Chereads / UnReach / Chapter 9 - 9. Si penyihir

Chapter 9 - 9. Si penyihir

___________________________________

to: Maria

from: Michael

Aku baru ingat, yang ingin aku tunjukan ada di dalam tas itu! pantas saja aku tak menemukannya di kantung celanaku haha.

kau sudah membuka tas kecil itu?

pukul berapa kau pulang sekolah? mau aku jemput?

-------------------------------

Ah.. kalau saja dia tak tampan. sekelibat makian pada Michael lewat di otakku begitu saja, saat aku akhirnya membuka pesan singkatnya yang ia kirim sejak tengah malam buta.

Aku belum menjawab pesannya, pandanganku beralih pada tas kecilnya yang tergeletak di atas meja belajarku. Rasa penasaranku tak bisa aku kalahkan, akhirnya aku membukanya dan melihat sebuah kulit kerang besar yang tertutup..

Apa ini? Kulit kerang itu benar-benar terbuat dari kulit kerang putih, tapi saat aku melihatnya lebih dekat, ternyata benda itu sudah dimodifikasi di beberapa bagian. Bagian pucuknya diberi sebuah engsel agar bisa di buka tutup. Aku membukanya, dan di dalamnya ada sebuah cincin dengan mutiara putih diatasnya.

Sebuah cincin dan ia ingin aku melihatnya, Ah?! dia mau melamarku?!

Jantungku mau meledak!! Ya Tuhaaaan!!!

Aku melompat ke atas ranjangku yang empuk dan membal, aku tak peduli meski aku sudah memakai seragamku yang kini menjadi kusut dan kembali berantakan.

Jika terbang punya artian yang lain, maka aku saat ini sedang terbang melayang-layang. Tapi tunggu! mana mungkin kan?! Michael melamarku? kami baru saja bertemu selama 3 hari, itu pun tak ada hal yang benar-benar bisa kami katakan istimewa. Yah.. kecuali hampir berciuman dan pelukan di dalam bar itu.

Lagi pula aku tak tahu banyak tentangnya, apakah dia punya kekasih atau tidak. Bukan! bukan! yang harusnya aku pikirkan saat ini adalah, aku masih sekolah! aku harus lulus dengan nilai sempurna agar tak mengecewakan orangtuaku.

Menikah bukanlah tujuan hidupku saat ini.

***

Dalam perjalanan menuju ke dalam gedung sekolah, aku sibuk dengan ponselku, berbalas pesan dengan Michael.

Aku memuji benda itu. Ya, benda yang aku temukan di tas kecil itu. Mati-matian aku menahan senyuman di bibirku ketika berpikir bahwa cincin itu untukku. Tentu saja aku tak akan menunjukan betapa tertariknya aku dengan cincin itu pada Michael. Aku memberitahukannya jam pulang serta alamat sekolahku.

Agak jauh dari tempatnya bekerja, tapi ia berjanji untuk menjemputku, meski aku sudah menolaknya berkali-kali. Pada akhirnya aku memang tak bisa mengalah pada pria keras kepala, semacam Michael, Tobias, pamanku apalagi ayahku.

Kenapa aku dikelilingi pria keras kepala? padahal aku adalah gadis yang penurut. .

Meski akhirnya aku mengalah, tapi aku meminta Michael untuk menjemput agak jauh dari lingkungan sekolah, aku tak mau jika nanti teman-temanku apalagi Tobias melihat kami. Mereka akan menggosipkan aku yang tidak-tidak. Dan jika ibuku mendengar hal itu, mungkin saja aku akan diawasi 24 jam oleh pamanku.

Jujur saja, aku lebih takut dengan pamanku dibandingkan dengan ayah. Aku bisa saja dicekoki asam karbonat atau bahkan kalium pada minumanku saat ia sedang marah. Seperti yang Tobias bilang, dia adalah penyihir laki-laki yang mengerikan.

"MAAARIIIIEEE!!" Tobias meneriaki namaku meski jarak kami hanya dua meter. Dia memang punya banyak energi yang harus disalurkan. Berteriak contohnya. Kalau tidak, bisa jadi dia akan stres dan mencakar-cakar tembok sekolah.

"Berisik Tobi!" aku menarik telinga Tobias saat ia sudah berjalan bersisian denganku.

"Ah.. ini dia, suntikan semangatku!" dia mengusap-usap telinganya yang memerah setelah aku jewer tadi.

Dasar masokis!

"Bagaimana persiapan presentasimu? bukankah pamanmu akan menyulitkanmu nanti? apalagi aku!!" Tobias terlihat putus asa. Benar, jam pelajaran pertama adalah presentasi di kelas kimia, dan pengajarnya adalah pamanku.

Rhon Reeves.

