Mutiara berlari sekuat tenaga memecah lautan manusia yang masih ramai di area pasar. Ia tak mempedulikan siapa saja yang ia tabrak. Kerahasiaan identitasnya lebih penting sekarang.
Putri duyung itu segera mengelap sisiknya yang sudah bermunculan perlahan di betis saat sampai di sebuah gudang penyimpanan beras.
Sembari menangis lirih, Mutiara terus mengeringkan kakinya. Ia tak ingin jadi tontonan para manusia yang sudah mencari-cari fakta tentang makhluk sepertinya.
Mutiara yang berasal dari air matanya itu berjatuhan.
Ia jadi menyesal sudah menangis seperti ini. Sambil mengingat siapa saja yang sudah melihat sisiknya ini.
Tak ada pilihan lain bagi Mutiara. Ia harus segera kembali ke lautan lebih cepat.
"Maaf, aku harus bawa baju ini ke lautan. Lain kali aku ganti. Aku janji."
Mutiara menceburkan dirinya. Seketika itu, sosok ya kembali berubah menjadi putri duyung.
Mata Mutiara terhenti saat melihat sandal yang juga ia curi itu kini terlepas dari dirinya dan hanyut ke dasar lautan. Sepasang kakinya sudah berubah menjadi ekor.
Sembari berenang, ia lepaskan pakaian yang masih ia pakai.
Ia menyesal sudah tak berhati-hati saat berjalan-jalan di pasar sampai membuat kakinya tersiram air.
Pemuda tadi. Mutiara berharap ia tak bertemu dengannya lagi. Membawa kesialan saja bagi dirinya.
Mutiara terus berenang. Tak henti. Ia masih kelaparan. Ia tak bisa untuk makan kerang-kerang kotor itu lagi. Tapi ia juga sudah berniat untuk tak makan daging manusia untuk seumur hidupnya.
Ia menoleh saat seseorang menepuk bahunya.
Siren memberi isyarat pada Mutiara untuk mengikuti putri duyung muda itu. Mungkin ada suatu hal penting yang membuat Mutiara harus pergi bersama Siren.
Saat keluar dari lautan, Mutiara akhirnya sadar bahwa hal itu adalah sesuatu yang ia benci.
"Apa yang kalian lakuin?"
Mutiara tak bisa menahan amarahnya sekarang.
Bella, yang tertua di antara mereka, membanting daging manusia yang sejak tadi ia nikmati. Ini adalah tangkapan kedua mereka kali ini.
"Katanya kalian hanya makan daging manusia pas lagi pengen aja, kan? Hari ini kalian ambil berapa? Dua? Belum cukup? Apa harus kalian makan 3? 4? Atau sepuluh dalam sehari?" Mata Mutiara berkaca-kaca.
"Siren," panggil Bella pada Siren.
"Ya?"
"Lain kali jangan panggil Mutiara ke sini. Okey? Biarin dia kelaperan." Bella kembali menyobek lengan pada manusia yang kemungkinan sudah mati sejak beberapa menit yang lalu itu. Darahnya masih deras mengucur. Mereka sepertinya menguliti manusia itu perlahan agar tak langsung mematikannya dan membuat dagingnya masih segar.
Hal itu begitu menyakiti Mutiara.
"Kalian bisa berhenti?" tangis Mutiara.
"Nggak," ucap Bella lirih.
"Kalian janji akan menyerang dan makan manusia sekali dalam sehari! Kalian nggak nepatin itu!" pekik Mutiara. Ia sudah menahan hal ini cukup lama. Keterlaluan. Menyerang manusia bahkan memakannya hidup-hidup agar dagingnya masih segar dan manis.
"Siapa yang berjanji!" Bella melotot pada Mutiara. "Siapa? Huh?"
"Apa?"
"U-Udahlah. Kenapa kalian jadi bertengkar?" sanggah Marina.
Suasana makan siang hari itu jadi tak mengenakkan. Semua orang jadi canggung kali ini. Tak ada pergerakan berarti dari diri mereka masing-masing.
"Ya udah kalo gitu, Mutiara. Kamu pergi aja dari sini," ucap Amelia lirih. "Kami nggak akan mengganggu apa yang kamu akan makan nanti. Kami akan menghormati kamu."
