Kejadian sore itu sungguh sangat mengganggu pikiranku. Aku tidak menyangka aku bisa melakukan perbuatan zina. Sungguh aku sangat merasa menyesal. Tapi bagaimanapun mas Arbi orang yang sebenarnya aku sangat cintai.
Persiapan pernikahan mulai berjalan. Aku harus fitting baju, juga perawatan di salon. Aku juga mulai diajak pak Haryo ke pabriknya. Banyak pasang mata memandangku sambil bisik-bisik. Diantaranya tetanggaku yang bekerja di pabrik pak Haryo.
Karena memang lokasi pabrik itu dekat rumahku jadi banyak tetangga yang bekerja di pabrik pak Haryo. Mbak Suti, Mbak Dina dan masih banyak lagi.
" Kok Rena sama bos sih, emang dia siapa?" Aku dengar mbak Suti berbisik sama mbak Dina. Memang belum ada yang tahu terkait rencana pernikahanku dengan bos tempat mereka bekerja,pak Haryo.
Memang rencana pernikahan ini tidak diselenggarakan di kampungku, tapi di Bali, hanya keluarga inti saja yang tahu.
Lalu pak Haryo mengajakku ke dalam kantor. Tak kusangka disitu kulihat mas Arbi. Rupanya sebagai pewaris tunggal perusahaan ini, mas Arbi diharuskan sudah mulai berkantor.
Dia memandangiku, aku tak mampu menatapnya. Aku takut membuat pak Haryo curiga. Apalagi mengingat kejadian kemarin, aku sangat takut.
Aku tahu pasti mas Arbi, sangat sedih kalau pernikahanku dengan pak Haryo benar terjadi. Makanaku mas, aku tidak bisa memperjuangkan cinta kita. Walaupun, kau telah merenggut keperawananku.
Pak Haryo mengajakku masuk ke ruangannya. " Bagaimana, kamu suka saya ajak kesini?"Aku mengamgguk pelab, walaupun yang ada, aku tidak peduli dengan apa yang kulihat tadi. Pikiranku masih melayang kejadian kemarin. Kenikmatan sesaat yang sesungguhnya merupakan disa besar. Harisnya kami melakukannya saat malam pertama setelah pernikahan.
"Rena!" Panggilan pak Haryo mengagetkanku. " Kamu melamun ya?" Aku buru-buru menunduk. " Masf, tidak Pak." Jawabku. " Kok Pak? Kamu bisa panggil aku Mas, atau Sayang. Terserah kamu." Aku jadi kikuk, tak seharusnya aku di sini.
" Rena, ini bisa kamu tanda tangani." pak Haryo menyodorkan secarik kertas padaku. "Ada pa ini?" Pikirku. " Kamu baca dulu." Kata pak Haryo.
Setelah aku baca ternyata sebuah surat perjanjian, yang isinya antara lain aku dan pak haryo hanya terlibat kawin kontrak selama satu tahun, selebihnya bisa diperpanjang sesuai kebutuhan, selama masa kontrak aku harus melakukan kewajiban lahir batin seorang istri, selama kontrak aku juga dilarang hamil." Untuk yang terakhir, ini menjadi pikiranku. Bagaimana kalau akibat perbuata kemarin aku hamil. Jangan ini tidak boleh terjadi.
" Maaf apa saya harus melayani kebutuhan biologis Bapak? " Tanyaku. " Ya iya dong sayang." Rasanya aku nggak sanggup kalau harus melayani pak Haryo, aku hanya ingin sama mas Arbi saja. Sayangnya kami tidak terikat dalam pernikahan.
" Tapi Pak, saya kan masih kecil." Kataku. " Kamu sudah umur 18 tahun Rena." Kata pak Haryo. " Kalau saya hamil bagaimana Pak?" Tanyaku lagi. " Ya jangan sampai hamil." Jawab pak Haryo enteng.
" Sudah ya, kamu jelas kan?" Aku mengangguk pelan, lalu menandatangi berkas itu. Di situ juga ada sanksi jika aku tidak melaksanakan salah satu pasal, maka aku harus mengembalikan sejumlah uang yang sudah pak Haryo berikan.
Mau tidak mau aku harus melakukannya. Tapi tidak bisa aku bayangkan jika aku nanti hamil anak mas Arbi.
Setelah itu pak Haryo memberi tahu kalau besok pak Haryo mau mengajakku ke Bali, untuk melihat tempat kami menikah lagi. " Besok Arbi biar ikut." Deg, kok mas Arbi ikut, aku jadi tidak enak sama mas Arbi .
Benar saja, pak Haryo mengajak mas Arbi. Dan untungnya aku boleh mengajak Inu untuk menemani.
Sesampai di tempat rencana kami menikah, pak Haryo mulai mengajak berkeliling ke tempat ini. Sementara mas Arbi juga mengikuti, sambil sesekali melirikku. Untung ada Ibu, jadi tidak ada kesempatan dia akan menculikku seperti kejadian saat itu.
Tempat ini sangat indah, apalagi tempat ini menghadap pantai. Dantak kusangka ternyata tempat ini ternyata milik pak Haryo juga . Dalam hati aku kagum dengan keindahan tempat ini.
" Arbi, kamu boleh istirahat di kamar atau jalan sendiri. Karena Papah mau antar Rena belanja baju " mas Arbi hanya mengangguk. Sebenarnya aku kasihan juga sama mas Arbi. Tanpa mas Arbi, akhirnya aku diajak belanja baju. Ibu juga tidak ikut, karena badannya terasa nggak enak.