"Apa ada gunanya kita bertarung?" kataku berlagak angkuh.
"Pertama, untuk menyadarkanmu bahwa di sini, kematian itu nyata. Kedua, untuk menyadarkanmu bahwa dirimu itu lemah."
Aku masih tak mengerti pola pikirnya. Bagaimana bisa dia memenangkan pertarungan satu lawan satu denganku? Selain memiliki status yang jauh lebih rendah, kelas miliknya juga masih berupa «Basic Class». Sepengetahuanku, spell dari «Basic Class» dibandingkan dengan «Advanced Class» sangat jauh berbeda.
Meskipun begitu, aku tetap mengikutinya keluar dari perpustakaan. Kami menuju hutan kecil tak jauh dari tengah kota, tempat itu bernama [Diviner's Forest]. Julukan itu diberikan karena dahulu kala, Saint Arthus -salah satu leluhur pimpinan kuil- mendapat perintah dari Goddess of Order di hutan ini.
Hembusan angin sesekali menerpa permukaan kulitku. Semerbak aroma beberapa tanaman yang begitu asing membuat perasaanku tidak enak. Terlebih, pepohonan di sini tak pernah kulihat sebelumnya. Entah kenapa, atmosfer hutan ini membuat bulu kudukku berdiri.
Gadis bernama Ellen itu sekarang mengambil jarak sekitar 15 meter di hadapanku. Jarak itu ideal untuk pertempuran jarak menengah, terlebih karena dia sepertinya seorang pengguna sihir. Jujur, aku masih penasaran apa yang membuatnay se-percaya diri itu terlepas dari «Status» nya yang rendah.
Aku yakin betul bahwa «Status Board» miliknya itu sama sekali tak dimanipulasi, karena [Monocle of Great Apostle] milikku memiliki efek anti-ilusi. Artinya, status miliknya itu benar-benar asli.
"Sebelum mulai, aku sudah mengirim [Full Potion] dan [Holy Seed of Rebirth] ke «Inventory Box» mu, gunakan itu lebih dulu. Itu adalah prasyarat duel ini."
"Baik, terima kasih. Omong-omong, «Item» kedua itu apa? Aku baru dengar."
"Ini adalah versi lebih bagus dari [Holy Seed of Reposition]," katanya. "Jika [Holy Seed of Reposition] dapat menjangkarkan eksistensimu pada suatu tempat, maka [Holy Seed of Rebirth] ini dapat menjangkarkan eksistensimu ke dunia mimpi ini. Gampangnya, kau akan bisa kembali lagi ke dunia mimpi meskipun kau mati di sini."
[Holy Seed of Reposition] itu memang «Item» yang wajib dimiliki. Seperti kata Ellen, itu berguna untuk menjangkarkan eksistensi ke satu buah tempat. Analoginya, «Item» itu seperti menaruh «Checkpoint» atau «Save point» agar kita bisa melanjutkan mimpi keesokan harinya di tempat yang sama.
Tanpa «item» tersebut, saat kembali lagi ke dunia mimpi, tempat munculku akan dapat berpindah-pindah secara acak. Itu sangat menjengkelkan.
"Jika kau kalah, datanglah ke kantin utara usai sekolah dan siapkan dirimu menjadi pengawalku di dunia mimpi ini hingga «Grand Quest» selesai," Ellen mengatakan itu semua dengan tatapan dingin yang serius.
"Baiklah. Sesuai permintaanmu, Tuan Putri," kataku sambil bercanda. "Aku tak terlalu ingin sesuatu. Yang penting, jika aku menang, tarik kembali seluruh kata-katamu tadi."
"Oke. Jika demikian, kuberikan sebuah keringanan," katanya seraya tersenyum kecut. "Kuberikan serangan pertama untukmu. Seranglah aku!"
Apa dia bodoh? Untuk apa dia repot-repot mengambil jarak 15 meter jika dia memberikanku sebuah serangan Cuma-Cuma? Yah, aku tak peduli, sih.