Namanya yang terdengar sangat Playboy, terpampang dengan jelas di depan lab kimia. Sejujurnya, kami bisa saja memilih kelas lain. sayangnya ada yang telah menyabotase jadwalku dan seenaknya mengirimkannya pada guru pembimbingku.

Aku bisa menebaknya jika pelakunya adalah pamanku itu.

.

.

.

Seperti yang Tobias takutkan, presentasi kami dipersulit dengan berbagai pertanyaan super yang belum kami pelajari dari penyihir berkedok guru dan pamanku.

Aku masih bisa bersikap tenang, tapi Tobias.. dia sudah meleleh sekarang, di depanku dengan senampan penuh makanan diatas mejanya.

"Ayolah Tobi, kita sudah di kantin sekarang. saatnya mengisi kembali energi untuk otak kita." Aku menepuk-nepuk kepalanya yang berada di atas meja.

"Jika orangtuaku melihat nilaiku, maka matilah aku." gumaman darinya terdengar seperti suara kucing yang sedang berkelahi bagiku.

"Kau bisa perbaiki akumulasi nilaimu, jika ujian tertulis nanti nilaimu tinggi. Tenang saja ya!" masih menepuk-nepuk kepalanya, mencoba menghibur si pemurung ini.

Ia segera bangkit dan menatapku, "Aku akan buktikan kalau aku pintar sepertimu!" ia berikrar lalu melahap makan siangnya dengan cepat.

"Semangat yang luar biasa.." sudah terlalu terbiasa dengan kelakuan Tobias. Karena aku hanya punya Tobias sebagai teman bicaraku di sekolah. Tapi Tobias, sebenarnya dia punya banyak teman yang lain. Banyak juga gadis yang terlihat tertarik padanya.

Dia punya wajah yang khas, pipinya tegas dengan garis dagu yang runcing, hidung yang mancung, mata biru langit yang mempesona dengan alis yang teduh dan bulu mata yang lentik. Belum lagi ia dikaruniai tubuh yang tinggi dan tegap. begitu gagah.

Dia sudah terlihat seperti seorang kesatria dalam lukisan-lukisan lama.

Semakin dewasa ia semakin terlihat menawan, dan yang aku takutkan ada saja gadis-gadis yang tak suka aku dekat dengan Tobias.

seperti Stefani contohnya.

"Tobias! kau ingin tambahan keju? aku tak suka keju di dalam menu makan siang hari ini." Seorang gadis cantik dengan rambut hitam ikal tiba-tiba duduk di sisi tobias. Dialah Stefani.

Aku menebak jika dia menyukai Tobias. Dan aku gak perduli soal itu, asalkan dia tak mengusikku. Sayangnya lirikan darinya padaku tampak sangat mengintimidasi, seakan memberi peringatan untuk segera menjauh.

Aku tak menggubrisnya, fokus dengan makananku. Menghabiskannya lalu segera meninggalkan mereka berdua.

"Akh! Maria, kau sudah selesai?!" Tobias terkejut melihatku sudah beranjak pergi meninggalkannya.

"Aku harus menemui Rhon di ruangannya." tanpa menoleh dan tanpa peduli lagi dengan tanggapan Stefani tentangku.

Jika setakut itu dia padaku, apakah itu artinya aku terlihat punya kesempatan untuk merebut Tobias? Bukankah seharusnya yang ia takutkan adalah perasaan Tobias, pemuda itu mungkin tak terlalu tertarik dengan percintaan.

Aku fikir begitu.

.

.

.

Memasuki ruang pamanku yang benar-benar tak membuatku nyaman. Aroma antiseptik menguar di sana di sini. Hampir semua benda di sini berwarna putih dan silver, membuatku mengingat ingat tentang ruangan putih yang biasa dipakai untuk menyiksa psikis dan emosi tahanan tingkat tinggi.

"Jadi kenapa Maria?" Rhon meletakkan jas labnya lalu duduk di sisiku.

"Aku ingin memilih kelas lain. Bisakah?" Wajahku sudah terlihat memelas, aku pikir hal itu bisa melunakkan hatinya.

Dia tersenyum "tidak."

Dasar penyihir!

"Ah.. ya sudahlah, oiya paman. Sepertinya ada yang tidak beres dengan kran kamar mandi di rumah. Bisakah paman membantuku malam nanti?" aku memainkan tabung reaksi, namun seketika pamanku meraihnya dariku.

"Ah.. sayangnya aku ada kencan malam ini," pamanku memang tak bisa diandalkan! "Besok, aku akan membantumu memperbaikinya. Aku janji!"

"Iya iyaa.." aku tak yakin dengan janji pamanku. Karena dia suka sekali mengingkari janji, kecuali janji kencan dengan wanita.

***