"Aku nggak mau makan jasad yang masih setengah hidup."
Mutiara menjauh dari nelayan yang sedang sekarat itu. Pria berusia akhir tiga puluhan itu baru saja diserang kapalnya oleh teman-teman Mutiara.
Bella mencabik paha calon mayat yang sedang ia gerogoti sejak tadi itu dan mencucinya ke dalam air laut. Menyodorkannya pada Mutiara.
"Apa? Kamu nyuruh aku makan itu? Aku kan udah bilang tadi, kan? Aku nggak mau makan jasad yang masih setengah hidup."
Mutiara memalingkan pandangannya dari Bella yang masih saja sibuk dengan santapannya yang masih segar. Mulutnya belepotan darah. Sesekali ia sesap darah yang rasanya manis itu. Pas. Ia suka sekali rasa manusia di usia begini.
"Ya udah kalau nggak mau makan. Silakan nunggu pesawat jatuh. Itupun juga kalo dagingnya masih utuh."
Ucapan Bella membuat Amelia, Marina dan Siren terbahak.
Semua putri duyung tahu bahwa pesawat yang jatuh menukik dan menabrak lautan tak akan membawa tubuh penumpang dalam keadaan utuh.
Suara mengorok yang keluar dari mulut manusia sekarat di hadapan putri duyung yang kelaparan itu menandakan bahwa sebentar lagi ia akan bertemu dengan ajalnya.
Selesai.
Amelia terkikik. Kini giliran dirinya mencabik daging yang ada di tangan nelayan yang sekarat itu dan memberikannya pada Mutiara.
"Ambil. Dia udah mati. Kamu lihat sendiri dia udah melotot gini kan?"
Siren, putri duyung paling kecil di antara mereka berempat itu menutup mulutnya. Ia tak bisa untuk menahan tawanya saat mendengar ucapan Amelia.
Mutiara menatap pria malang yang ada di hadapannya. Tak menerima daging yang sedang diberikan oleh Amelia, putri duyung itu malah sedang memikirkan bagaimana nasib keluarga pria ini di daratan sana. Mereka pasti sedih karena pria ini tak pulang dengan selamat karena kapalnya tenggelam diserang para putri duyung.
Tak ada pilihan lain. Ia mengambil daging yang sedang ditawarkan padanya itu dengan kasar.
"Ini yang terakhir," ucap Mutiara dengan ketus.
"Buat kamu sih terserah. Buat kami, kami nggak mau kelaparan," ucap Marina sambil sibuk menyantap sarapannya.
"Egois," batin Mutiara. Ia terjun melompat ke dalam lautan. Meninggalkan teman-temannya yang rakus itu.
Mata kecilnya memandangi seonggok daging manusia yang ada di tangannya. Masih terbayang bagaimana pria itu sekarat di hadapannya. Mutiara menggelengkan kepalanya. Ia tak bisa untuk memakan sesuatu seperti ini sebenarnya.
Ia lemparkan daging yang ada di tangannya sejak tadi itu sampai jatuh di antara karang. Menepuk telapak tangannya di dalam air agar darah yang masih tersisa itu segera menghilang.
Ekornya menggeliat. Mutiara berenang tak henti melintasi lautan yang masih hangat dengan perut yang kelaparan.
Ia berencana untuk mencari kerang-kerang yang sudah mati di antara bebatuan karang. Memang tak seenak dan sesegar daging manusia yang baru saja selesai sekarat. Tapi, ia tak harus menyaksikan manusia yang sedang kesakitan. Itu sungguh melukai perasaannya.
Dipilahnya satu per satu kerang yang sekiranya masih bisa ia makan. Perairan Indonesia tak begitu menghasilkan kerang yang bagus karena terlalu banyak menyerap pencemaran limbah. Tapi tak apa. Mutiara terus saja menguatkan hatinya. Yang terpenting sekarang adalah perutnya tak begitu kosong untuk melakukan perjalanan jauh ke suatu tempat.
"Lumayan."
Entah ia sudah habis berapa kerang yang tak begitu segar. Mutiara melemparkan cangkang kerang terakhir yang isinya baru saja ia makan.
Mau muntah rasanya. Agak mual sampai Mutiara harus sesekali mengendalikan dirinya.
