Sudah 3 bulan berlalu sejak membereskan masalah mata-mata. Selama itu, Putri bertahan di bawah kuasa Bimasakti, berjibaku mengumpulkan segala bukti yang bisa memberatkan atasannya tersebut. Dia bahkan bisa meningkatkan nilainya di mata Bimasakti, hingga naik jabatan menjadi asisten pribadi, sehingga memudahkan akses untuk mendapatkan rahasia-rahasia kotor sang atasan. Aktingnya menjadi perempuan mata duitan, egois, dan serakah benar-benar mengelabuhi lawan.
Putri membeli satu ponsel tambahan dan mendaftarkan nomornya dengan menggunakan nomor induk kependudukan milik emak Paijo agar bisa mengirimkan semua data kepada Aldi. Putri tentu tidak mau mengambil resiko jika sampai ponselnya disadap. Meskipun sudah dipercaya, Bimasakti bisa saja melakukan tindakan tak terduga seperti kasus mata-mata dahulu.
Kini, Putri tengah membolak-balik berkas di meja. Sesekali dia mengerutkan kening. Jemarinya begitu lincah bergerak di tuts keyboard. Layar komputer menampakkan barisan angka yang membuat sakit kepala. Sebuah dehaman membuatnya tersentak, lalu menoleh ke kiri. Bimasakti tengah menatap tajam dengan tangan menyilang di dada.
Putri refleks bertanya, "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Bagaimana proposal Proyek Resort Asri Permai? Sudah diselesaikan?"
"Tinggal sedikit lagi, Pak. Saya masih perlu menambahkan beberapa detail data-data di lapangan untuk lebih meyakinkan Pak Dirja," sahut Putri.
Dia menunjukkan data-data yang dimaksud disertai penjelasan lebih mendetail. Bimasakti mengangguk-angguk. Sudut bibirnya sedikit terangkat, membentuk seulas senyuman puas.
"Bagus. Hari ini, proposalnya harus selesai. Saya ingin proyek ini menjadi nilai tambah untuk saya saat penentuan penerus nanti."
"Siap, Pak!"
"Jangan lupa hanya menyerahkan sebagian berkas saja, seperti biasa. Setelah itu, laporkan kepadaku," pesan Bimasakti.
Putri mengangguk takzim. Bimasakti meninggalkan gadis itu dengan tergesa. Dia tampak menerima telepon, lalu marah-marah. Putri menghela napas lega, lalu kembali berkutat dengan proposal yang diminta sang atasan.
Resort Asri Permai menjadi kejahatan komplotan Bimasakti untuk yang kesekian kalinya. Seperti biasa, dia hanya memberikan ganti rugi sekecil-kecilnya kepada warga yang terdampak pembangunan. Namun, pada proposal khusus untuk Dirja tertulis kompensasi bernilai tinggi.
"Akhirnya, selesai juga," gumam Putri seraya melemaskan otot leher yang terasa kaku.
Dia segera mencetak proposal. Gerakannya begitu gesit menyortir kertas-kertas yang keluar dari printer. Dalam waktu singkat, berkas yang harus diantar ke ruangan Dirja telah siap. Namun, Putri tetap memeriksa sekali lagi. Dia seketika mendecakkan lidah.
"Ah, kenapa malah salah ketik lagi? Sepertinya, aku memang perlu liburan," keluhnya.
Putri mengambil beberapa lembar kertas dari dokumen, menggumpal-gumpalnya, lalu membuangnya ke tempat sampah kecil di bawah meja. Dia kembali duduk dan berkutat dengan komputer. Setelah proposal dirasa sudah cukup sempurna, gadis itu mencetaknya. Kali ini, dia tersenyum puas dan langsung membawa berkas menuju ruangan Dirja.
Seperti biasa, Putri tak bisa langsung mendapatkan tanda tangan. Dia harus menitipkan berkas kepada sekretaris Dirja. Setelah berterima kasih, Putri langsung ke ruangan Bimasakti sesuai pesan sang atasan. Begitu tiba di depan pintu Ruangan Direktur Keuangan, dia mengetuknya dengan tempo yang khas.
"Permisi, Pak. Saya Putri."
"Masuk!"
Putri membuka pintu. Dia diam-diam menghela napas berat karena Broto dan Gilang juga ada di sana. Menghadapi satu serigala menyebalkan seperti Bimasakti rasanya sudah menguras setengah energi. Namun, Putri harus menghadapi tiga sekaligus, terlebih Gilang yang jelas-jelas menatapnya dengan sorot mata kelaparan itu.
