"Kayaknya bisa, ada dua kemungkinan. Pertama orang yang ditujunya sangat sakti dan yang kedua orang itu sudah melanggar kontraknya dengan jin yang sudah mereka buat perjanjian." ucap Nara. Putri mencoba memahami perkataannya.
"Oh gitu. Jadi ada kemungkinan yang dia katakan itu benar?" tanya Putri. "Iya sepertinya." ucap Nara.
Mereka pun sampai didepan rumah Reza. Rumah yang sederhana dan kecil, yang sepertinya hanya cukup untuk ditinggali dua orang saja.
Putri coba mengetuk pintu yang tertutup itu berulang kali, masih tidak ada jawaban. Putri kembali mengetuknya.
Tiba-tiba seorang wanita memekik dari dalam.
"Iya tunggu." ucapnya terdengar rusuh untuk segera membuka pintunya. Pintu segera dibuka dan keluarlah seorang wanita sekitar usia 30an menyambut Putri, Eliza.
Putri tersenyum. Eliza terdiam sejenak. Ia merasa familiar, entah kenapa seperti mengenal siapa perempuan dihadapannya ini.
Ia diam-diam coba mengingatnya, sepintas ia teringat dengan kejadian belasan hari lalu, dimana seorang perempuan tertabrak mobil. Dia benar-benar terlihat seperti...
"Kamu, bukannya... Perempuan yang ketabrak waktu itu?!" tanya Eliza menunjuk, dalam keadaan tidak percaya.
Putri tersenyum. Sepertinya tidak perlu basa-basi memperkenalkan diri karena orang yang ditujunya ini sudah tahu siapa dirinya sebenarnya.
Eliza pun menoleh ke kanan dan kirinya, memastikan tidak ada yang melihat mereka ketika itu.
Kemudian ia menyuruh Putri untuk segera masuk ke dalam rumahnya lalu menutup pintunya.
Memperkenankan Putri untuk duduk di atas sofa butut miliknya.
Sepanjang itu Eliza terus melihat ke arah Putri dengan tatapan heran dan bingung. Ia bertanya-tanya tentang kehadiran Putri saat itu.
Putri yang merasa terus ditatap pun segera menjelaskan.
"Jadi kedatangan saya kesini adalah untuk membahas tentang almarhun anak ibu. Reza." ucap Putri. Kedua mata Eliza melebar sesaat.
"Maksudnya gimana ya?" tanya Eliza curiga, ia mulai tidak merasa nyaman dengan yang diobrolkan saat itu.
Putri terdiam mencoba untuk merangkai kata didalam kepalanya. Ia mulai berkata.
"Sebenarnya almarhum anak ibu, Reza. Dia bilang ke saya kalau ada yang ingin dia sampaikan ke ibu. Dan saat ini dia... Ada disamping ibu, sedang duduk." ucap Putri.
Kedua mata Eliza sesaat melebar. Ia sungguh tidak percaya hingga pemikirannya menjurus ke persangkaan buruk. Ia tertawa kecut.
"Apa ini. Kamu niat mempermainkan saya hah?!" tandas Eliza kesal. Putri tersentak. Ia mencoba menjelaskan.
"Enggak, Bu. Maksud saya enggak gitu. Apa yang saya omongin emang beneran, almarhum anak ibu Reza ada disamping ibu sekarang." ucap Putri kekeh. Eliza semakin bertambah kesal.
"Kamu pikir saya sebodoh itu apa?! Kamu pikir saya akan nurut aja dan merasa senang dikatakan seperti itu?! Disuruh siapa kamu melakukan hal seperti ini? Tetangga sini?! Atau orang tua temannya Reza?!" tandas Eliza.
Putri merasa situasi semakin pelik dan panas, ia benar-benar tidak tahu ingin menjawab apa, bahkan sekalipun ia membalas pun pasti wanita ini akan sangat insist dengan perkataannya.
Putri pun alhasil lantas diam saja ketika itu, karena bingung mau menjawab apa.
"Sekarang kamu pergi dari sini... PERGI! ATAU SAYA TELEPON POLISI SEKARANG! PERGI! PERGI! PERGIIII!!" tandas Eliza memekik kencang, mencoba mengusir dan mendorong-dorong tubuh Putri. Memaksanya untuk keluar dari rumah tersebut.
"Tapi, Bu. Saya beneran mau menyampaikan pesan dari anak ibu. Saya enggak bohong, Bu." ucap Putri. Eliza terus memaksanya keluar dari pintu.
"Gak usah banyak alesan! Orang mencurigakan seperti kamu itu banyak di dunia ini! Orang suruhan yang mata duitan, kerjaannya suka bikin kegaduhan terus disebar-sebar. Dibayar berapa kamu hah?! Sepuluh juta? Dua puluh juta?!" tandas Eliza kesal.
Putri hanya diam saja, ia bahkan tidak sempat memberikan pembelaan dan keburu pintu itu ditutup dengan cepat.
