"Iya si Doni yang bilang waktu itu, waktu pas ibu enggak ada. Mereka kan mampir dulu kesini pas habis muncak." ucap Rudi.
"Kalo gitu enggak usah nunggu persetujuan Putri lagi dong, Pak?! Kita kawinin aja Panji sama Putri Pak!" ucap Ratih antusias.
Rudi langsung tertawa setelah mendengar perkataan konyol sang istri.
"Hadeh, kamu kebanyakan nonton film cinta-cintaan kali ya?" Rudi seraya tertawa kecil. "Kok ketawa sih Pak? Ini serius loh! Putri aja suka sama Panji, dan Panji tadi bilang mau nikahin Putri. Yaudah tinggal dinikahin! Beres kan?" tanya Ratih masih belum turun rasa antusiasnya.
Rudi menggeleng, ia yang merasa pegal duduk dikursi yang ada disana, menaruh tasnya.
"Kamu barusan ngomong apa sih? Panji mau nikahin Putri? Apa Bapak enggak salah dengar?" tanya Rudi.
Diluar pintu, Nara terdiam mematung. Ternyata mereka masih membahas perkara itu. Ia merasa tidak nyaman dengan ini.
"Bapak enggak salah dengar, memang benar tadi Panji menawarkan diri untuk menikahi Putri. Dia katanya pengen mencegah Putri dari gangguan jin dan makhluk halus penunggu gunung itu." ucap Ratih. Rudi tersentak.
"Kenapa kamu tiba-tiba membahas jin penunggu di gunung itu? Apa jangan-jangan semua yang terjadi sama Putri belakangan ada hubungannya sama dia?!" tanya Rudi cemas.
"I-iya Pak. Kemungkinan ada hubungannya."
Rudi merasa sedikit kesal, ia mengusap wajahnya.
"Pasti ada pemicunya, ya kan? Pasti kemarin Putri muncak ke gunung gede kan?!" tanya Rudi.
Ratih terdiam menunduk.
Mengartikan kalau dirinya mengiyakan perkataannya. Rudi kembali mengusap wajahnya.
"Astagfirulloh. Kenapa kamu enggak ngelarang dia?!" tanya Rudi.
"Ya aku enggak tahu, aku kira dia cuma pergi ke gunung-gunung daerah jawa aja kayak biasanya. Dan sebelumnya juga aku udah bilang dan kasih pesan ke Putri supaya enggak pergi ke gunung daerah Jawa Barat. Kukira dia bakal nurut aja perkataanku, ternyata dia malah kesana." jelas Ratih.
"Terus gimana sekarang? Dia akan terus diikuti sama jin itu pasti. Bahkan disini... Dia pasti ada disini sekarang, mendengar ucapan kita!" tandas Rudi. Ratih semakin bingung.
Berbeda halnya dengan Nara yang terlihat sedih, ia segera beranjak pergi dari sana. Jalan, langkah demi langkah menjauhi ruang rawat Putri.
Dibelakangnya Reza terus mengikutinya. "Om, tunggu dong. Ngambek ya barusan diomongin begitu?" tanya Reza mencoba mengimbangi jalan Nara yang cukup cepat.
Meskipun Nara tidak sama sekali menghiraukannya. Ia terus saja berjalan, melewati banyak ruangan, jejeran kursi, suster disekitar dan menuruni banyak tangga.
Ia segera keluar dari rumah sakit dan duduk di kursi taman depan rumah sakit. Sendirian.
Lalu kemudian Reza datang mendekat. Duduk disebelahnya. Ia tampak tidak nyaman dengan situasi membosankan itu. Nara tidak hentinya melihat ke depannya. Melamun.
"Om, lagi galau ya? Udahan dong galaunya. Mikirin kak Putri ya, ayo ngaku aja Om. Om suka kan sama Kak Putri?" tanya Reza.
Nara tetap menghiraukannya, lebih memilih melihat ke arah depannya dengan pandangan datar dan tidak berseleranya.
"Om, ngomong dong. Bosen nih." ucap Reza kembali. Nara tetap menghiraukannya.
Kemudian kedua matanya teralihkan segera ke arah depan sana, disebabkan oleh tawa bising seorang wanita yang begitu puas mengerjai beberapa perawat yang melintas dijalanan.
Hal iseng yang ia lakukan adalah menendang tempat sampah hingga siapapun yang melewatinya dikageti dengan jatuhnya tempat sampah itu.
Mereka ngibrit ketakutan karena takut kalau itu adalah hantu. Dan memang benar, ternyata itu perbuatan iseng hantu perempuan tersebut. Nara menghela nafas.
Reza kembali mengajaknya berbicara tanpa tahu situasi dan keberadaan hantu perempuan tadi.
"Om, anterin aku ke tempat ibuku---" Belum selesai menyudahi perkataannya.
Reza langsung tersentak saat melihat Nara sudah tidak ada disebelahnya. Melainkan ada di ujung sana dengan sangat cepat. Berjalan menuju hantu perempuan itu.
