"Aduh!"
Putri tersentak dan refleks membuka mata. Dia sempat melongo sebelum menunduk dengan pipi merona. Aldi memang tengah meringis karena dijewer Sulistyawati. Putri benar-benar tak tahu harus menaruh muka di mana. Selain nenek Aldi, di sana juga ada Asih, Tyas, Shinta, Rama, Paijo, Romlah, bahkan semua anak panti. Artinya, mereka menyaksikan adegan yang hampir di luar batasan norma agama tadi.
Tak lama kemudian, tawa lepas Shinta terdengar. "Makanya, Bang, kalo mau nyosor itu, dihalalin dulu. Jangan asal nyosor dah kayak bebek," ejeknya.
"Namanya juga khilaf, Dek," kilah Aldi.
"Khilaf, khilaf, lalu keterusan," omel Sulistyawati.
"Iya, Eyang, ampun ampun."
"Sudahlah, Bu Sulis. Yah namanya anak muda, kalo tidak diawasi bisa terbawa suasana, nanti secepatnya kita nikahkan saja," komentar Romlah ringan.
"Aldhamdulillah!" seru Aldi sambil mengerling nakal.
Putri mendelik langsung mencubit lengan Aldi. "Aku belum siap, Mas!" protesnya.
"Sudah, sudah, kalo ribut nanti acaranya tidak bisa dimulai," lerai Asih.
Putri mengerutkan kening. "Memangnya acara apa, Bu?"
Shinta berdeham. Dia menepuk tangan dua kali. Anak-anak panti yang tadi bergerombol tiba-tiba membentuk formasi. Shinta dan Tyas berdiri di sisi paling kanan dan kiri. Mereka tiba-tiba mengeluarkan kertas berbentuk hati dengan kata-kata manis yang membentuk kalimat ucapan selamat ulang tahun.
"Selamat ulang tahun, Kak Putri!" seru mereka kompak.
Asih merangkul Putri dan berbisik. "Selamat ulang tahun, Putri. Semoga keberkahan akan selalu menyertaimu."
Sulistyawati juga tak mau kalah. Dia mengusap rambut Putri dengan lembut. "Selamat ulang tahun, Wulan. Terima kasih sudah terlahir ke dunia."
"Selamat ulang tahun, Wulan. Semoga tahun depan sudah berubah status menjadi istriku," goda Aldi yang langsung dipelototi Putri.
Selanjutnya, ucapan selamat berdatangan bagai badai yang meluluhlantakkan kebencian. Putri tak kuasa menahan gejolak dalam dada. Dia hampir terjatuh. Beruntung, Aldi sempat menahannya. Air mata perlahan menuruni pipi Putri.
"Terima kasih, terima kasih semuanya dan ... maafkan aku yang sempat tersesat," ucapnya terbata di sela isak tangis.
"Kami sayang, Kak Putriii!"
Anak-anak panti berlarian dan berebutan memeluk Putri. Suasana semakin mengharu biru. Namun, hujan kembali turun. Mereka bergegas masuk ke dalam rumah sebelum kebasahan. Putri hampir tak bisa berjalan terpaksa harus dipapah. Sebenarnya, Aldi ingin menggendong ala bridal style, tapi Putri sudah melotot duluan seolah bisa membaca pikiran pemuda itu. Sementara itu, Rama dan Paijo sibuk mengangkuti perlengkapan barbekyu yang tadi ditata di halaman.
Akhirnya, pesta ulang tahun kejutan Putri pun diadakan di pendopo. Acaranya memang sederhana, tetapi terasa hangat penuh cinta. Rasa haru membuat Putri yang sulit menangis berkali-kali meneteskan air mata. Saat dia berpikir akan dibenci dan dihukum, mereka malah menghujaninya dengan pelukan.
"Ayo potong kuenya, Kak!" seru Shinta antusias sambil menyodorkan pisau yang telah dihias dengan pita biru.
Putri menyeka air mata di pipi. Dia mengambil alih pisau di tangan Shinta. Kue dipotongnya menjadi beberapa bagian. Potongan pertama diberikan kepada Asih, lalu berturut-turut kepada Sulistyawati, Shinta, Tyas, Romlah, dan anak-anak panti. Aldi menunggu dengan tidak sabar untuk mendapatkan potongan kue terakhir. Namun, Putri malah menikmatinya sendiri.
"Lho, Mas gak dapat bagian?" protes Aldi, berharap akan disuapi kue seperti yang lain.