Putri dan Reza pun saling melihat dan menghela nafas panjang. Sepertinya bukan sekarang waktu yang tepat untuk mereka menjelaskan semuanya. Bukan saat ini.
Sekembalinya Putri ke rumah sakit, dirinya dikejutkan dengan kehadiran ibunya di ruang rawat.
Tampaknya sang ibu sangat khawatir dan sedang kebingungan mencari-cari dirinya. Itu terbukti dari sang ibu yang ketika menyadari kehadirannya langsung berjalan cepat ke arahnya dengan wajah cemas.
"Ya Allah Nak, kamu habis dari mana?! Kamu enggak tahu ibu nyariin kamu sampe keliling rumah sakit ini?!" tandas Ratih. Putri terdiam menunduk, merasa bersalah.
"Maaf Bu." ucapnya.
"Ibu kira kamu ngilang diculik jin tahu gak. Bikin ibu kaget aja." ucap Ratih. Putri masih tetap terdiam.
"Kamu beneran udah sehat, Put? Kapan kamu sadar? Apa udah lama?" tanya Ratih.
"Iya Bu, tadi pagi sekitar jam 6." ucap Putri.
"Ya Allah lama banget, sekarang aja udah jam 9. Kamu habis dari mana sih, Nak? Kamu juga belum makan kan?" tanya Ratih.
Putri menggeleng terbata. Ratih menghela nafas.
"Yaudah sekarang kamu makan ya? Ibu mau bilang suster dulu." ucap Ratih seraya pergi dari sana. Meninggalkan Putri bersama Nara maupun Reza.
Putri duduk bersebelahan dengan Nara, diatas kasur. Nara tampak tidak enak ketika itu, ia pun langsung berkata.
"Seharusnya tadi kamu tidak pergi kesana bahkan hasilnya juga percuma." ucap Nara.
"Udah enggak apa-apa. Minimal dari sini kita bisa hapal jalan kesana, enggak perlu nyari-nyari lagi." ucap Putri.
Diluar sana tak sengaja Rita melewati ruang rawat Putri dan terkejut saat melihat disana ada Nara sedang berbincang dengan seorang wanita.
Ia merasa sedikit heran kenapa manusia sepertinya bisa melihat sebangsa seperti mereka?
Apakah mungkin wanita itu... Sangat spesial hingga bisa memiliki kemampuan untuk melihat dan berkomunikasi dengan mereka?!
Sungguh fakta yang menarik.
RIta pun memutuskan untuk menguntit apa yang mereka bicarakan. Ia berjalan menyelinap dan berdiri dibalik tembok ruang rawat Putri kemudian ia menguping dari sana.
Sayup-sayup ia mendengar suara Putri dan Nara yang sedang berbincang.
"Tapi bagaimana kalau ibunya masih tetap tidak terima dengan kenyataan kalau Reza masih ada di dunia ini? Bagaimana kalau dia mencaci kamu lagi?" tanya Nara.
"Enggak apa-apa Nara. Lagian tadi caraku salah, harusnya enggak kayak gitu ngomongnya." ucap Putri.
Nara mengernyit heran. "Maksud kamu?" tanyanya.
"Harusnya aku ngomongnya dibarengi juga sama fakta-fakta yang hanya diketahui antara Reza dan ibunya aja. Kayak hal apa gitu yang membuat ibunya jadi yakin dengan kehadiran Reza yang masih ada disekitarnya." ucap Putri.
Nara terdiam, entahlah. Tapi memang yang dikatakannya tidak salah. Meski begitu ia masih tetap khawatir dengan Putri.
Tiba-tiba Ratih datang dengan membawa seorang suster yang ketika itu membawa troli makanan dan juga seorang dokter.
Dokter itu periksa keadaan mata dan denyut nadi dan jantung Putri dengan alat stetoskopnya. Lalu berikan beberapa saran untuk Putri termasuk tentang diperbolehkannya Putri untuk bisa pulang antara hari ini atau besok, hingga akhirnya kembali sang dokter pun pergi.
Ratih segera mengambil makanan diatas troli lalu berikan pada Putri.
"Ini, makan dulu. Keburu sakit kamu perutnya." suruh Ratih. Putri mengiyakannya.
"Put.." ucap Ratih menggantung perkataannya.
Putri merasa heran dengan sikap ibunya yang terlihat setengah bingung, seakan ingin mengucapkan hal penting padanya tapi ditahan.
"Sebenarnya Put. Ibu sama Bapak kamu niat menjodohkan kamu sama Panji." ucap Ratih yang langsung membuat Putri tersedak hingga batuk-batuk.
Ia meneguk air putihnya segera.
Nara terdiam melihat keterkejutan Putri.
"Ibu barusan ngomong apaan? Putri dijodohin sama Panji?!" tanya Putri.
"Iya, Nak. Kamu mau ya?" bujuk Ratih.