Chereads / Bidadari Matre / Chapter 66 - Bagian 68

Chapter 66 - Bagian 68

Sesuai instruksi Putri, mata-mata kiriman Bimasakti segera melapor kepada bosnya. Ketika berada di depan rumah rahasia yang dikhususkan untuk segala urusan ilegal Bimasakti, dia sempat memeriksa pesan masuk. Ada pesan dari Putri, sebuah video berisi rekaman putrinya bersama beberapa pria berbadan kekar. Putri juga mengirimkan pesan teks.

["Lakukan tugasmu dengan benar jika masih ingin melihat putrimu tersayang."]

Pria mata-mata mengatur napas sejenak. Dia memencet bel. Tak lama kemudian, pintu dibuka dari dalam. Seorang asisten rumah tangga dengan tato di sekujur tubuh menyuruh masuk.

"Duduk saja dulu, Pak Bos masih di jalan!" ketusnya.

Si mata-mata tampak duduk dengan nyaman di sofa. Sebenarnya, jantungnya sudah tak karuan. Namun, dia tetap berusaha terlihat setenang mungkin agar nanti bisa mengelabui Bimasakti.

Waktu berlalu dengan sangat lambat. Lima belas menit terasa seperti berjam-jam. Derum mobil memasuki halaman rumah membuatnya sedikit lega. Tak lama kemudian, Bimasakti masuk bersama Broto. Aura dua lelaki culas itu sangat mengintimidasinya, tetapi bayangan wajah sang putri yang tengah terancam membuat si mata-mata menguatkan hati.

Pria mata-mata hendak berdiri menyambut Bimasakti. Namun, Bimasakti mengibaskan tangan, memberi isyarat agar tetap duduk. Dia pun kembali duduk. Selanjutnya, Bimasakti juga duduk bersamaan dengan Broto.

"Jadi, apa yang kau dapatkan?" tanya Bimasakti seraya menyilangkan kaki.

Sementara Broto menyalakan pipa cerutunya. Aroma tembakau menyeruak. Dia mulai menghisap pipa cerutu dalam-dalam dan mengembuskan asapnya ke wajah si mata-mata, membuat pria itu sedikit terbatuk.

"Payah juga kau, kena asap rokok saja, batuk," ejek Broto.

"Maaf, Pak. Saya punya asma," kilah si mata-mata. Sebenarnya, asmanya sudah lama tidak kambuh. Namun, demi sang putri yang juga mewarisi penyakit serupa, dia tak pernah berani menyentuh tembakau.

Bimasakti berdeham. "Broto, jangan membuang-buang waktu," tegurnya.

Broto tergelak. "Ya, ya, maaf, Kawan. Teruskanlah interogasinya. Kau terlalu curigaan. Gadis mata duitan semok itu cukup dicekoki duit, bakal anteng," ejeknya sambil sesekali menikmati cerutunya, membuat si mata-mata semakin terbatuk-batuk.

"Matikan dulu rokokmu!" tegas Bimasakti.

Broto mendecakkan lidah. Dibandingkan mematikan pipa cerutunya, dia memilih ke luar rumah dan bermesraan dengan tembakau di teras. Bimasakti menghela napas berat sebelum kembali menatap tajam si mata-mata.

"Sekarang, kau bisa jelaskan hasil pengawasanmu terhadap gadis itu!" titahnya.

Si mata-mata mengangguk, lalu mulai berbicara dengan setenang mungkin. Untunglah, dia memang beberapa kali pernah menjadi agen ganda, sehingga bisa memberikan informasi palsu tanpa memperlihatkan ekspresi gugup. Informasi tersebut juga sudah disusun secara mendetail oleh Putri, hampir tak bercelah karena mencampurkan kebenaran dan kebohongan dengan komposisi yang proporsional.

Pertama, si mata-mata menceritakan tentang Putri yang dibenci oleh adiknya Aldi. Bimasakti tampak puas mendengarnya. Informasi selanjutnya tidak terlalu penting, hanya kegiatan sehari-hari Putri yang hanya berkisar tentang bekerja, membantu pekerjaan di panti, dan melatih menari. Pria mata-mata hampir lolos. Namun, suasana berubah tegang saat Bimasakti mempertanyakan benjol dan memar di kepalanya. Untunglah, Putri juga sudah memperkirakan pertanyaan tersebut bahkan mempersiapkan jawabannya.

"Luka ini gara-gara dilempar gadis itu pakai sepatu, Pak," aku si mata-mata.

"Kamu ketahuan?"