"Saya mau melaporkan mengenai proposal tadi, Pak," tutur Putri hati-hati begitu tiba di hadapan Bimasakti.
"Duduklah dan laporkan!"
Putri duduk sebelum mulai berbicara. "Proposal sudah saya serahkan ke sekretaris Pak Dirja. Kita harus menunggu hingga setelah jam makan siang untuk memperoleh berkas yang sudah ditandatangani."
"Kerja bagus. Tidak sia-sia memang kami merekrutmu."
"Tentu saja, saya berhutang banyak kepada Bapak. Saya akan bekerja sebaik-baiknya," sahut Putri mantap meskipun dengan hati mendidih. "Apakah ada tugas baru lagi, Pak? Atau saya kerjakan laporan keuangan seperti biasa saja?"
"Kembali kerjakan–ah ada yang perlu kutanyakan. Ini tentang pembebasan lahan Resort Asri Permai. Ada 7 kepala keluarga menolak ganti rugi karena merasa nilainya terlalu kecil."
Putri mengangguk-angguk. "Memang warga yang cerdas akan selalu ada dan pastinya akan menyulitkan proyek," komentarnya. Dia mengelus dagu. "Apa Bapak sudah ada rencana untuk mengatasinya?"
"Tentu saja. Jadi, aku dan Broto berencana untuk menciptakan insiden kebakaran. Jika hanya berupa tanah dan puing-puing maka ganti rugi tersebut akan sepadan," tutur Bimasakti dengan seringaian jahat di sudut bibirnya.
Putri susah payah menjaga raut wajah agar tetap terlihat tenang dan sedikit licik. Bayangan tubuh ibunya yang terpanggang api menari-nari dalam benak. Namun, pada akhirnya, dia berhasil menguasai emosi, bahkan memuji-muji rencana bengis Bimasakti.
Setelah pujian kosong dirasa cukup, barulah Putri memberikan pendapat, "Ide Bapak memang brilian. Tapi, sebaiknya dilakukan sekitaran sehabis Magrib saja, sehingga menghindarkan korban jiwa."
Gilang tergelak. "Ternyata, kami masih punya belas kasihan juga, ya, Put," ledeknya.
Putri menggeleng. "Bukan begitu, Pak. Coba Anda pikirkan, apa yang akan dilakukan Pak Dirja jika insiden menyebabkan korban jiwa?"
Gilang mengerutkan kening. "Memangnya apa yang dilakukan Eyang?"
"Beliau akan meminta Pak Bima menggelontorkan uang santunan yang cukup besar. Apalagi beliau sudah mencap jelek Pak Bima akibat insiden Mall Maju Jaya dulu."
"Ah, pendapatmu ada benarnya juga!" seru Bimasakti. "Kalo begitu, kita akan buat seperti yang kau usulkan tadi. Sekarang, kau bisa kembali ke ruanganmu dan lanjutkan laporan yang tertunda tadi."
"Baik, Pak." Putri bangkit dari kursi. "Saya permisi," pamitnya seraya membungkukkan badan sedikit, lalu ke luar ruangan.
Selanjutnya, Putri hanya sibuk dengan laporan, hingga jam kerja berakhir. Dia bergegas membereskan meja, lalu meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa. Putri malas jika harus berpapasan dengan Gilang. Pemuda itu pasti akan memaksa untuk mengantarkan pulang.
Lima belas menit setelah Putri ke luar ruangan, seorang petugas kebersihan masuk. Pemuda itu merapikan ruangan dengan telaten. Tak lupa dia juga mengosongkan tempat-tempat sampah. Pekerjaannya tampak normal saja. Namun, sebenarnya dia adalah mata-mata Aldi yang ditugaskan untuk mengambil bukti-bukti dari tempat sampah. Ya, Putri memang sengaja salah ketik dan membuang banyak dokumen penting ke tempat sampah kecil di bawah meja kerjanya.
***
Akhirnya, hari Minggu tiba. Putri merasa belenggu yang menjerat lehernya terlepas. Akhir pekan adalah saat-saat dia tak perlu menggunakan wajah lain untuk mengelabui para serigala busuk. Putri bisa kembali bersua dengan bocah-bocah imut nan menggemaskan dan larut bersama irama alat musik tradisional dalam tarian memukau.