Putri mengerutkan kening. "Lah, bukannya Mas Joko enggak suka makanan manis? Aku masih ingat waktu kita kecil Mas Joko lebih suka kue-kue yang gurih kayak risoles atau lumpia. Pas kita kencan dulu-dulu juga, aku liat selera Mas belum berubah tuh masih suka makanan yang gurih."
Shinta tergelak, puas sekali menertawakan nasib sang kakak. "Udah deh, Bang, udah enggak usah ngarep disuapin juga."
Aldi mencubit pipi Shinta dengan gemas, membuat sang adik mengomel. Sulistyawati menggeleng pelan melihat kelakuan kedua cucunya. Asih kembali menengahi. Akhirnya, Acara dilanjutkan dengan makan bersama nasi uduk spesial buatan Romlah dan diawali dengan doa yang dipimpin oleh Paijo.
"Habis ini kita ngapain lagi, Bang?" celetuk Shinta setelah pesta ulang tahun sederhana itu selesai.
"Tentu saja, tour di sanggar ini. Siapa saja yang mau ikut?" tawar Aldi.
Anak-anak berebutan mengangkat tangan. Akhirnya, mereka pun berkeliling sanggar. Putri kembali terharu. Aldi benar-benar membangunnya sama persis dengan rumahnya dulu. Sementara Shinta, Tyas, dan anak-anak panti terus berdecak kagum saat melihat detail indah setiap ukiran khas pada dinding-dinding sanggar.
***
Hari sudah beranjak malam. Benang-benang jingga di lazuardi telah raib sempurna. Sanggar kini sepi. Putri dan Aldi hanya tertinggal berdua, menatap langit berhias gemintang dalam keheningan. Asih, Tyas, Romlah, dan anak-anak panti sudah diantar pulang oleh Paijo. Sementara Sulistyawati ikut pulang bersama Shinta dan Rama, tentunya setelah memperingati jangan macam-macam saat berduaan.
"Sekarang, kamu tak perlu lagi khawatir dengan ancaman Pak Broto. Panti Asuhan Cinta Kasih Ibu bisa direlokasi ke sanggar ini," celetuk Aldi memecahkan keheningan. Dia tersenyum manis. "Jadi, kamu tidak perlu lagi berada di dekat orang-orang jahat itu," tambahnya.
"Enggak, Mas. Aku punya ide bagus soal mereka."
Aldi mendelik. "Aku merasakan firasat buruk soal ide bagusmu itu."
"Dengerin dulu, Mas, baru komentar," gerutu Putri.
"Ya, ya. Jadi, apa idemu?"
"Aku harus tetap kerja dan pura-pura jadi bawahan Pak Bima. Jadi, aku bisa menyelundupkan bukti-bukti kejahatan mereka," jelas Putri. Dia juga menambahkan beberapa strategi lain untuk menjerat Bimasakti dan komplotannya itu.
"Sudah kuduga ide bagusmu pasti akan berbahaya. Jangan, Wulan!"
"Ayolah, Mas. Kapan lagi kita bisa mengumpulkan bukti-bukti kejahatan Pak Bima dengan mudah?"
"Aku tetap tidak setuju," tegas Aldi"
Putri tidak menyerah. Dia terus membujuk Aldi dengan sorot mata memelas. Akhirnya, pemuda itu menghela napas berat.
"Huh! Baiklah, tapi kamu harus sangat hati-hati. Aku juga akan menempatkan orangku di sekitarmu, sehingga bisa mengantisipasi jika mereka mau berbuat jahat. Ingat, jangan melakukan hal berbahaya."
"Siap, Mas—"
Putri tersentak. Dia langsung melepaskan sepatu dan melemparkannya ke rumpun melati. Seketika terdengar suara mengaduh yang cukup nyaring. Aldi segera mengerti dan berlari cepat menuju asal suara.
Benar saja, seorang pria cungkring berjaket abu-abu tengah mengelus kepala benjol. Sementara sepasang sepatu berhak tinggi tergeletak di bawah kakinya. Lemparan Putri tepat sasaran. Aldi tak ingin membuang waktu dan langsung mencoba meringkus orang mencurigakan tersebut.
Sayangnya, penjahat tak mudah dilumpuhkan. Si cungkring melakukan tendangan memutar. Beruntung, Aldi sempat berkelit, sehingga lawan hanya menendang udara, lalu kehilangan keseimbangan.
