Chereads / The CEO and His First Love / Chapter 5 - Orang Keempat Yang Licik

Chapter 5 - Orang Keempat Yang Licik

Sementara kini kita berpindah ke sebuah bangunan hotel bintang lima yang berada di pusat kota. Tepatnya ke ruangan sang Kepala Manajer dari tempat itu. Yang tak lain diduduki oleh seorang wanita cerdas yang juga merupakan anak dari pemilik badan usaha penginapan itu.

Namun perempuan itu kini terlihat uring-uringan. Dia terus mengomel dengan panjang dan lebar, sambil sesekali memeriksa ponselnya. Dia menghubungi sebuah nomor tapi katanya tak bisa disambungkan. Membuatnya akhirnya menarik kesimpulan kalau nomor ini mungkin telah diblokir oleh pemiliknya.

"Tch, kenapa sih Rafael masih saja mengabaikan panggilanku? Kenapa sih dia harus selalu begini?" Wanita dengan nama Serra itu mengomel tak tahan. "Padahal apa kurangku dalam hal ini? Apa aku kalah cantik, sehingga terus diabaikan bak benalu. Kami bahkan pernah berhubungan badan dan dia menikmatinya. Tapi kenapa seenaknya sekali dia membuangku seperti sampah? Padahal kami sudah sempat bertunangan dan harusnya telah menikah."

Serra memandang sebuah cincin bertahta berlian yang melingkar di jari manisnya. Cincin yang masih dengan bersikukuh dia pakai, bahkan setelah dia menyaksikan bagaimana Rafael melepaskan cincin miliknya tepat di hadapannya. Karena dia tidak mau menerima kenyataan kalau dia telah dicampakkan.

'Ini nggak adil.' Wanita itu mengerang sebal. 'Padahal aku telah melakukan banyak hal untuk mempertahankan hubungan kami. Aku bahkan harus mengikuti permainan gila dari Gino, berharap dia memihak padaku lagi setelah tahu belangnya Luna. Tapi kenapa dia masih saja berbuat dingin padaku? Kenapa dia malah memutuskan hubungan kami?'

Sampai kapanpun Serra tidak bisa terima. Dia tidak akan melepaskan cincin ini. Karena memang begitu besarnya obsesi yang dia miliki terhadap sang CEO. Dia merasa paling berhak atas pria itu, sehingga tidak ada yang boleh memiliki Rafael selain dirinya.

'Argh, ini semua salah Luna.'

Pada akhirnya kembali ke siklus yang sama. Saat dia harus mencari seseorang yang patut disalahkan di dalam hal ini, setelah mengabaikan fakta kalau semua ini tak akan terjadi kalau bukan karena kesalahan mantan kekasih dari mantan tunangannya itu. Karena awal kekacauan ini terjadi begitu wanita itu kembali ke kehidupan Rafael.

'Kalau saja dia tak hadir dan mengalihkan perhatian Rafael, maka semua ini tak akan terjadi. Kalau saja dia tidak kegatelan menggoda tunangan orang. Tapi semenjak dia ada semua jadi berantakan. Rafael jadi kembali mengingat perasaan terhadapnya, lalu akhirnya membuangku.'

Walau pada kenyataannya semua kekacauan itu dia buat sendiri karena rasa iri dan cemburu yang membara, namun tentu saja Serra tidak akan pernah mengakui hal itu. Dia terus membenci dan menyalahkan Luna sampai kapanpun.

'Padahal kuharap rencanaku dan Gino sangatlah sempurna. Harusnya Rafael membenci wanita itu sejadi-jadinya, lalu kembali padaku. Tapi apa-apaan ini? Kenapa dia malah memutuskan hubungan pertunangan kami? Ini benar-benar tidak masuk akal.'

"Tidak bisa dibiarkan."

Serra berdecak tak tahan. Dia kemudian bangkit dari tempat duduknya sambil menyambar tas dan kunci mobil. Mereka kalau dia harus menuju suatu tempat untuk melampiaskan rasa frustrasinya ini.

***

Sementara Luna mencoba untuk membuka lembaran baru setelah kekacauan hidup yang dialaminya. Walaupun sulit karena perasaan bersalah serta rindu yang masih mendalam pada Rafael, dia mencoba untuk melanjutkan hidupnya lagi.

Dear Moon. Itu adalah tempat pelarian dari masalahnya, serta tempat di mana dia mendedikasikan hidupnya saat ini. Dengan menyibukkan dirinya dengan kafe maka setidaknya otak ini bisa melupakan Rafael dan masalah hidupnya sementara waktu.