Latihan menari tidak lagi dilakukan di halaman panti. Putri memindahkannya ke sanggar. Sebenarnya, dia juga ingin mengajak semua penghuni panti pindah, tetapi kondisi belum memungkinkan. Selama Putri masih menjadi mata-mata, akan menimbulkan kecurigaan Bimasakti jika tidak lagi tinggal di panti.
Anak-anak telah berkumpul. Suara mereka riuh. Shinta tiba 5 menit sebelum latihan dimulai. Kini, dia tak hanya datang bersama Rama, tetapi juga membawa Aldi. Oleh karena semua muridnya telah berkumpul, Putri segera menyapa mereka dengan ramah dan hangat seperti biasanya.
"Selamat pagi, Anak-anak!"
"Selamat pagi, Buuu!"
"Hari ini, kita akan belajar Tari Serampang Dua Belas. Karena ini tari yang dibawakan berpasangan, Bu Guru akan membagi kalian menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari dua orang. Jumlah anak perempuan dan laki-laki tidak seimbang. Jadi, nanti peran penari laki-laki dan perempuan akan dilakukan bergiliran dengan pasangan masing-masing."
"Bu, jumlah kita ganjil nih, si Momo enggak masuk soalnya," lapor salah seorang murid.
"Nanti Kak Shinta sama Ibu," putus Putri.
Mendengar hal itu, Shinta tiba-tiba mendapat ide nakal. "Aku punya ide bagus deh, Kak!" serunya.
Putri mengerutkan kening. "Ya, Shinta?"
"Kak Putri berpasangan sama Bang Aldi. Aku biar sama Rama," cetusnya mengambil kesempatan dalam kesempitan. Dia bisa membantu hubungan sang kakak, sekalian bisa mendekati Rama.
"Mas Joko memang bisa menari, tapi apakah Rama bisa?"
"Saya bisa kok, tapi tidak terlalu ahli," sahut Rama malu-malu. Demi rasa cinta kepada Shinta, dia memang diam-diam mempelajari seni tari. Meskipun masih belum seluwes Aldi, kemampuan pemuda itu cukup bagus.
"Oke kalo begitu." Putri mengalihkan pandangan ke arah Aldi. "Kamu setuju Mas?" tanyanya.
Aldi mengangguk. Putri pun meminta di berdiri di sampingnya. Mereka akan memperagakan lebih dulu tarian tersebut. Seperti biasa, Putri akan memberikan informasi tentang tarian terlebih dahulu. Anak-anak pun menyimak dengan antusias.
Tari Serampang Dua Belas berasal dari Sumatera Utara, diciptakan oleh Guru Sauti. Awalnya, tari ini diberi nama Tari Pulau Sari karena diiringi musik berjudul Pulau Sari. Namun, nama tersebut dianggap kurang tepat untuk tari yang bertempo cepat, sehingga digantilah menjadi Tari Serampang Dua Belas. Nama dua belas sendiri berarti tarian dengan gerakan tercepat di antara lagu yang bernama serampang.
Tari Serampang Dua Belas menitikberatkan perpaduan gerakan Melayu Deli dengan dua belas macam gerakan. Adapun kostum penari menggunakan busana melayu pesisir pantai timur Sumatra dengan unsur bewarna cerah seperti merah, biru muda, pink. Penari pria mengenakan kemeja, celana panjang, peci, dan kain pinggang yang panjangnya hingga ke lutut. Sementara penari wanita memakai kemeja lengan panjang dan kain yang menutupi pinggang hingga mata kaki.
Usai penjelasan singkat, Putri segera menyalakan pemutar musik. Paduan suara akordeon, kecapi, dan rebana pun mengalun merdu. Putri dan Aldi pun segera menampilkan gerak tari yang luwes dan memukau. Meskipun sudah 20 tahun tak menari bersama, ternyata gerakan mereka tetap serasi dan harmoni, membuat murid-murid yang menonton terpesona. Shinta sampai tenganga, tak menyangka kemapuan kakaknya akan sebagus itu.
Satu per satu dua belas gerakan diperagakan. Gerakan pertama adalah gerak tari permulaan. Aldi dan Putri berjalan dengan lambat mengelilingi satu sama lain. Aldi memperlihatkan sifat pemuda yang tengah penasaran, sementara Putri terlihat canggung.
