Pagi yang cerah, matahari bersinar cukup terik. Kemilau keemasan membuat hangat para manusia, hewan, dan juga tumbuhan yang hidup di atas muka bumi.
Tak luput dengan sosok Reyhan Dirgantara, pria kelahiran 28 tahun silam itu sedang asyik menikmati sarapan paginya di sebuah kedai kopi tak jauh dari kantornya. Ia membuka koran pagi sambil sesekali menyeruput kopi panas yang nikmat.
"Wah, presdir bank terbesar di Asia masuk ke rumah sakit? Cih, dasar crazy rich. Masuk rumah sakit saja bikin heboh seantero dunia bisnis." Reyhan menutup koran dan kembali berkutat pada kopinya.
"Hai, Beb. Sudah lama?" Tiba-tiba suara manja yang lembut terdengar dan memeluknya dari belakang.
"Tumben kamu terlambat, Fio?" Reyhan mencium pipi Fiona sebelum mengijinkan gadis itu duduk di sampingnya.
"Sorry, Fiona mampir ke salon dulu pagi tadi betulin rambut Fiona yang kusut." Fiona tersenyum manis dan sontak langsung membuat kekesalan hati Reyhan menghilang.
"Ya udah, sarapan dulu. Lalu kita pilih baju pengantin yang kamu mau. Ada bridal yang naik daun." Reyhan meletakkan korannya di atas meja. Fiona melirik ke atas koran.
"Siapa sih dia, Beb? Kok aku lihat kamu sampai serius baca korannya?" Fiona mengambil koran di atas meja dan membacanya sekilas. Ia melihat seorang kakek terbaring di rumah sakit dijenguk oleh banyak petinggi negara.
"Oh, dia pemilik grup besar. Salah satu orang terkaya di negeri ini. Masa kamu nggak tahu?!" Reyhan menyeruput lagi kopinya.
"Sama kamu kaya mana?" Fiona penasaran, well, dia menganggap Reyhan adalah pria yang kaya karena punya banyak hotel. Tapi ...
"Kaya mana?? Beda kekayaan kita itu bagaikan semut sama gajah Fiona. Dia punya bank paling besar di Asia Tenggara, belum usaha-usaha dia yang lain. Dia itu crazy damn rich, Baby! Kalau enggak masak cuma syaraf kejepit aja masuk koran!" Reyhan tertawa sumbang, kesel juga ya denger pertanyaan Fiona.
"Wah, sungguh?? Padahal aku kira kau sudah kaya sekali, Kak Rey. Ternyata masih ada yang jauh lebih kaya?" Fiona terkagum-kagum.
"Di atas langit masih ada langit, Fio. Sudah cepat habiskan sarapanmu." Reyhan mengelus wajah Fiona.
.
.
.
Sementara itu, Felicia yang sembari tadi mengumpulkan keberanian untuk mengembalikan cincin pertunangannya, terpaksa harus kembali menelan ludahnya penuh kepahitan saat melihat kemesraan Reyhan dan Fiona.
Mobil buntut Felicia yang berhenti di lampu merah membuat Felicia tak sengaja melihat Reyhan sedang sarapan berdua dengan Fiona di kedai kopi dekat hotel Dirgantara. Hati Felicia terenyuh, rasanya sangat menyakitkan. Dulu, setiap pagi Reyhan selalu mengajaknya sarapan di sana sebelum mengantarkan Felicia ke kampus.
Reyhan pernah bilang, "cheese toast di sini paling enak, dan dikombinasikan dengan kopi latte yang hangat. Cocok sekali untuk memulai hari."
"Yup, aku setuju," Felicia menyeruput kopinya.
"Ada foam susu di sudut bibirmu, Cia. Umur berapa sih masih belepotan gini?" Reyhan menyeka bibir Felicia dan membuat wajah gadis itu bersemu kemerahan.
Sepintas kenangan itu melintas dalam benak Felicia, namun tergantikan dengan air mata saat ia melihat Reyhan melakukan hal yang sama pada Fiona di cafe itu. Air mata Felicia mengalir dengan deras, sederas laju kendaraan yang melintas begitu lampu lalu lintas menjadi hijau.
Felicia masih bengong menatap keduanya sembari menangis. Hatinya begitu sakit, nyeri sekali, bagaikan teriris-iris dengan pisau yang tajam. Air mata yang luruh bahkan tak bisa menghilangkan rasa sakitnya. Kenangan-kenangan manis itu kini tinggal lah kenangan. Tak bisa disimpan karena hanya akan membuat hati semakin terasa nyeri saja. Sudah cukup lama ia menangis sampai semua mobil di belakangnya mengeluh. Lampu kembali menyala merah, kelakson tak berhenti berbunyi untuk mengusir Felicia dari sana.
