Bruk!
Petra mendorong tubuh Olivia sampai punggungnya menutup rapat pintu. Dia mengurung Olivia dengan kedua tangan beruratnya yang masih terlihat basah. Mereka saling bersitatap untuk beberapa saat.
Pesona Petra sungguh luar biasa. Bagian kulitnya yang masih basah berair berkilau diterpa sinar lampu dari atas, apalagi dibagian dada berototnya yang sedikit terbuka, membuat pipi Olivia bersemu merah. Padahal Petra sedang kesal, tapi di mata Olivia, Petra sedang menggodanya.
"Sudah melihat-lihatnya?" celetuk Petra.
Blush...
Sekarang bukan hanya di pipi yang bersemu merah, tapi hampir di semua permukaan wajah Olivia merah tak tertahan. Dia sangat malu ketahuan sedang meneliti setiap inci tubuh Petra sampai rasanya ingin mengubur diri.
"Sangat tidak penurut. Untuk apa pergi ke luar dengan gaun ini? Cepat mandi, ganti baju dan pergi istirahat," ujar Petra sambil berbalik dan berjalan mengambil pakaiannya di lemari.
"Hey, apa kamu tidak bisa lihat kalau aku sedang sekarat karena penasaran? Kalian semua menyembunyikan hal besar apa dariku sampai sulit sekali untuk mengatakannya?" kata Olivia sambil mengikuti langkah kaki Petra tergesa-gesa.
"Aku tidak ingin membahas hal itu sekarang, kamu masih tidak mengerti juga?!" geram Petra sambil mengenakan kaos lengan pendek berwarna putih polos. Lengan berototnya tampak menonjol karena kaos itu sedikit ketat untuk ukuran tubuh idealnya.
Tapi, tunggu! Sepertinya Olivia melihat di pinggang Petra ada bekas luka. Semacam luka sayatan yang begitu dalam. Namun, tidak mau ambil pusing karena fokusnya kini tertuju pada penjelasan Petra.
"Petra!" seru Olivia dengan tatapan menuntut.
Petra menghela napas berat. Dia mengusap kasar wajahnya, lalu berbalik menatap Olivia yang masih meminta penjelasan.
"Dengar, sekeras apa pun kamu berusaha, aku tetap tidak akan mengatakan apa-apa sekarang. Aku membayangkan dampak yang akan terjadi jika aku mengatakannya di malam pertama kita. Bukankah menikah adalah impianmu? Kenapa kamu tidak bisa menikmatinya walau sehari saja?" ujar Petra sambil berkacak pinggang, menahan handuknya yang hampir melorot.
Mendengar perkataan Petra membuat hati Olivia terbuka. Seharusnya dia memang bisa menikmati hari pernikahannya meskipun bukan benar-benar pernikahan yang dia impikan selama ini. Olivia sadar Petra sudah banyak membantu. Petra juga tidak banyak menuntut setelah setuju untuk menikahinya secara mendadak.
Olivia semakin hanyut dalam pikiran. Dia berpikir bukan hanya masa depannya yang dipertaruhkan, tetapi masa depan Petra juga. Petra pasti memiliki alasan kuat yang tidak ingin dikatakan saat dia setuju untuk menikahinya. Seperti halnya yang sedang menimpa dirinya sendiri. Olivia hanya perlu memahaminya saja.
Perlahan perasaan Olivia melunak.
"Baiklah, aku tidak akan tanyakan lagi. Tapi, kamu harus berjanji untuk mengatakannya besok!" ucap Olivia menekan dengan tatapan menusuk.
Petra mengangguk perlahan. Dia mengambil pakaian tidur wanita dari dalam lemari, lalu memberikannya pada Olivia.
"Cepat mandi dan ganti pakaian. Malam pertama seperti apa yang kamu impikan? Mungkin aku bisa mewujudkannya," ucap Petra dengan wajah santai tanpa beban. Dia mengatakan itu karena demi membalas budi saja.
Siapa sangka perkataan Petra telah mempengaruhi suasana hati Olivia. Pikirannya malah traveling ke mana-mana, tubuhnya mulai memanas, wajahnya merah terbakar.
"M-m-malam pertama apa yang kamu bicarakan! Jangan bicara sembarangan!" bantahnya sambil menyentuh kedua pipinya yang merah.
Olivia berniat melarikan diri dari hadapan Petra. Namun, hal tak terduga malah terjadi saat Olivia tidak memperhatikan langkahnya karena tergesa-gesa. Dia menginjak kain licin yang tergeletak di lantai. Membuatnya jadi tak bisa menyeimbangkan tubuh dan tanpa sadar Olivia menarik lengan Petra serta handuknya saat terjatuh.
Bruk!