Selanjutnya, mereka melakukan gerakan tari berjalan, yakni berjalan dengan lambat, saling berputar dengan diselingi lompatan kecil. Ekspresi keduanya menunjukkan adanya rasa yang mulai bertumbuh, tetapi masih canggung dan malu-malu. Gerakan semakin lincah saat memasuki gerak tari pusing karena menunjukkan rasa cinta yang semakin membuncah dan perasaan gundah gulana.
Putri dan Aldi berjalan dengan berlenggak-lenggok hingga terhuyung, seperti seseorang dimabuk asmara. Gerakan ini dinamakan gerak tari Gila. Selanjutnya, Putri melakukan gerak tari sipat, yakni memberi isyarat dengan gerakan lenggak-lenggok dan permainan mata, sebagai respon memiliki perasaan yang sama.
Selanjutnya, mereka mulai melangkah seirama. Gerakan ini merupakan gerak tari goncat-goncet untuk menjelaskan bahwa sang pemuda sudah menerima isyaratnya dari sang gadis agar segera menuturkan isi hatinya. Kemudian, gerakan beralih lagi dengan gerak tari sebelah kaki yang menyiratkan keyakinan agar menyatakan cinta atau mengurungkannya.
Gerakan kedelapan adalah gerak tari langkah tiga. Putri dan Aldi melompat tiga kali ke depan dan ke belakang. Hal itu bermakna bahwa sang pemuda dan gadisnya meyakinkan diri untuk hidup secara bersama, juga mengungkapkan perasaan gembira karena telah mengenalkan diri secara pribadi dan kepada masing-masing pihak keluarga. Kemudian, mereka memasuki gerak tari melonjak yang dilakukan dengan melonjak ke atas, menunjukkan perasaan berdebar menunggu restu orang tua.
"Selanjutnya gerakan kesepuluh yang disebut gerak tari datang-mendatangi. Untuk gerakan ini, tolong dua kelompok maju dulu," pinta Putri. Shinta, Rama, dan dua anak kembar silang maju. "Bu Guru sama Pak Joko akan menari dengan saling mendekat, nanti kalian mengikuti," perintah Putri.
"Siap, Bu!"
"Siap, Kak!"
"Ayo kita mulai!"
Putri dan Aldi pun bergerak saling mendekat dengan luwes. Kelompok Shinta-Rama dan kelompok anak kembar mengikuti. Gerakan ini menyiratkan proses pinangan sang lelaki terhadap sang gadis.
Usai gerakan kesepuluh dua kelompok tadi, diminta kembali ke barisan. Berikutnya, Putri dan Aldi memperagakan gerak tari rupa, suatu gerakan yang memperlihatkan proses mengantar kedua mempelai menuju pelaminan.
Terakhir, Aldi dan Putri melakukan gerak tari sapu tangan. Mereka mengeluarkan sapu tangan berwarna cerah serta menyilangkannya agar saling terkait, lalu menari bersama. Gerakan ini memiliki makna pasangan kekasih yang tak akan terpisahkan.
Putri dan Aldi menyelesaikan tarian. Anak-anak bertepuk tangan dengan heboh. Putri memberi jeda istirahat terlebih dahulu. Tari dengan tempo cepat tentu membuatnya sangat haus. Dia sampai menghabiskan sebotol air mineral.
"Nah, sekarang kita akan mulai latihannya!" seru Putri usai jeda istirahat.
"Siap, Buuu!"
Putri kembali menyalakan pemutar musik. Mereka pun mulai menari penuh kegembiraan. Beberapa anak melakukan kesalahan, tetapi tak menyerah karena Putri terus menyemangati.
Sementara itu, sebuah mobil hitam terparkir tak jauh dari sanggar. Di dalamnya, Gilang tengah mencengkeram kemudi. Gemeletuk giginya terdengar jelas. Tadinya, dia mendadak ingin mengunjungi Putri di panti dan tidak sengaja melihat gadis itu pergi. Gilang pun mengikuti dan akhirnya menemukan kebenaran yang selama ini disembunyikan Putri.
"Sial*n! Ternyata, gadis itu benar-benar ular yang berniat menggigit diam-diam!" umpat Gilang.
Dia pun segera menghubungi sang ayah. Bimasakti langsung memaki setelah mendengar informasi dari Gilang.
"Dasar jal*ng sial*n! Cepat kau ke rumah yang biasa! Kita harus mengadakan rapat darurat dengan Broto!" titah Bimasakti.
"Iya, Pa."
Panggilan berakhir. Gilang pun menyalakan mesin. Dia segera tancap gas meninggalkan sanggar.
***