Ada hal baru yang Aurora dapatkan saat melihat pria itu berdiri di depan banyak para karyawan dan menjelaskan materi yang sudah jelas mungkin jarang ada waktu untuknya mempelajarinya.
Perasaannya kagum bercampur dengan banyaknya pertanyaan yang muncul di dalam pikirannya. Pria itu berubah menjadi pria yang begitu baik, dalam artian dia bisa menyesuaikan tempat dimana dia bisa menjadi soft boy atau sebaliknya bad boy.
Sampai akhirnya rapat itu berakhir di jam makan siang, semua berangsur meninggalkan ruang rapat begitupun juga dengan pria itu tapi dia memutuskan untuk berbicara dengan ayahnya terlebih dahulu, dan Aurora memilih melihatnya dari depan ruang rapat itu.
"Kenapa aku jadi seperti ini?" Tanya Aurora pada dirinya sendiri, dia heran hanya dengan melihat pria itu dirinya lupa jika Julian saat ini sedang menahan kedua orang tuanya.
"Seharusnya kau yang membuat pria itu jatuh cinta padamu agar kau bisa membuatnya menyesali atas apa yang dirinya lakukan pada kedua orang tuamu dan juga dirimu!" Ucap Aurora lagi pada dirinya sendiri, dia sepertinya harus lebih sering memperingati dirinya, untuk tidak melewati batasan dari semua ini.
Sampai dimana pria itu keluar dari ruangan, Aurora tidak sadar kini pria itu sudah berdiri di hadapannya, dia sedikit melangkah mundur agar tidak terlalu dekat dengannya, bersikap layaknya seorang asisten karena semua orang mengenalnya sepertinya itu.
"Kenapa hanya diam saja?" Tanya Julian, pria itu terulur untuk menarik dasi yang dirinya kenakan, hari ini pekerjaan di kantor sudah berakhir dan jujur sana dia sangat tidak nyaman menggunakan dasi, membuat lehernya terasa begitu tercekik.
Aurora mengangkat kepalanya menatap ke arah pria itu dengan bingung, memang dia harus bagaimana ketika pria itu sudah berdiri di hadapannya.
"Memang apa yang harus aku lakukan?" Tanya Aurora, dia mengatakan hal itu seperti gadis polos yang tidak tahu apapun, padahal dia harusnya mengetahui hal itu dari kalimatnya.
"Menarilah untukku." Jawab Julian, pria itu memilih melangkah lebih dahulu melewati wanita di hadapannya, kenapa harus bertanya seharusnya dia tahu jika saat ini sedang jam makan siang, jadi seharusnya mereka makan bukan bertanya lagi.
"Dasar pria aneh!" Ucap, Aurora baru akan membalik tubuhnya, tapi seseorang menahan bahunya, dia menatap bingung pada pria yang ada di hadapannya, kenapa ayah Julian menahan dirinya?
"Aku yakin kau bukan asistennya, tapi aku yakin Julian punya alasan kenapa dia membawa dirimu kesini, bolehkan aku meminta satu permintaan padamu? Entah kenapa aku ingin meminta bantuan padamu." Ucapnya, raut wajah pria itu sungguh benar-benar sedih, seakan ada hal yang sulit dirinya sembunyikan dari wajahnya, tentang sesuatu ingin dirinya selesaikan.
Aurora hanya menunjukan senyuman canggung pada pria itu, dia tidak tahu jika dirinya bisa membantu dirinya atau sebaliknya ini sengaja yang akan menyebab dirinya menambahkan masalah, atau mungkin akan menjadi senjata boomerang untuknya.
"Aku yakin kamu bisa melakukan." Lanjutnya lagi, dia mencoba untuk meyakini wanita yang ada di hadapannya.
Aurora menelan air liurnya, dia sedikit bergerak dengan ragu untuk memastikan sesuatu di sekitarnya, dia hanya bisa terus tersenyum.
"Aku tidak yakin, aku juga cukup ragu." Jawabnya, dia mengusap hidungnya yang terasa sedikit gatal.
"Ini hanya hal sederhana." Ucapnya, dia menunjukan senyuman di wajahnya, dia akan menganggap ucapan wanita itu sebagai persetujuan.
