"Mas Joko ...," gumam Putri lirih.
Dia menggigit bibirnya dengan kuat, hingga sedikit terluka. Sambil tetap memayungi, Aldi berjalan sedikit memutar, lalu ikut duduk di bangku taman. Lengan kokohnya menarik Putri ke dalam dekapan, membiarkan wajah gadis itu membenam di dada bidang. Tangis Putri pun kembali pecah.
"Maafkan aku, Mas .... Maaf aku ...," ucapnya terbata di antara isak tangis.
Aldi mengusap punggung Putri seraya terus berbisik lembut, "Menangislah, Wulan. Menangislah sepuasnya. Lepaskan semua beban yang ada dalam hatimu."
Tangis Putri semakin kencang. Semua amarah, kerinduan, rasa bersalah, dan rasa malu bercampur aduk, lalu luruh bersama air mata. Aldi dengan sabar mendengarkan. Tangannya tak henti mengusap punggung yang gemetaran. Tak satu pun kalimat penghakiman atau berbau nasehat keluar dari bibir pemuda itu.
Perlahan, Putri mendapatkan kembali ketenangannya. Air mata tak lagi menuruni pipi. Isak tangisnya pun sudah berganti dengan helaan napas biasa. Dia melepaskan pelukan Aldi dengan hati-hati. Anehnya, langit juga ikut berhenti menangis. Sang mentari menyembul dari balik awan, memancarkan kehangatan dan melukis selarik pelangi nan indah.
"Mas, aku benar-benar minta maaf sudah salah paham. Aku malah bekerja sama dengan orang yang membunuh Bapak dan Ibu."
"Mas juga minta maaf, Wulan. Maaf karena tak langsung mengatakan kebenarannya padamu," sahut Aldi.
Putri menggeleng pelan. "Enggak, Mas. Jika saat itu Mas ngomong, aku pasti tidak akan percaya. Aku akan menganggap Mas hanya berkilah."
Aldi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. " Ah, sebenarnya aku pun berpikir begitu. Kamu bukan tipikal yang akan langsung percaya tanpa melihat bukti nyata. Dan memang Eyang Dirja dan papaku yang bertanggung jawab di proyek itu." Dia terkekeh. "Yah, Shinta marah gara-gara aku gak ngomong jujur. Dia takut kamu diapa-apain sama Om Bima."
Putri tersenyum tipis. "Shinta memang selalu manis. Aku benar-benar membuatnya terluka hari itu."
Aldi menepuk pelan pundak Putri. "Aku sudah jelaskan ke Shinta. Dia bisa mengerti. Oh ya, aku punya sesuatu untukmu. Kau mau ikut? Tapi harus menutup mata karena ini kejutan."
Putri mengangguk. Aldi memakaikan penutup mata dan membimbingnya dengan hati-hati menuju mobil. Putri menurut dengan pasrah. Meskipun Aldi terlihat tidak marah, bahkan seperti sudah menanti-nantikan dirinya, dia tetap merasa sangat bersalah dan akan lebih lega jika menerima hukuman.
Deg!
Jantung Putri berdebar keras saat baru duduk di kursi empuk. Aroma parfum Aldi mengusik penciuman. Dia bisa merasakan pemuda itu begitu dekat dari embusan napas. Tak lama kemudian, tubuhnya terasa terikat. Putri seketika merona saat menyadari Aldi hanya berusaha memasangkan sabuk pengaman.
Tanpa diketahui Putri, Aldi pun sebenarnya sedang merona dan berusaha menenangkan degup jantungnya. Jarak yang terlalu dekat tentu membuat hati bergejolak. Pemuda itu pun bergegas masuk ke mobil di sisi yang lain dan duduk di belakang kemudi. Dia sengaja tak menggunakan supir karena merasa Putri akan tak nyaman. Aldi menyalakan mesin. Mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah jalan raya.
"Mas ... sebenarnya ke mana kamu selama ini? Isunya jadi simpang siur sampai bilang kamu kena HIV segala," celetuk Putri tiba-tiba setelah mereka terjebak hening selama 15 menit.
Aldi tersenyum jail meskipun dia tahu Putri sedang tak bisa melihat. "Jadi, Wulan khawatir nih ceritanya," godanya.
"Enggak, cuma takut aja beneran kena HIV nanti nular lagi," ketus Putri.
Aldi menjadi semakin semangat menggoda, "Ketularan? Emang kita mau ngapain sampai ketularan kalo aku kena HIV."
"Mas Joko! Iya, iya, aku cemas dan merasa bersalah!" seru Putri kesal. Bibirnya maju beberapa senti.
Dalam hidup kita, akan ada seseorang yang bisa disebut rumah. Sosok yang kita tak ingin menyembunyikan apa pun darinya. Tempat bersandar di mana kita bisa berekspresi apa saja, tak perlu bersandiwara dengan berbagai wajah. Begitulah, Aldi bagi Putri maupun sebaliknya. Aldi yang dingin dan kaku bisa menjadi jail dan humoris atau Putri yang selalu tenang dan sulit ditebak dapat sedikit bermanja dan merajuk.
"Sebenarnya, aku menghilang untuk mempersiapkan kejutan hari ini." Aldi berbicara dengan serius.
Putri tersenyum kecil. "Aku jadi ingin segera melihat kejutannya, Mas."
"Sabar, ya, sedikit lagi kita sampai."
Seperti kata Aldi, tujuan mereka hanya tinggal beberapa blok lagi. Tak lama kemjudian, mobil berbelok ke halaman luas. Kecepatannya melambat, hingga akhirnya berhenti. Aldi membimbing Putri turun dan terus melangkah sampai mereka berdiri di depan sebuah rumah limasan. Aroma melati tercium kuat. Kenangan masa lalu mendekap Putri dalam nostalgia.