Lihatlah bagaimana sekarang dia terlibat langsung dengan para pekerja. Mereka berada di gudang untuk mengecek bahan makanan yang baru saja sampai beberapa saat yang lalu.

"Kualitas biji kopinya bagus seperti biasanya. Saya suka," kata Luna pada perwakilan staf yang menangani bahan mentah yang disajikan untuk kafe. "Tapi roti yang kali ini terasa cukup keras. Kabarkan hal itu pada pabrik supliernya, agar memperhatikan kulitasnya lagi sebelum pengiriman selanjutnya. Bilang pada mereka kalau kualitas tidak membaik, kita bisa saja mengganti ke supplier yang lain."

"Baik, Mbak Luna."

Luna tinggal di sana selama beberapa saat lagi. Sebelum tiba-tiba pintu terbuka dari luar, lalu menunjukkan sosok temannya Mia. Mendekati Luna yang kini sibuk mengecek kayu manis dengan mengendus baunya.

"Hari ini masalah datang lagi tuh di luar. Kembali membuat keributan."

Itulah yang Mia katakan begitu berdiri di samping Luna. Membuat sang pemilik badan usaha mengernyitkan dahinya heran.

"Masalah?"

"Itu… mantan tunangannya Rafael yang menyebalkan itu. Cewek nggak tahu diri yang dengan seenaknya memanipulasi fakta, sehingga membuat Rafael membencimu seperti sekarang. Seperti biasanya wanita gila itu masih nggak bisa menerima kenyataan kalau Rafael sudah memutuskan hubungan mereka karena tak tahan dengan kegilaannya."

Langsung saja pekerjaan Luna terhenti. Wanita itu terdiam membeku dari pekerjaannya. Ekspresi wajahnya langsung berubah tak senang.

Lagi, wanita itu lagi. Luna tak tahu kenapa dia terus saja mencari masalah terhadapnya. Dia terus saja menyalahkan Luna atas rusaknya hubungan mereka, ketika nyatanya dia sendirilah yang terus melakukan hal-hal yang gila sehingga membuat pria itu muak dengannya.

Semenjak Rafael memutuskan hubungan pertunangan dengannya sekitar sebulan yang lalu, wanita itu terus datang ke sini dan cari gara-gara. Dia membuat keributan, membuat pengunjung lain risih sehingga bahkan meninggalkan kafe. Belum lagi dengan segala perlakuan tidak menyenangkan yang dia lakukan pada Luna dan karyawan.

"Apa lagi ulahnya sekarang?" tanya Luna tak lama. Akhirnya benar-benar menghentikan pengecekan barang itu lebih awal karena kehilangan semangat. Lagipula sepertinya dia harus turun tangan menghadapi Serra, karena dia tidak akan mempan diperingatkan oleh karyawan biasa.

"Seperti biasanya. Dia terus saja ribut sambil minta dipertemukan denganmu atau Gino," kata Mia cepat.

"Memangnya Gino di mana? Apa masih belum datang?"

"Gino bilang akan telat datang karena harus mengurus pekerjaan rumahnya. Dia akan datang agak sorean katanya, karena dia juga akan menjaga kafe sampe larut malam, kan?"

Kalau sudah begini sepertinya harus Luna sendiri yang menghadapinya. Mau tak mau.

"Untuk sekarang segitu dulu ya, Mbak. Nanti kita cek lagi sisa bahan yang belum sempat," kata Luna pada karyawan yang tadi. Yang langsung menganggukinya.

"Ya, Mbak Luna."

Mereka semua keluar dari gudang penyimpanan itu. Luna mengelap tangannya, seraya membuka apron di tubuhnya. Sedikit mempersiapkan beberapa hal sebelum melangkah ke luar sana.

"Plis, Luna. Kamu harus menerima saranku dan Gino untuk mulai mempekerjakan security untuk mengamankan tempat ini. Karena kita nggak bisa selamanya meladeni perempuan itu seperti ini terus. Dia nggak bisa dilarang dengan kata-kata," kata Mia dengan sangat frustrasi. Rasa muak memenuhi hati dan pikirannya.

Memang dia telah mendapat saran itu cukup sering semenjak Serra terus saja mengacau. Namun Luna masih ragu untuk melakukannya karena dia merasa hal itu tak perlu, mengingat kafe mereka juga baru berdiri dan tak begitu besar. Namun sepertinya kini dia harus mempertimbangkannya lagi. Bukan demi dirinya, namun demi karyawan dan pengunjung kafe.

"Nanti kita bahas. Sekarang sebaiknya kita menemuinya dan lihat apa lagi yang akan dia lakukan dengan terus datang ke sini."

***