"Ada apa sih rame-rame?" Reyhan mencari tahu, Fiona ikutan menoleh ke arah keributan.
Gadis itu melihat kakaknya menangis sembari menatap ke arah mereka berdua. Fiona menyeringai, [Lihat, Kak Cia. Sakitkan kalau kalah? Sakitkan kalau orang yang kamu cintai memberikan cintanya untuk orang lain? Bagaimana rasanya jadi pecundang?]
Pandangan Reyhan masih tertutup pepohonan di pinggir jalan, jadi ia tak bisa melihat Felicia. Fiona langsung bergegas mengalihkan perhatian Reyhan dengan bergelayut manja pada lengannya.
"Ayo, Kak. Fio sudah selesai makan. Sudah kenyang. Kita coba baju pengantinnya." Ajak Fiona.
"Ayo. Aku juga ada meeting siang nanti." Reyhan bangkit, menggandeng Fiona menuju ke mobilnya.
Felicia semakin menderita tak kala mendapati Reyhan bangkit dan pergi dari cafe dengan menggandeng Fiona mesra. Pandangan matanya terhalangi oleh air mata.
"WOI!! Brengsek!! Lo kenapa sih berhenti di tengah jalan?!" Seorang pria menegur Felicia. Wanita itu tak menyadari bahwa kesedihannya membuat kemacetan panjang dari perempatan lampu merah sampai ratusan meter ke belakang.
"Woi!! Denger nggak sih lo!! Wanita gila!!" Pria itu semakin tak sabar, dia mengetok keras kaca mobil Felicia. Felicia tersentak kaget. Ia langsung melihat ke belakang dengan panik. Lalu beralih pada bapak-bapak yang marah. Felicia menelan ludahnya dengan berat sebelum membuka kaca mobil.
"Maa ... maaf, Pak. Maaf." Felicia mencoba menenangkan bapak itu, di susul dengan beberapa pengendara mobil lain yang ikutan turun menggerebek Felicia karena kesal.
"Jangan cuma maaf!! Sana pergi!!" Usir mereka.
"Benar!! Menyebalkan!! Aku jadi telat ke kantorkan?!" tukas yang lain.
"Dasar! Galau di tengah jalan!! Bikin macet!" tandas seorang ibu-ibu berpakaian staff negeri.
"Maaf, sekali lagi maaf." Felicia bergegas mengemudikan mobilnya, tapi naas, mesinnya mati. [Gawat mobil tua ini mulai kumat!]
Felicia bangkit, membuka pintu mobil. Ia membungkukkan badannya sebagai wujud permintaan maaf. "Mobilnya mogok Pak, Bu. Maaf, saya segera panggil derek!!"
"Sialan!! Bilang donk dari tadi!! Bikin kacau aja!!"
"Iya nih, pagi-pagi bikin telat ngantor. Padahal ada tender ratusan juta yang mesti saya urus!! Brengsek!" bentak seorang bapak. Felicia tersentak-sentak tiap kali menerima umpatan dari para pengemudi lain. Tangannya gemetaran sampai tak bisa fokus memanggil jasa derek mobil.
"Hiks ..." air mata Felicia tumpah. Padahal pagi hari tadi ia bertekat untuk membalas Reyhan dengan membuktikan bahwa ia adalah wanita yang kuat dan bisa hidup tanpa Reyhan di sisinya. Tapi ... melihat Reyhan berduaan dengan Fiona dan juga menerima cercaan dari warga jalanan yang protes saja sudah membuat hati Felicia menciut.
Felicia menangis semakin keras, terisak-isak dan membuat semua gerombolan di sana semakin kesal.
"Malah nangis sih!! Cepat panggil dereknya!!" Bentaknya, ia menggebrak mobil Felicia dengan keras sampai gadis itu berjengit ketakutan.
"Cepat hubungi!!" Seorang pria lain mencekal pergelangan tangan Felicia sampai ia mengeryit kesakitan. Namun sesaat, pria itu justru bergantian mengeryit kesakitan dan lekas melepaskan genggamannya.
Felicia menengadah melihat ke atas, siapa yang menolongnya.
"Kaisar…."
"Kenapa sih, lo itu suka bangen menangis?"
—******—