Sambil menahan air matanya, Mutiara kembali masuk ke dalam laut. Ia hampir tak bisa menahan rasa sedih dan kasihannya sekarang.
"Menjijikkan," batin Mutiara. "Bisa-bisanya ada makhluk nggak punya perasaan kayak mereka."
"Siapa yang nyuruh kamu panggil Mutiara ke sini? Huh?" bentak Bella pada Siren. Dengan amarahnya yang masih menggebu-gebu, putri duyung itu menyeret korbannya yang sudah mati itu ke dalam lautan.
Amelia dan Marina tak bisa mencegah apa yang dilakukan Bella sekarang. Usaha mereka menyerang manusia jadi sia-sia sekarang. Mereka hanya makan beberapa kali sobekan daging.
Mutiara yang masih saja menangis itu agak terkejut dengan jasad manusia yang tercebur dan hanyut ke dasar lautan
Beberapa saat kemudian, Siren muncul memberikan isyarat pada Mutiara dengan ucapan permintaan maaf.
Mutiara mengangguk. Ia tahu Siren meminta maaf untuk apa.
Putri duyung itu melambaikan tangannya pada Siren. Ia lalu pergi sejauh mungkin. Berniat meninggalkan lautan serta banyak kekejaman yang tercipta di dalamnya.
Ini adalah jalan terbaik agar hidupnya tak diselimuti kebencian para putri duyung pada manusia yang dianggap sudah mencemari lautan.
Lagi-lagi, Mutiara harus mencuri baju dan alas kaki dari perkampungan nelayan.
Sore itu, sepertinya akan terjadi topan. Mutiara harus mencari tempat bersembunyi yang hangat. Ia tak boleh untuk tinggal di luar rumah seperti ini.
"Kamu datang lagi?"
Mutiara mengenal nenek ini. Wanita tua yang suka memberi Mutiara makanan manusia.
Putri duyung itu menengadahkan kepalanya ke langit yang keabu-abuan. Sepertinya akan turun hujan sebentar lagi. Mutiara harus mencari tempat berlindung sebelum hujan tiba dan membuatnya kembali menjadi manusia setengah ikan.
"Ayo ikut Emak," ucap wanita tua itu. Tangan tuanya menggandeng tangan Mutiara. Menuntun putri duyung itu ke dalam rumahnya yang tak jauh dari sana.
Cukup bagus untuk sebuah rumah yang ada di perkampungan nelayan.
Wanita tua itu mencuci kaki dan telapak tangannya pada keran yang ada di depan rumah. Kebiasaan orang-orang desa sebelum masuk ke dalam.
"Cuci kaki dan tangan kamu dulu," ucap wanita tua itu sebelum melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.
Mutiara langsung masuk ke dalam rumah dan tak mendengar perintah wanita tua itu. Tentu saja ia tak bisa mencuci kakinya. Bisa-bisa semua orang tahu identitasnya.
"Sudah cuci tangan dan kaki?" Nenek tua itu membuka tudung sajinya seolah menyilakan Mutiara untuk makan.
Mutiara mengangguk ragu sembari menggosok tangannya. Seolah-olah sedang mengeringkan air yang belum membasuhnya.
"Ayo makan. Sederhana. Tapi mengenyangkan. Emak tahu kamu pasti kelaperan di luar sana, Mut."
Baru saja beberapa menit ia naik ke daratan, Mutiara merasa telah dihargai. Ia tak disuruh menyerang seseorang dulu untuk makan. Bahkan, tak ada darah manis yang harus ia sesap dari mayat seseorang yang masih sekarat.
Ia memulai suapan pertamanya. Entah. Ada haru yang menyelimuti hatinya sekarang.
"Enak?" Wanita tua itu pintar memasak. Sop dan ikan goreng mudah diterima di perut Mutiara. "Sekarang cerita ke Emak, di mana tempat tinggal kamu?"
"Di-" Mutiara menghentikan ucapannya. Ia tak bisa berbohong bahwa ia berasal dari pemukiman nelayan. Tempat tinggal nenek ini berada di tempat itu.
"Sejak kamu ngaku kalo tempat tinggal kamu ada di perkampungan nelayan, Emak nggak percaya, karena Emak nggak pernah lihat kamu di kampung ini. Ayo ngaku di mana tempat tinggal kamu?"