*******
Hari menjelang sore.
Aurora termenung di balkon kamarnya, setelah kembali dia mencoba mengambil waktunya, memikirkan banyak hal di kepalanya memang sangatlah melelahkan, itulah dia perlu untuk menjernihkannya.
Sudah beberapa hari berlalu atau mungkin satu bulan dia tidak bertemu dengan Clara atau pekerjaannya, semua semakin hampa setiap kali dia menjalankan hal yang bukan keinginannya.
Dia bahkan seakan mati rasa dan selalu berharap hari esok adalah hari dia melihat dunia, tapi ketika bangun setiap hari rasanya seperti mimpi buruk yang terus berdatangan dari malam ke malam berikutnya, tidak ada hentinya sampai semua terasa sama baik dunia atau alam bawah sadarnya.
Aurora menghela nafas, menikmati udara sore memanglah sangatlah menyegarkan.
"Aku merindukan kalian." Ucapan yang baru keluar setelah mungkin selama setengah jam dirinya berdiri di sana, dia membenci kehidupan ini setelah bertemu dengan Julian tapi dia tidak pernah tahu jika semua akan memburuk setelah dia melakukan perjanjian dengannya.
Hingga tatapannya melihat ke arah bawa, cukup dengan melompat dari apartemen yang ketinggian lima belas lantai bisa membuat langsung mati bukan? Tapi jika dia mati, bagaimana nasib kedua orang tuanya.
Saat ini hanya itulah yang ada di dalam pikiran Aurora, dia merindukan kedua orang tuanya dan sangat ingin tahu kabar mereka, berharap ada hal yang bisa dirinya lakukan.
"Kapan kau akan menari untukku?" Tanya Julian, pria itu muncul dari balik pintu balkon, dia membawa sebuah kaleng bir di tangannya dengan kaos putih yang dirinya kenakan.
"Apakah itu hal harus kau pertanyakan? Aku bosan mendengarnya." Ucap Aurora, sudah puluhan kali dia mendengar pria itu mengatakan meminta untuk menari, dia sama saja dengan ayahnya.
Hal sederhana apa nya, bahkan tidak ada untungnya dia membantu pria tua itu.
"Tadi apa yang ayahku katakan padamu saat aku pergi?" Tanya Julian, pria itu memang pergi tapi dia tidak mengabaikan saat kedua orang itu mengobrol, jadi itulah kenapa dia harus bertanya sekarang, karena tidak boleh rahasia antara wanita itu dengan ayahnya.
"Bukan hal penting." Ucap Aurora, dia membalik badannya, pria itu mengganggu ketenangan dirinya saja, padahal dia sedang bersantai tapi seakan dia bagaikan kertas yang terus mengikuti lem.
"Bukankah hal penting kenapa tidak langsung pergi?" Tanya Julian, jika bukan hal penting kenapa tidak sejak awal dia langsung menyusul dirinya? Bukankah ada sesuatu yang berusaha untuk dirinya sembunyikan?
"Aku bukan seorang yang tidak sopan mengabaikan saat orang lebih tua berbicara, aku tidak pergi karena menghargai apa yang ayahmu katakan." Ucap Aurora, dia melangkah dan membuka pintu balkon, lalu melangkah masuk ke dalam melewati pria itu.
"Benarkah? Kau yakin dia tidak memintamu sesuatu?" Tanya Julian, dia menyusul mengikuti wanita itu dari dari belakang, lalu meletakan kaleng bir di tangannya dan memilih menarik pergelangan tangan wanita itu.
"Jika ada memang kenapa?" Tanya Aurora, dia menatap ke arah pria itu, dia sedang pusing memikirkan hidupnya, tapi pria itu sangat sibuk dengan apa yang dirinya bicarakan dengan ayahnya.
"Katakan apa yang dia katakan-mu?"
"Mengembalikanmu pada jalanmu! Seorang ayah yang putus asa mencoba mengembalikan putranya ke jalan yang seharusnya dia pilih, bukan menjadi mafia buronan para hukum." Ucap Aurora, wanita itu berbicara dengan sangat cepat dan juga suara begitu kencang.