Nara berniat akan menyerang kembali tapi ia khawatir serangannya itu mengenai Putri.
Ia pun segera menembus atap rumah itu dan berdiri diatas pucuk rumah tingkat tersebut. Menanti kedatangan sang lawan, kakaknya sendiri.
Dan ya, ternyata benar. Dewi Ayu menyusulnya ke atas. Mereka saling menyerang satu sama lain.
Dewi Ayu mengeluarkan sebuah energi berwarna merah yang ia hempaskan dengan selendangnya menuju sang adik lelaki, berulang-ulang serangan itu terus ia luncurkan menuju dirinya akan tetapi dengan gesitnya itu semua ditangkis oleh Nara.
Bahkan beberapa serangan itu bisa ia putar balikkan layaknya sebuah bumerang.
Dewi Ayu melompat untuk menghindar. Nara mengurungkan niatnya untuk memakai keris yang tersampir di ruas pinggangnya. Diam-diam ia masih menghindari hal yang membahayakan nyawa kakaknya.
"Kenapa tidak kau gunakan kerismu itu hmm?" tanya Dewi Ayu tersenyum licik, tangannya masih dengan sigapnya mengajak Nara bertarung, adu tangan saling mengeluarkan teknik-teknik dan gerakan silatnya.
Tendangan, pukulan dan upaya untuk membanting, untungnya ketika Dewi Ayu berniat akan membanting Nara, lelaki itu sudah keduluan menghindar.
Dewi ayu berlari ke arahnya dengan kepalan tangan kanan yang diselubungi api merah, ia berniat meninju Nara. Meski Nara kembali dan kembali menghindar.
Meski begitu Nara bisa merasakan setiap pukulan tangan kakaknya terasa amat besar energinya, bahkan hingga menciptakan sebuah getaran di udara.
Tapi mirisnya saat mencoba menghindar, Dewi ayu menarik tangannya lalu pukul Nara secara cepat dengan kepalan tangan api merahnya. Seketika Nara langsung terpental dalam radius puluhan meter.
Nara terguling, setelahnya muncul sebuah darah berwarna hijau di ujung mulutnya. Tubuhnya serasa remuk, Nara sedikit rapuh ketika itu. Dewi ayu tersenyum licik, ia merasa puas dengan hasilnya.
Ia jalan langkah demi langkah mendekati Nara, ia dengan cepat tinju perut adiknya dengan kepalan tangan api merah. Seketika Nara langsung merasakan sakit yang begitu luar biasa bahkan ia sampai mengeluarkan cairan hijau banyak dari mulutnya.
Ditambah lagi pukulan itu seperti membentuk kubangan dibawah tubuh Nara ketika itu, saking karena pukulan itu terlalu besar energinya.
Nara terluka parah, bahkan sampai tidak bisa bergerak sekalipun.
Sejatinya Nara bisa melawannya, hanya saja ia terlalu menghormati sang kakak makanya ia terus memilih menghindar dibanding melakukan penyerangan.
Dewi ayu jalan langkah demi langkah mendekatinya dan jentikkan jarinya.
"Pulanglah ke rumah." ucapnya, secara tiba-tiba Nara langsung menghilang dari pandangannya, tak lama Dewi ayu pun menghilangkan dirinya dari sana.
Tak tahu jika seorang pria melihatnya dari atap balkon rumah sana, tidak lain pria itu adalah Sultan.
Baru saja ia menyaksikan tontonan yang cukup menghibur, dimana keberisikan itu sepenuhnya membuat malam harinya terasa begitu seru sekaligus mengganggu.
Ia tersenyum picik, lalu memutar kembali tubuhnya, masuk ke dalam kamar.
Esok paginya sekitar pukul 4.30, Putri membuka kedua matanya dan cari sekitar kamarnya. Aneh, biasanya Nara sudah menyambutnya ketika bangun, tapi ini tidak ada.
Kemana ya dia? Apa sedang mengumpat untuk nantinya datang mengejutkannya?
Putri pun segera bangun dan cari kemanapun, entah ruang tengah, dapur, kamar mandi, atap rumah.
Semuanya tidak ada, sampai Kirana heran saat melihatnya kebingungan mencari. "Nyari apaan sih? Bangke tikus?" tanyanya.
"Enggak!" ucap Putri langsung kabur balik ke kamar. Kirana terheran.
"Kenapa sih dia? Mentang-mentang direkturnya pindah ke depan rumah jadi semangat gitu pagi-pagi. Hais beruntung banget sih si Putri. Mana direkturnya ganteng lagi." keluh Kirana.
Putri masuk ke dalam kamarnya kembali, ia terduduk heran.
"Kemana sih dia? Biasanya udah muncul duluan. Apa mungkin dia lagi balik ke dunianya ya?" tanya Putri tampak lesu.
"Biasa banget sih pergi gak bilang-bilang. Pamit dulu gitu, main kabur aja. Udah tahu pacarnya ini takutan, ditambah sekarang setan-setan makin ngincer. Hufftt Naraaaaaa!" dumel Putri.