Aku yakin Ellen itu seorang «Mage» yang berarti bahwa dia termasuk «Basic Combat Class». Anehnya, meskipun dia telah mencapai level 24, dia belum beralih menjadi «Advanced Combat Class».
Tak ingin berpikir terlalu dalam, aku menggunakan 300 MP ku untuk memanggil familiar terkuatku, [Ironclad Horse]. [Ironclad Horse] sendiri adalah «Familiar» terkuatku yang memiliki status DEF sangat tinggi dengan batasan berupa mobilitas yang sangat rendah.
«Rider» yang merupakan «Basic Combat Class» ku memiliki «Spell» khusus untuk memanggil «Familiar» di manapun dan kapanpun. Sementara «Battle Rider» yang merupakan «Advanced Combat Class» ku memiliki kemampuan pasif untuk menetralkan segala «Debuff» pada aspek mobilitas.
Intinya, pengurangan mobilitas yang merupakan batasan [Ironclad Horse] dapat dinetralkan oleh «Combat Class» milikku. Ini adalah kombinasi yang sempurna!
Pemanggilan familiar di dunia mimpi ini dapat dilakukan secara instan tanpa ritual maupun rapalan sihir. Kujentikkan jariku, sebuah kilatan cahaya turun dari langit dan menerpa tanah dekat kaki kiriku. Seekor kuda dengan baju lapis baja yang menyelubunginya pun terpanggil saat itu juga.
Aku menunggangi [Ironclad Horse] dan memacunya dengan cepat, menutup jarakku dengan Ellen seketika.
Aku yakin bahwa senjataku, [Great White Halbert] dapat mengalahkan Ellen dalam sekali serang meskipun tidak mengenai titik lemahnya. Senjata ini merupakan «Item Drop» langka yang kudapat dari «Boss Dungeon» di Great Chasm, sebuah area berlevel tinggi tak jauh dari sini.
"Menarik," kata Ellen. Aku sedikit bergidik karena tiba-tiba suara Ellen terdengar dari dalam kepalaku, padahal jaraknya denganku masih sekitar 5 meter jauhnya.
"..."
"Battle Rider, sebuah kelas yang dapat memanggil familiar dan menggunakannya tanpa batasan mobilitas apapun. Sangat kompatibel dengan [Ironclad Horse] milikmu yang memiliki status sangat tinggi dengan batasan mobilitas. Kemudian... Kau tahu, [Great White Halberd] milikmu itu memiliki efek tersembunyi yang bisa meningkatkan damage pada lawan tanpa armor. Tak diragukan lagi, aku dapat mati dalam sekali serang."
Dia ini... Tidak membaca pikiranku, bukan?
Jarak 5 meter yang masih memisahkan kami ini terasa sangat lama kutempuh. Bukannya apa, aku seperti larut dalam pikiran. Hati kecilku merasa khawatir dan penasaran, bagaimana Ellen bisa mengetahui segala sesuatu yang kumiliki?
Aku tahu betul bahwa larut dalam pikiran di tengah pertempuran sama saja dengan bunuh diri. Detik berikutnya, aku menggenapkan tekad dan mulai mengayunkan [Great White Halberd] pada Ellen. Aku mengincar lehernya, yang notabene adalah titik lemah manusia. Ya, aku memutuskan untuk tidak meremehkannya
Namun, senjataku seakan terhenti tepat 30 cm dari lehernya, seakan terdapat perisai tak kasat mata yang menghentikanku.
"Sampai jumpa di kantin," kata Ellen.
Sebuah sinar hitam memancar dari tubuhnya, membuatku terbutakan untuk beberapa waktu.
Gelap.
Kegelapan.
Pandanganku dipenuhi kegelapan.
Aku... Gemetar ketakutan...
Di depanku, di sampingku, di bawahku, di atasku... Seluruhnya adalah kegelapan. Aku seperti sedang terbungkus oleh kegelapan yang tak bisa kusentuh. Aku tak bisa merasakan apa-apa.