Olivia membuka matanya saat bibirnya terasa hangat menyentuh sesuatu. Begitu dia sadar, matanya terbelalak begitu lebar sampai hampir ke luar dari rongganya. Dia menindih tubuh Petra dan tanpa sengaja menciumnya. Astaga!
Petra pun sama terkejutnya, pupil matanya sampai membesar melihat begitu dekatnya Olivia dengannya.
Olivia segera beranjak bangun sambil menekan kedua dada Petra dengan wajah bingung. Gugupnya bukan main. Dadanya sampai berdentum keras di dalam, seakan ada kembang api yang meledak-ledak.
"I-itu ... ti-tidak sengaja!" ucap Olivia panik setengah mati sambil menggosok bibirnya.
"Bisa kamu berdiri? Kamu menekan jamurku," rintih Petra sambil mengernyit kesakitan karena Olivia duduk tepat di atas jamur supernya yang tidak berbalutkan apa pun.
Jamur? (Batin Olivia)
Mulut Olivia menganga saat merasakan ada sesuatu yang menonjol dari tempat di mana dia duduk. Dia melihat handuk Petra terlepas jauh. Itu artinya?
Dengan kecepatan super, Olivia mengambil pakaian tidurnya yang berjatuhan dan segera melarikan diri dari situ sambil menyembunyikan wajahnya.
...
Pagi hari, di ruang tamu.
Olivia sedang duduk berhadapan dengan Petra. Beberapa pelayan meletakan makanan ringan dan minuman di atas meja karena Olivia menolak untuk sarapan dengan alasan tidak napsu. Bahkan malam saja dia tidak bisa tidur dengan nyenyak, terlihat dari mata pandanya.
"Lihat, bagaimana aku memperlakukanmu dengan sangat baik. Ranjang yang kamu tiduri semalam di kamar sebelah adalah kualitas super yang dikirim dari luar negeri. Tidak heran kamu tidur dengan nyenyak seperti kerbau," sindir Petra sambil tersenyum tipis.
Olivia hanya menggertakan giginya meski sedikit kesal dikatai kerbau. Dia tidak akan menangkalnya karena takut ketahuan semalam tidak bisa tidur dengan nyenyak memikirkan kejadian menggelikan itu.
Aku akan kehilangan muka jika terus mengingatnya. (Batin Olivia)
"Jangan basa-basi, cepat katakan yang seharusnya kamu katakan dari kemarin," pinta Olivia sambil bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Petra menyilang kaki serta melipat kedua tangan di atas perut. Dia menaikan dagu dan menatap lurus ke arah Olivia. Wajahnya berubah jadi amat serius.
"Kamu harus berjanji tidak akan mengatakannya pada siapapun," ucap Petra.
"Aku dengar dulu, baru bisa memutuskan," ujarnya sambil pura-pura tidak memperlihatkan rasa penasarannya yang menggebu-gebu.
Petra terlihat resah dan cemas dengan menggerakkan tubuhnya secara impulsif. Namun, itu tidak akan menghalanginya untuk bicara jujur. Bagaimana pun dia tidak bisa menyembunyikannya dari Olivia karena hal tersebut saling berkaitan dengannya.
"Normalnya manusia memiliki hanya satu kepribadian, tapi aku memiliki dua kepribadian. Bukan penyakit dan tidak akan menular, tapi ini semacam gangguan pada tubuh. Saat aku sangat marah, aku akan kehilangan kendali. Di saat itulah kepribadianku yang lain muncul dan mengendalikan tubuhku. Aku bahkan mempunyai dua identitas yang berbeda," jelas Petra.
"Kamu pernah beberapa kali melihatku yang sedang marah sampai memukul orang bahkan menghancurkan barang, kan? Sebenarnya itu kepribadianku yang lain. Namanya Rex, dia tidak suka nama Petra, jadi dia menamainya sendiri. Semacam dua orang yang terperangkap dalam satu tubuh. Rex sangat berbahaya, dia tidak akan mengampuni siapa pun yang menghalangi jalannya. Dia bahkan pernah hampir menghilangkan nyawa seseorang. Kamu harus berhati-hati jika bertemu dengan Rex karena aku tidak mungkin bisa mengendalikannya," sambung Petra sambil menunduk sedih.
Olivia mendengarkan dengan seksama. Awalnya tidak mau percaya karena sangat mustahil baginya, tapi melihat Petra yang begitu murung serta mendengar penjelasannya yang runut tidak mungkin dia tidak percaya.
Terlebih lagi jika di pikir-pikir memang Petra sering memperlihatkan perubahan fisiknya dari marah kembali normal.
"Jadi, ini alasan kenapa matamu saat marah berwarna merah dan saat normal berwarna kuning keemasan?" tanya Olivia hati-hati.
...
BERSAMBUNG!!