Aldi seperti mendapat angin segar. Dia merangsek maju dan menjadi lengah. Aldi tak menyadari si penjahat mengeluarkan pisau dari balik jaketnya.
Srat! Krak!
"Argggh!"
Penjahat mengerang keras. Pisau di tangannya jatuh ke tanah. Sementara Aldi meringis sembari membalut lengan kirinya yang tergores dengan sapu tangan. Dia hampir saja tertusuk di bagian dada. Beruntung, Rama tiba-tiba muncul dan memelintir lengan si penjahat. Tusukan pisau pun meleset dari organ penting.
Akhirnya, penjahat berhasil dilumpuhkan. Putri mendekat sambil membawa seutas tali yang didapatnya dari dalam sanggar. Mungkin milik para kuli bangunan karena ada beberapa noda semen di tali. Dia menyerahkan tali kepada Rama, lalu mengajak Aldi ke pendopo agar luka pemuda itu bisa diobati.
"Kunci mobilmu mana, Mas? Ada kotak obat, kan, di sana?"
"Luka segini kecil–"
Putri melotot. Aldi terkekeh, lalu menyerahkan kunci mobilnya. Putri pun segera mengambil kotak P3K dan mengobati luka di lengan Aldi. Kebetulan, Rama juga sudah selesai mengikat tangan si penjahat. Dia menyeretnya ke pendopo.
Interogasi pun dimulai. Awalnya, si penjahat terus tutup mulut. Putri dan Aldi menjadi kesal. Mereka mengintimidasi dengan menggunakan metode yang bahkan membuat Rama bergidik.
Akhirnya, si penjahat mengaku. Dia adalah mata-mata yang ditugaskan Bimasakti untuk mengawasi Putri. Pekerjaannya sederhana, mengikuti dan melaporkan segala kegiatan Putri. Namun, jika gadis itu melakukan tindakan mencurigakan, dia diberi wewenang untuk memusnahkannya dari muka bumi. Aldi menggeram dan hampir saja menghantam wajah penjahat dengan tinju. Beruntung, Putri berhasil menenangkannya.
"Dia tidak boleh terluka, Mas."
"Kenapa, Wulan?"
"Karena Pak Bima tidak boleh tahu kita sudah mengetahui keberadaan mata-matanya." Putri mengalihkan pandangan kepada si mata-mata. "Jadi, Tuan Mata-mata, saya harap Anda bisa memilih dengan bijak siapa tuan yang baik dan menguntungkan," desisnya tajam.
Ternyata, Putri ingin si mata-mata bekerja untuk mereka. Pria itu akan tetap berpura-pura menjalankan tugas dari Bimasakti dan memberikan laporan rutin seperti biasa. Namun, tentu saja laporan yang diberikan akan dicampurkan dengan sedikit kebohongan putih.
Aldi sempat ragu karena terlalu beresiko. Tidak ada jaminan si mata-mata akan tetap setia kepada mereka. Namun, ternyata Putri sudah memperkirakan hal itu. Dia mengancam akan menyakiti putri si mata-mata jika sampai berani berkhianat. Saat menginterogasi dan mengeledah pria itu, mereka memang menemukan dompet dengan foto gadis kecil.
Tentu saja, ancaman Putri hanyalah gertakan. Mana mungkin dia tega melakukannya. Untunglah, aktingnya memang sangat bagus, hingga si mata-mata sampai memohon sambil memeluk kaki Aldi.
"Sekarang, kamu pergilah! Laporkan seperti yang kusuruh tadi ke Pak Bima!" titah Putri.
Si mata-mata mengangguk takjim sebelum pergi meninggalkan sanggar dengan tergesa. Baru saja mereka menghela napas lega, terdengar teriakan histeris. Tak lama kemudian, Shinta yang datang dari arah gerbang mendadak menubruk Aldi.
"Abang! Tangan Abang kenapa!" serunya histeris.
Putri dan Rama bergantian menjelaskan insiden yang baru saja terjadi. Shinta langsung mendelik tajam. Aldi hanya bisa pasrah diomeli oleh sang adik.
"Ya ampun, Bang, untung aja jam tangannya Bang Rama ketinggalan makanya kami balik ke sini. Coba kalo enggak. Abang tuh suka banget sok-sok pahlawan gitu!"
Shinta terus mencerocos. Rama hanya bisa menatap khawatir dan tampak tak enak hati. Sementara Putri malah dengan kurang ajarnya menahan tawa.
***