Ia menggerakkan tubuhnya naik ke atas.
Angin yang menerpa wajah basahnya pagi itu begitu hangat. Ia mengamati kampung nelayan yang sudah dekat.
Mutiara kembali turun ke dalam lautan. Menggerakkan tubuh setengah ikan dan setengah manusianya di dalam air. Sesekali ia menyapa para ikan yang harusnya jadi santapannya hidup-hidup. Tapi tak pernah ingin Mutiara lakukan demi ketenangan batinnya. Ia masih punya simpati untuk tak melakukan itu.
Membayangkan bagaimana putri duyung lain melakukan hal yang buruk pada manusia sampai menyantapnya hidup-hidup adalah sesuatu yang di luar nalar bagi Mutiara. Satu kata saja. Kejam.
Hanya butuh beberapa saat sampai ekornya berubah menjadi sepasang kaki. Mutiara mengendap-endap mencari pakaian setengah kering yang sedang dijemur. Tak lupa ia mengambil sandal yang agak terlalu besar di kakinya.
"Aku cuma pinjem sebentar, kok," ucap Mutiara tanpa suara.
Ia akan meminjam semua hal yang Mutiara pakai di pagi hari dan akan mengembalikannya di sore hari saat waktunya kembali ke lautan.
Tak banyak hal yang ia lakukan di daratan. Hanya berjalan-jalan di pasar dan merasakan makanan hasil demo memasak dari orang-orang yang sedang mempromosikan suatu produk.
Mutiara menyuap nasi goreng di mangkok plastik yang ada di tangannya.
Nasi kering dengan rasa agak sedikit pedas ini lebih bisa diterima oleh perutnya daripada daging manusia yang dimakan saat sekarat.
"Mut!"
Mutiara melambaikan tangan pada seorang wanita tua penjual ikan. Ia mengenalnya cukup lama.
Wanita tua yang begitu baik pada Mutiara itu menyodorkan sebungkus kue berwarna merah muda.
"Ayo makan sama-sama."
Mutiara mengangguk sambil tersenyum manis. Ia tak akan menolak makanan macam ini. Ia begitu menyukainya sampai tak ingat bahwa dirinya adalah putri duyung. Melawan takdir.
"Dari mana?"
"Huh?" Mutiara menyantap kuenya dan menunjuk ke arah yang ia sendiri tak tahu.
Nenek tua itu mengernyitkan dahinya.
"Dari mana? Dari jalan-jalan di pantai."
Selama ini, Mutiara mengaku bahwa ia tinggal di perkampungan nelayan. Beruntung nenek itu tak terlalu banyak bertanya tentang asal usul Mutiara.
"Aku mau ke sana."
Mutiara bangkit dari tempat duduknya. Berniat kembali menyusuri pasar yang lumayan ramai.
"Gue baca tentang legenda putri duyung yang ada di perpustakaan. Lumayan menghibur, sih." Malik terkikik.
Mutiara menoleh pada para mahasiswa yang sepertinya berumur tak jauh beda dengannya. Memerhatikan manusia yang tak percaya legenda tentang dirinya.
"Skripsi besok lo bikin judul tentang itu aja, Lik." Kawan yang sedang ada di sebelah Malik ikut tertawa. "Mitos yang lumayan menghibur, kan? Skripsi lo nggak bakal ada yang nyamain."
Mutiara menghabiskan kuenya dalam sekali suapan.
"Manusia goblok," gerutu Mutiara.
Malik menoleh pada Mutiara. Ia mencoba memastikan seseorang yang sedang mengatai dirinya dengan tak sopan.
Melihat tatapan sinis Mutiara, Malik jadi tahu bahwa gadis itu yang baru saja mengoloknya.
"Lo barusan ngomong apa?"
Mutiara tak memberikan respon apapun dan berniat segera pergi dari sana.
Ia tak memerhatikan apa yang sedang lalu lalang di belakangnya dan menabrak seseorang yang membawa sebuah kelapa muda.
Gadis itu tersungkur jatuh ke tanah dan melongo saat air kelapa muda terciprat ke kakinya. Sisik berwarna kehijauan muncul di betis Mutiara perlahan.