Sekitar pukul 7 pagi, Putri segera menyalakan motornya, akan tetapi anehnya si motor tidak kunjung menyala. Putri keheranan, mana Kirana sudah pergi duluan lagi.
Putri coba nyalakan berkali-kali starternya, tetap tidak hidup. Ia juga coba sela motor maticnya itu, tetap saja tidak ada perubahan. Tidak mau menyala.
Sultan baru keluar dari rumahnya, memarkirkan mobilnya di pinggir jalan depan rumahnya. Ia tak sengaja mendengar sayup-sayup suara Putri yang sibuk menyela motor akan tetapi tetap tidak menyala.
Sultan segera berteriak, menawarkan bantuan.
"Mau ikut saya gak? Lumayan loh dapat tumpangan gratis." ucap Sultan. Putri tersentak, ia segera melihat ke arah sumber suara. Sultan menawarkan tumpangan?!
"E-enggak Pak. Ini masih bisa nyala kok." ucap Putri, coba berkali-kali menyela motornya, akan tetapi tetap tidak bisa.
"Udahlah Put, ikut saya aja. Udah kesiangan juga, kamu mau disetrap di tiang bendera nanti?" tanya Sultan sedikit bercanda. Putri membalas.
"Emangnya saya anak SD Pak?" tanya Putri heran. Sultan tertawa.
"Udah ayo saya anter. Gratis loh." Sultan kian memojokkannya. Putri sedikit menimbang perkataannya, tapi dirinya khawatir kalau Nara tiba-tiba muncul dan akhirnya ngambek. Putri bingung, ia terus melihat ke arah jam tangannya, sudah pukul 7. Bagaimana ini.
"Ayo Put. Mau gak?" tanya Sultan.
"Y-yaudah deh Pak. Saya ikut." ucap Putri terpaksa, ia segera mengambil tasnya dan keluar dari pagar rumahnya menuju mobil pajero milik Sultan.
"Tapi dengan catatan, pas udah sampai depan jalanan kantor saya turun disana ya pak? Saya enggak mau jadi bahan gosip orang-orang. Nanti disangka apa-apa lagi." ucap Putri.
Sultan tersenyum.
"Disangka apa-apa juga enggak masalah." ucapnya, Putri tersentak. "Hah?!"
Sepanjang perjalanan menuju kantor Putri terus diajak mengobrol oleh Sultan.
"Kamu kenapa keliatan murung gitu? Ada yang dipikirin? Atau lagi mikirin pacarnya?" tebak Sultan.
"Enggak Pak, cuma lagi kepikiran teman hantu saya. Dia tiba-tiba enggak ada, padahal saya udah cari kemanapun." ucap Putri.
"Dia... Sangat penting ya di hidup kamu?" tanya Sultan. Putri tersenyum tipis lalu mengiyakannya.
"Saran saya kamu enggak usah menganggapnya sebegitu penting, karena pada dasarnya kamu dan dia beda dunia. Dia hantu... Yang kapanpun bisa pergi, mengkhianati atau bahkan menghilang." ucap Sultan.
"Dia enggak sejahat itu. Saya tahu luar dalam sifatnya seperti apa. Sekalipun kita beda dunia, tapi saya bisa mengetahui secara keseluruhan wataknya seperti apa. Dia bukan seseorang yang meninggalkan temannya begitu aja, tanpa alasan apapun." tegas Putri.
Sultan terkekeh. "Sori, sori... Saya enggak bermaksud membuat kamu marah. Saya cuma menyarankan aja kok, dan yang sepenuhnya tahu banyak hal tentang dia ya memang kamu. Jadi perkataan saya barusan memang rentan salah." ucap Sultan.
Putri hanya terdiam, mencoba untuk memaklumi meski didalam hati masih agak kesal.
"Tapi teman hantu kamu itu hebat juga ya, bisa mengusir hantu kayak kemarin. Kalau enggak ada dia mungkin saya enggak bisa tidur semaleman, bahkan kemungkinan parahnya saya bisa nginep di kantor. Ini semua berkat dia." ucap Sultan tersenyum. Putri ikut tersenyum tipis.
"Saya penasaran, apa sebenarnya yang dilakukan teman hantumu hingga membuat hantu jahat itu terusir. Apakah dia memiliki semacam benda pusaka?" tanya Sultan.
Putri tersentak, ia menoleh cepat ke arah Sultan. "Kenapa perkataannya seakan dirinya tahu kalau Nara memiliki keris itu?" batin Putri heran.
"Kenapa liatin begitu hehe? Saya cuma berasumsi. Barangkali kan dia punya kekuatan ghaib seperti gimana gitu... Atau semacam bunda pusaka mungkin." ucap Sultan.
Putri mencoba untuk memaklumi ini, dan menganggap perkataannya hal yang lumrah dikatakan. Semoga saja hanya perasaan.