"Ettdah... Tahu-tahu kesana. Nyamperin cewek lagi." keluh Reza.
Rita, hantu perempuan itu sangat kaget ketika melihat Nara tiba-tiba ada didepannya. Nara terus memandangnya dengan wajah datar dan juga dengan tidak mengeluarkan suara apapun.
Rita pun risih karena terus diperlakukan seperti itu, ia berniat pergi meninggalkannya. Nara langsung bersuara.
"Mengganggu orang lain itu berdosa. Kamu yang diberi kesempatan penundaannya oleh Sang Pencipta untuk kebaikan malah menyalahgunakan kebaikan itu. Apa perlu saya mempercepat waktu penundaannya?" tanya Nara.
Rita tentu sangat geram dengan perkataannya tersebut. Ia segera bertandas.
"BUKAN URUSAN LO YA! GUE HIDUP DAN MATI JUGA BUKAN DITANGAN LO!" tandas Rita
"Cuma sekedar mengingatkan. Kalau kamu tidak merasa ya tidak masalah, tapi kalau kamu sampai marah-marah seperti itu, bukankah itu artinya kamu merasa telah melakukannya?" Nara balik tanya. Rita semakin geram karenanya.
"Lo kenapa sih ikut campur banget urusan orang?! Ngajakin ribut lo?!" tandas Rita.
Nara menghela nafas.
"Udahlah. Jadi lama urusannya." ucap Nara seraya pergi dari sana. Rita yang masih dendam dengannya langsung mengayunkan tangannya dan sebuah energi merah meluncur hingga membuat kaki Nara tersandung.
Nara terjatuh seketika. Ia bangkit dan memandang kesal ke arah Rita. Ia ayunkan tangannya menuju Rita hingga sebuah energi biru membuat tempat sampah didepan Rita langsung terangkat dan terbalik menutup kepala Rita.
Rita marah-marah, Reza yang melihatnya pun tertawa geli di ujung sana.
"Hahaha, kasihan banget. Makanya jangan iseng jadi orang! Rasain lo! Emang enak!" pekik Reza. Rita segera membuang tong sampah itu dengan kesal dan mengutuk Nara berkali-kali.
"DASAR JIN GILA! TUKANG IKUT CAMPUR! NGAJAKIN PERANG LO!" tandas Rita. Nara tak memperdulikan, segera pergi meninggalkannya. Reza mengikutinya.
Reza terus tertawa sepanjang mengikuti Nara.
"Kak, tadi beneran kocak banget. Kenapa enggak dikerjain lagi tuh orang, biar dia enggak sok kak." ucap Reza. Nara tak memperdulikan, ia terus pergi. Kembali menuju ruang rawat Putri.
Sesampainya di ruang rawat Putri, Nara berjalan mendekatinya, hingga sampailah ia berdiri disebelah kirinya.
Ia duduk di sisi kiri kasur Putri, ia tampak memandanginya. Kemudian tersenyum.
"Sepertinya kamu masih betah untuk berlama-lama di kasur ini. Kamu tahu? Saya merasa sedikit kesepian disini.
Saya tidak berniat untuk mempercepat masa sadarnya kamu. Saya hanya berharap kamu sadar karena keinginanmu sendiri." ucap Nara seraya membelai lembut poni rambut Putri.
Ia terus tersenyum memandangi Putri lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Putri.
"Tidurlah yang nyaman, calon permaisuriku. Sekalipun banyak orang menentang hubungan kita, aku akan selalu membuatmu melihatku." bisik Nara.
Kedua mata Putri terbuka lebar dan ia segera terbangun melihat sekeliling ruang rawatnya yang begitu rapih dan bersih.
Ternyata sudah 7 hari dirinya koma dan kini ia sadar dengan sendirinya. Ia bahkan ingat dengan jelas kalau dirinya waktu itu hendak menolong seorang anak lelaki lalu pada akhirnya ditabrak.
Sebenarnya Putri penasaran apakah anak lelaki yang ditolongnya itu selamat ataukah tidak. Ia tidak keburu tahu.
Ia hanya ingat kalau... Samar-samar lelaki itu.
Nara... Merangkulnya dengan wajah sedihnya. Memanggil-manggil namanya disaat dirinya mulai terpejam. Dasar... Lelaki itu...
Padahal... Putri masih belum terlalu mengenalnya... Tapi kenapa... Dia sampai berekspresi seperti itu... Sesedih itu?
Putri sepanjang mengingatnya hanya tersenyum. Rasanya... Ia benar-benar memiliki seseorang yang memperdulikannya...
Begitukah rasanya memiliki orang yang mencintaimu?
Tapi, ngomong-ngomong kemana perginya Nara? Selama itukah ia tidak sadarkan diri, sampai Nara kebosanan untuk menunggunya?
Putri menghela nafas, ia merasa bosan.
"Kamu kangen dengan saya?" tanya seoramg pria tampan yang tiba-tiba muncul didepan Putri, duduk disebelahnya dengan wajah tersenyum.