"Dia asal lempar karena lagi marah. Jadi, kemarin, saya terus mengikuti gadis itu. Dia masuk ke halaman rumah yang luas. Saya menunggu sambil mengintip di semak-semak. Tak lama, dia mulai melatih menari. Usai latihan orang tua muridnya membayar. Gadis itu seperti marah-marah karena merasa kurang, tapi si orang tua enggak mau tahu dan langsung masuk rumah. Gadis itu kesal dan melempar sepatu ke sembarang arah, lalu kena kepala saya."

"Tuh, betul, kan, kataku? Gadis itu dasar mata duitan," celetuk Broto yang tiba-tiba sudah kembali masuk ke rumah.

"Ya, mungkin aku yang terlalu cemas." Bimasakti menghela napas, lalu menyodorkan amplop kepada si mata-mata. "Ini bayaranmu, tugasmu sudah selesai. Semua pertemuan dan pembicaraan kita, anggap saja tidak pernah ada."

"Baik, Pak. Saya mengerti. Kalo begitu, saya permisi."

Bimasakti mengangguk. Si mata-mata bangkit dari sofa, lalu meninggalkan rumah dengan tergesa. Hanya wajah putrinya yang terbayang dalam benak.

***

Si mata-mata akhirnya tiba di lokasi yang dikirimkan Putri tentang keberadaan putrinya. Jantungnya seketika berdebar kencang. Ya, tempat tersebut adalah rumah sakit jantung kenamaan di kota ini. Selain asma, sudah lama putrinya mengalami kelainan jantung. Oleh karena itulah, dia menghalalkan segala cara untuk mengumpulkan uang operasi. Mendapatkan perawatan di rumah sakit jantung terbaik hanyalah mimpi semata.

Drrtt drrrt

Sebuah pesan masuk membuatnya terlonjak, dari Putri. Gadis itu memberitahukan nama paviliun dan nomor kamar. Meskipun hati digayuti ketakutan dan kecemasan, si mata-mata tetap berusaha tegar menuju kamar yang dimaksud. Dia menjadi ciut saat melihat beberapa pria kekar berjaga di pintu, termasuk Rama yang kemarin menghajarnya. Namun, tak disangkanya, Rama malah tersenyum ramah dan membukakan pintu.

"Silakan masuk, Dek Risa sudah tak sabar ingin bertemu Anda," ucap pemuda itu ramah.

Dengan perasaan bingung, si mata-mata tetap masuk. Dia hanya bisa terperangah melihat sang putri yang biasanya lesu dan lemah menjadi lebih ceria. Gadis kecil itu tampak asyik bercengkerama dengan Aldi dan Putri. Sesekali tawa lepasnya terdengar renyah, menghangatkan hati sang ayah, membuat dua buliran bening menuruni pipi.

"Terima kasih, Kak. Kakak-kakak ini baik sekali. Beneran kalian temennya, Ayah? Senengnya Ayah punya temen-temen yang baik," celoteh si gadis kecil.

"Iya, Anak Manis. Ayah kamu sudah membantu kami, maka kami juga membantu kamu," sahut Putri lembut. Dia mengusap rambut gadis kecil itu.

"Eh? Ayah!" seru si gadis kecil riang.

Si mata-mata mendekat dengan ragu. Sang putri memeluknya erat. Gadis kecil itu begitu antusias menceritakan kebaikan Putri dan Aldi. Si mata-mata menatap Aldi dan Putri. Wajahnya jelas penuh tanda tanya.

"Maaf, ya, kami sedikit memberikan pressure kepada Anda, Pak. Tapi, saya tau Anda tidak sepenuhnya jahat. Anda hanya seorang ayah yang rela melakukan apa saja demi putrinya," tutur Putri.

"Jadi, atas kerja samanya untuk membantu kami, ini hadiah untuk Anda. Saya sudah mendaftarkan jadwal operasi untuk Risa. Setelah kondisi Risa lebih stabil, saya akan memindahkan kalian ke tempat yang aman dari jangkauan Om Bima," timpal Aldi.

Si mata-mata tiba-tiba bersimpuh. "Terima kasih, terima kasih ...," gumamnya berulang.

Aldi cepat memintanya berdiri. Pemuda itu tentu tak mau membuat putri pria itu kebingungan dan berpikiran yang bukan-bukan. Akhirnya, permasalahan mata-mata bisa diselesaikan dengan baik. Aldi mengerling ke arah Putri, memberi isyarat ucapan terima kasih untuk rencana yang cukup brilian. Putri membalas dengan acungan jempol.