...
Dua bocah tengah asyik memetik melati. Mereka bukan hanya sekedar bermain, tetapi berlomba. Siapa yang menang akan menjadi penari utama untuk pertunjukkan yang akan diadakan seminggu lagi.
"Ih, Mas Joko curang! Tangannya Mas Joko, kan, lebih gede jadi bisa lebih banyak metik melatinya," protes Wulan, si gadis kecil berpipi tembem.
Joko, si bocah lelaki terkekeh. "Siapa cepat dia dapat dong. Wulan aja yang lelet makanya baru dapat sedikit," godanya.
"Mana ada begitu, pokoknya Wulan akan menang. Liat aja nanti!"
Joko malah semakin semangat meledek. Wulan mendengkus, lalu kembali memetik bunga melati dengan kecepatan tinggi. Rumpun melati kini hampir tak menyisakan satu kuntum bunga pun. Joko hanya bisa melongo karena kalah langkah.
Wulan menyeringai nakal, lalu berlari ke arah pendopo. Ibunya telah menunggu di sana. Dia pun menyerahkan melati yang telah dipetik tadi. Joko menyusul beberapa saat kemudian dengan terengah-engah. Pemuda itu juga menyetor melatinya.
"Wulan yang menang, kan, Bu?" cecar Wulan tak sabaran.
"Belum tentu, punya Mas juga banyak tuh," sergah Joko.
"Ngalah aja kenapa, sih, Mas!" gerutu Wulan dongkol.
Arunika menggeleng pelan. "Tunggu bentar Ibu hitung dulu," ucap Arunika menengahi. Dia tampak menghitung dan tersenyum lembut setelah selesai. "Hasilnya seri karena bunga yang dipetik sama banyak."
"Kalo gitu, siapa yang menang, Bu? Siapa yang jadi penari utama nanti?"
"Karena hasilnya seri, ya, kalian berdua akan sama-sama menjadi penari utama," putus Arunika dengan bijak. "Nah, sekarang kalian main aja lagi, makasih, ya, sudah dibantu metik melati."
Namun, Wulan tidak pergi bermain. Dia duduk di samping sang ibu sambil mengamati. Joko juga ikut duduk di sisi yang lain. Sementara Arunika sudah mulai meronce melati.
"Bu, Ibu lagi apa, sih? Kok bunga melatinya ditusuk-tusuk?" celetuk Wulan.
"Ini namanya meronce, Wulan. Nanti buat jadi hiasan sanggul kakak-kakak penari yang mau pertunjukan besok," jelas Arunika.
Wulang mengangguk-angguk. "Wulan ikut meronce juga dong, Bu!" serunya antusias.
"Boleh, nah sini Ibu ajarin dulu dasarnya."
Arunika mengajari Wulan dengan sabar. Beberapa kali gadis kecil itu menggerutu saat hasil ronceannya kurang bagus. Joko kembali meledek. Wulan mendelik kesal.
"Emangnya Mas Joko bisa? Ayo kita lomba lagi siapa yang paling bagus ronceannya!"
"Oke, siapa takut."
Akhirnya, kedua bocah itu kembali bersaing. Arunika terkekeh pelan melihat mereka.
...
"Kamu sudah siap melihat kejutannya, Wulan?" bisik Aldi membuyarkan lamunan Putri.
"Ah, i-ya, Mas."
Aldi pun membuka ikatan penutup mata. Kini, Putri berhadapan sendiri dengan rumah bergaya tradisional persis rumahnya yang terbakar dulu. Kebun bunga dan pepohonannya pun memiliki tata letak serupa.
"Mas Joko, ini ...."
"Iya, Wulan. Tempat ini harusnya selesai 20 tahun yang lalu. Harusnya Sanggar Adi Luhur direlokasi ke sini, tapi waktu insiden nahas terjadi ketika pembangunannya baru 10 %." Aldi tersenyum manis. "Maaf aku baru bisa melanjutkan pembangunannya tahun ini."
Putri menatap Aldi dengan sorot mata bersalah. "Mas, aku benar-benar jahat ...."
Aldi menggeleng pelan. "Yang jahat adalah Om Bima dan Pak Broto. Kamu hanya korban dari konspirasi kotor mereka," hiburnya sembari menepuk pundak Putri dengan lembut.
"Tapi, tetap saja aku malah berpihak kepada mereka. Kamu seharusnya membenciku, Mas," lirih Putri sembari menunduk dalam.
Aldi mengenggam jemari Putri dan mengecupnya dengan lembut. Gadis itu tersentak. Dia mencoba melepaskan tangannya, tetapi tidak berhasil. Genggaman Aldi malah semakin kuat.
"Lihat aku, Wulan! Lihat wajahku, apa kamu lihat ada kemarahan atau kebencian?"
Putri mengangkat wajahnya. Dua pasang mata yang saling merindu bertatapan, terkunci selama beberapa menit. Aldi menyentuh wajah manis itu dengan lembut.
"Tidak ada kebencian, Wulan. Hanya ada cinta di sana untukmu."
"Mas, aku tidak pantas–"
"Hanya kamu, hanya kamu yang bisa mengisi hati ini. Bahkan ketika kamu muncul dengan identitas lain, hatiku bisa mengenali."
Keheningan menyapa. Semilir angin mempermainkan helaian rambut, membuat aroma melati semakin kuat. Aldi dan Putri tak lagi sanggup berkata-kata, hanya saling melepaskan rindu dengan sorot mata. Lama bertatapan membuat keduanya terhanyut dalam suasana, memejamkan mata dan mendekatkan wajah.
***