Dengan jawabanku kemarin dan mengabaikan mas Arbi yang tidak setuju, rencana pak Haryo untuk menikahiku berjalan terus.
Walaupun dalam hatiku sebenarnya menolak, tapi di sisi lain aku juga tidak bisa melihat orang-orang yang aku sayang kesusahan. Dengan bekerja sekeras apapun, dengan uang limapuluh ribu sehari tidak akan cukup menghidupi seluruh keluarga.
Meski tidak ada cinta, dan aku mengabaikan rasa cintaku pada mas Arbi, orang yang aku sayangi dan kelak setelah menikah akan jadi anak tiriku.
Sebelum menikah, aku masih berangkat ke sekolah seperti biasa. Karena sebentar lagi ujian akhir. Dan pernikahan rencananya akan dilaksanakan setelah aku lulus sekolah.
Aku tetap menggunakan sepeda bututku, walaupun pak Haryo menawarkan untuk diantar sopir. Aku tidak mau ada gosip atau bahan perbincangan tetangga.
Saat itu, Gilang ada jam tambahan olahraga, jadi aku pulang duluan. Sekarang aku tidak lagi bekerja di toko pak Haji, jadi aku langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada mobil yang menghentikanku. Aku terkejut, saat orang yang keluar dari mobil itu mas Arbi.
" Renata, aku mau bicara." Lalu dia mengajakku masuk ke dalam mobilnya. " Mas, sepedaku bagaimana?" Tanyaku bingung. " Sudah nggak papa, kalau nanti hilang aku ganti " jawab mas Arbi enteng.
Lalu dia mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. " Mas, kita mau kemana ini? Jangan kenceng-kenceng bawa mobilnya " Tapi dia seolah tidak mendengar perkataanku. Terus terang aku takut, apa yang akan dia lakukan padaku.
Hingga akhirnya mobil berhenti di pinggir pantai dekat kota kami. Lalu dia menyiruhku keluar. Dia masih diam, dia pandangi ombak yang berderu keras.
Aku masih bingung, apakah mas Arbi marah padaku, karena aku setuju untuk menikah dengsn papanya, pak Haryo.
Lalu dia menoleh dan berjalan ke arahku. Dia pegang pundakku, lalu menatap tajam mataku. " Aku mencintaimu Renata " hatiku bergetar saat mas Arbi mengatakan itu. Tak terasa air mataku menetes. Ini yang ingin aku dengar darimu mas Arbi.
Dia usap airmataku. " Aku tahu kamu juga mencintaiku kan?" Tanya mas Arbi sambil menatap mataku. Airmataku semakin deras. Aku hanya bisa mengangguk pelan
Mas Arbi berteriak keras, pasti dia sangat kesal dengan keadaan ini. Aku hanya bisa diam tak tahu harus berbuat apa. Aku tidak berdaya. Lalu mas Arbi menarik tanganku untuk masuk mobil.
Dia kembali mengemudikan mobil dengan kencang. Aku tahu mas Arbi sedang emosi, kecewa, sakit hati. Tapi aku juga takut kalau dia berbuat nekat.
Hingga akhirnya mobil berhenti di sebuah rumah yang tidak begitu besar, tidak sebesar rumah pak Haryo, walaupun rumah itu juga mewah. Lalu dia menarik tanganku untuk masuk ke rumah, yang sebelumnya dia buka dengan pintu yang dia bawa. Tampaknya rumah itu kosong, tidak juga ada pembantu, tapi rumah itu terlihat bersih.
Aku tidak tahu kenapa dia kunci pintu rumah dari dalam. " Mas, kita mau ngapain? " Aku semakin khawatir, karena hari juga sudah mulai petanv. Pasti orangtuaku khawatir mencariku.
" Kita disini hanya sebentar, nanti aku antar pulang. Kamu harus tahu aku sangat mencintaimu, tidak boleh ada yang memilikimu selain aku." Tiba-tiba saja mas Arbi mencium bibirku. Aku mencoba berontak, tapi aku tak kuasa karena aku juga menginginkan hal ini.
Hingga akhirnya kami menikmatinya, kami lupa bahwa ini dosa. Dan hari ini mas Arbi telah merenggut kesucianku. Tanpa terikat pernikahan. Dan hanya airmata penyesalan yang keluar.
" Maafkan aku." Sambil mas Arbi membantu memakaiksn bajuku. Dan ada darah kesucianku di sprei putih kamar ini.
Mas Arbi mengambil sprei dan membereskannya, lalu mendaratkan ciumannya di keningku. Aku merasakan kehangatan kasih sayangnya. Tapi aku tahu ini salah.