Keringat dingin mulai keluar dari dahiku sebelum akhirnya sebuah panel notifikasi terpampang di depanku.
.
.
[Your HP reaches 0]
[Now, you affected by «Death» status]
.
.
"A-apa yang terjadi? A-aku mati? Tapi..."
.
.
[Erasing all memories in 30 seconds]
[Returning to the World in 60 seconds]
[Permanently deny access in 90 seconds]
.
.
"Hah? Tidak! Tunggu, tunggu!"
.
.
[Effect calcelation : Start]
[Holy Seed of Rebirth successfully cleared «Death» status]
.
.
Tubuhku bergetar kencang, dadaku berdebar-debar, pikiranku menjadi tidak fokus. Ketika gemetaran itu semakin menjadi, kesadaranku seakan menghilang dengan instan.
Ah, aku tahu sensasi ini.
Ini adalah perasaan yang selalu kursakan ketika akan bangun tidur. Entah kenapa, diriku seakan dipaksa untuk bangun saat ini juga. Aku yakin tidak ada seorang pun yang membangunkanku dari dunia nyata. Artinya, hal ini terjadi karena aku terkena sinar hitam yang dilancarkan Ellen tadi.
Apakah di dunia mimpi Ellen benar-benar membunuhku? Entahlah..
Detik berikutnya, kepalaku terasa nyeri sampai-sampai secara refleks aku memeganginya. Tubuhku terasa lemas namun sadar penuh, dadaku berdebar-debar, napasku cepat seperti orang yang sedang asma.
Setelah beberapa saat, aku pulih dan mulai sadar akan sekeliling. Rupanya aku tengah berada di kamarku sendiri. Aku telah bangun dari tidurku dan rupanya kepalaku terbentur ke lantai.
Malam mulai menginjak fajar, jam menunjukkan angka 04.30 pagi. Masih merasa pusing, aku berdiri dan turun ke lantai satu untuk minum air putih dingin. Kemudian, aku melemparkan diriku ke sofa besar di ruang tengah.
Aku sudah sadar sepenuhnya, aku tak yakin aku bisa kembali tidur. Yah, tak lama lagi aku memang harus masuk sekolah. Namun, aku sama sekali tak bisa melupakan kejadian di mimpiku barusan.
"Yaampun. Apa yang barusan terjadi... Dia itu siapa..." kataku sambil menggerutu.
"Memangnya, siapa dia?" kata seorang gadis dengan suara yang begitu kukenal.
Gadis dengan rambut hitam lurus sepundak yang sepagi ini sudah berseragam lengkap itu tak lain adalah adikku sendiri. Dia juga bersekolah di SMA Minerius kelas 1, sama sepertiku. Sebenarnya, umur kami selisih satu tahun. Namun, ketika SMP, dia mengambil program akselerasi sehingga dapat memangkas durasi studinya menjadi 2 tahun saja. Alhasil, kini dia setingkat denganku.
"Hoi! Jangan malas! Siapkan sarapan, sana!" katanya dengan riang.
"Tunggu, kamu berangkat sepagi ini?"
"Kan sudah kubilang kemarin, anggota klubku mengadakan rapat dadakan pagi ini."
"Oh begitu..."
"Kalau begitu, aku duluan ya. Sampai jumpa di sekolah!"
"Tunggu! Tunggu!" aku berteriak padanya ketika aku sadar dirinya telah sampai di pintu depan. "Apa ayah dan ibu sudah mentransfer uang bulanan?"
"Belum. Sepertinya beberapa hari ini kita harus mengandalkan uang sisa bulan lalu, deh."
"Oke."
"Oke, duluan, ya!"
Sepertinya dia memang terburu-buru. Suaranya yang riang itu bergema dalam rumah yang sepi ini, diikuti gema dari suara pintu yang ditutup. Kini, aku sendirian di dalam rumah pemberian kedua orang tuaku yang telah bercerai.