masuk, dan menemani kamu?'
"Jangan macam-macam!" Luna berseru tak tenang. "Sebaiknya kamu pergi sebelum saya lapor polisi. PERGI!"
Kini tanpa menunggu, Luna segera memutus sambungan telepon itu. Dia lantas dengan tergesa-gesa membuka pintu kontrakannya, lalu segera masuk ke dalamnya. Meninggalkan bunga tadi di sana, lalu mengunci pintu dengan serapat-rapatnya.
Luna lalu segera beranjak menuju jendela yang ada di sana untuk mengintip. Dilihatnya sosok itu masih terlihat berdiri mencurigakan di seberang jalan, seraya mengotak-atik ponselnya.
Tak lama kemudian secara tiba-tiba ponsel Luna bergetar lagi.
Walau ragu, Luna tetap memeriksanya. Lantas dengan cepat membuka pesan yang tadi.
[+6285290XXXXX9: Sepertinya lain kali saja. Kamu pasti masih sangat terkejut. Saya akan berkunjung lagi lain kali. Setiap beristirahat, cantik.]
Seakan hanya untuk memastikan Luna telah membacanya saja, orang itu akhirnya bergerak setelah itu. Dia lalu berjalan pelan menuju arah barat. Arah di mana tadi Luna datang dari letak kafenya.
Luna memandangnya hingga hilang dari pandangan.
'Siapa dia? Kenapa dia tiba-tiba menggangguku?'
***
Bertha tanpa sengaja tersentak di tengah malam. Wanita itu lalu teringat sesuatu yang membuatnya mengintip melalui jendela. Dan seperti prediksinya, dia melihat sosok sang putra yang tengah berdiri sendirian di pondok dekat kolam berenang. Memandang kosong di sekitarnya.
'Tch, kalau begini walau aku sudah berhasil membuatnya mengingat kembali dirinya yang dulu, tapi dia malah bisa mendapat penyakit lainnya. Penyakit kejiwaan. Sampai kapan dia akan terus hidup seperti itu.'
Bertha kemudian mengingat pertemuannya dengan Serra beberapa hari yang lalu. Tentang pembicaraan yang mereka bagi terhadap satu sama lain,
'Sepertinya solusi yang bisa mengatasi ini adalah seorang wanita. Seseorang yang membuatnya lupa dengan wanita itu. Aku sebenarnya tidak setuju lagi dengan Serra karena aku tak suka tabiatnya, tapi ancamannya membuatku kepikiran. Sehingga mungkin… aku terima saja tawarannya lagi agar mereka kembali dekat. Mungkin akan ada cara di mana Rafael mau kembali menerimanya, setidaknya untuk pelarian agar melupakan cinta pertamanya itu.'
Bertha lalu menghubungi nomor ponselnya itu. Panggilannya masuk, namun melihat Rafael tetap tenang di sana sepertinya dia sengaja tak membawa ponsel. Sehingga akhirnya Bertha menghubungi kepala pelayan di rumah itu agar membujuk Rafael berhenti di luar dan kembali ke kamarnya.
Namun usaha Bertha tak hanya di sana. Dia lalu mengirimkan pesan kepada Serra.
[Bertha: Baik. Saya akan coba berikan kamu kesempatan lagi. Saya akan bantu kamu mendekati Rafael lagi, tapi kamu bantu agar dia bisa segera melupakan perempuan itu secepat mungkin. Entah membuat Rafael benar-benar muak padanya atau mengusirnya pergi dari kota ini, saya nggak peduli. Yang jelas… saya ingin dia berhenti bersikap lemah seperti sekarang. Saya ingin dia melanjutkan hidupnya lagi.]
Tak menunggu waktu lama bagi Bertha untuk menerima balasan dari pesan itu.
[Serra: Baik, Tante. Tenang saja. Saya akan mengurusnya. Saya yakin kali ini kita bisa menyingkirkan Cinta sepenuhnya, lalu Rafael bisa kembali jatuh cinta padaku.]
Bertha mengantongi ponselnya lagi. Memandang Rafael yang kini telah didekati oleh salah satu ART di rumah ini.
***