***

Beberapa gadis berpenampilan modis tengah berkumpul di apartemen Rani. Bungkus-bungkus camilan berserakan di lantai. Mereka juga berteriak heboh saat ada adegan panas di layar televisi. Sementara Rani si pemilik apartemen malah menatap hampa lurus ke depan. Benaknya dipenuhi dengan Tiana yang belum mau dihubungi dan enggan bertemu. Entah kenapa rasa sakitnya melebihi ketika ditolak Aldi.

Meskipun tak mau mengakui, Rani memang kesepian. Hampir setiap waktu luang, dia memanggil beberapa teman tak peduli, jika harus menggelontorkan banyak uang untuk memenuhi ambisi mereka. Namun, kekosongan dari ketidakhadiran Tiana tak dapat tergantikan.

Akhirnya, film dewasa yang mereka tonton telah selesai. Kini, teman-teman palsunya asyik mengobrol. Bahan obrolan mereka tak jauh dari fashion. Rani malah merasa semakin kehilangan Tiana. Meskipun sering kali meledek sahabatnya itu kolot dan kurang up to date, dia tak pernah merasa bosan karena topik obrolan yang bervariasi. Tepukan pelan di bahu menyentak kesadaran.

"Ran? Rani? Lo kenapa? kesambet?" tegur salah seorang teman sosialitanya.

"Apaan, sih? Gue lagi capek aja tau," gerutu Rani.

"Oh kirain, habisnya gue tanya dari tadi lo diam mulu."

"Emang lo tanya apaan?" sahut Rani sedikit ketus. 'Paling tidak penting juga,' pikirnya.

"Itu si Tiana, lo beneran udah jauhin dia?"

Rani mendecakkan lidah. "Plis deh jangan bicarain tuh anak. Bete gue tau," elaknya, seolah-olah membenci Tiana. Sebenarnya, Rani tak ingin mendengar nama Tiana disebut karena merasa sedih, tetapi dia gengsi untuk mengakuinya.

Teman-teman sosialitanya tampak semringah. Mereka memang sudah lama kesal dengan Tiana yang berusaha melindungi Rani. Sekarang, si pengganggu sudah tidak ada. Mereka bebas menikmati fasilitas dari Rani dan meraup keuntungan sebesar-besarnya.

"Betul juga lo, Ran, mending kita ngobrolin tas model baru keluaran dari Gacchi deh." Salah seorang teman Rani memperlihatkan foto tas di layar ponsel. "Cantik banget, 'kan?"

"Gila! Ini, sih, bakal keren banget," timpal yang lain.

"Gue udah punya," sahut Rani malas-malasan.

Teman-temannya serentak menatap dengan penuh harap. Rani menghela napas berat. Dia bangkit dari sofa, masuk ke kamar, dan kembali sambil menenteng tas serupa dengan di foto tadi. Para gadis muda itu pun heboh mengagumi tas dan mulai menjilat Rani. Mereka terus membicarakan tas itu, hingga waktu beranjak malam.

"Udah jam segini, pas banget nih kalo kita clubbing," cetus salah seorang gadis muda yang disambut antusias gadis lainnya.

Rani menggeleng. "Kalian pergi aja deh, gue absen dulu. Besok, ada jadwal syuting."

"Yah enggak asik dong. Tapi, yang namanya kerjaan, ya, mau gimana lagi. Oke deh, kalo gitu, kami pulang dulu, Ran. Lain kali, kita harus party di klub langganan gue, ya, Ran?"

"Ya, ya."

Akhirnya, para gadis muda itu pun meninggalkan apartemen. Sepeninggal teman-teman sosialitanya, Rani tercenung. Dia mulai merenungi lagi kata-kata Tiana. Selama mereka selalu bersama, orang-orang yang bersikap manis saat ada maunya itu tak berani mendekat. Tiana sendiri tidak pernah meminta-minta, bahkan lebih sering menolak ditraktir. Dia juga sering mengingatkan Rani jika hendak berbuat jahat.

Rani tiba-tiba berdiri. Dia masuk ke kamar dengan gamang. Sebuah kotak berdebu diturunkannya dari atas lemari. Rani sedikit terbatuk saat membukanya. Dia mengangkat sehelai pakaian unik dari dalam kotak, lalu memeluknya erat. Perlahan, air mata menuruni pipi. Ya, pakaian itu adalah kostum pertamanya di teater, saat perkenalan pertama dengan Tiana.

***