Yanto akhirnya terbuka, dia bicara alasan mereka berdua harus berbicara di luar ruangan kerja Sunny setelah kedatangan Jeanni.
"Kita, para lelaki tidak boleh mendengar pembicaraan rahasia perempuan," kata Yanto, dia juga ingin membangun kesan suasananya tetap baik.
Kebersamaan Yanto dengan Mamat berjalan mulus, perbincangannya seputaran teka-teki Sunny yang menghendaki berbicara berdua dengan Jeanni.
Mereka saling melempar pertanyaan dan jawaban dalam suasana hati yang bagus.
Setelah menyeruput secangkir kopi Mamat menjadi lancar bicara, menyampaikan sanjungan bagi hotel.
Di saat suasana pembicaraan jeda Mamat bersenandung, wajahnya bersinar cerah bersamaan dengan suaranya yang pelan namun terdengar sangat merdu.
Yanto memberikan senyuman lebar kepada Mamat
Mamat tersenyum balik kepada Yanto, kemudian mengalihkan pandangannya. "Aku punya firasat sebentar lagi mereka itu akan memanggil kita kembali ke ruang ibu Sunny lagi..." kata Mamat.
"Itu bukan firasat, tetapi keinginan kamu," sahut Yanto.
Setelah beberapa menit, bicara soal perlakuan Sunny kemudian selalu mendapat sanggahan, akhirnya Mamat percaya kalau Yanto tidak gampang percaya dengan omongan orang lain yang baru dikenal.
Otak Mamat mulai berputar, dan dia berusaha ingin Yanto percaya, "Sebutkan apa permintaanmu," kata Mamat.
Yanto tidak mengerti apa maksud dari kata-kata Mamat tersebut. Ketika melihat Mamat mengeluarkan amplop dari saku celana dan mengenali isinya, dia bersuara. "Akh, permintaan apa?"
Mamat tersenyum, lalu dia bicara, menyampaikan keinginannya supaya Yanto kembali ke ruangan menemui Sunny.
"Untuk apa?" Yanto cemberut, memasang perangai tidak mau disuruh-suruh.
Mamat tersenyum lagi, mengeluarkan lima lembar uang puluhan ribu dari dalam amplop itu, lalu dia menyerahkan uang dua lembar kepada Yanto.
2222
Yanto memperhatikan uang itu seperti menggoda, melambai-lambai minta diraih. Lama memperhatikan uang kemudian merasa kepalanya pening, mata dan otaknya belum bisa sinkron menghadapi godaan uang dan persoalan-persoalan yang datang tiba-tiba.
"Untuk apa?" Yanto mengerutkan kening, matanya memperhatikan uang yang disodorkan Mamat.
"Uang ini untuk kamu," sahut Mamat, "Upah dariku, bila kamu menyampaikan kata permisi ku kepada ibu Sunny."
Yanto menatap muka Mamat, sambil tersenyum kepalanya mengangguk- angguk. Dia berpikir uang yang ada di tangan Mamat cukup besar dan bisa untuk membeli tiket bioskop.
Mamat tersenyum dan berpikir sebentar lagi Yanto akan mengambil uang yang disodorkan.
"Tidak perlu," kata Yanto, tiba-tiba ekspresinya menunjukan dia tidak mau membuat kebersamaannya terlalu dalam, baru bertemu sudah main uang ini pertanda awal yang tidak baik.
Lalu sembari mengusap hidungnya Yanto mengatakan sesuatu, "Kata Kakekku, kalau orang menyuruh sambil memberi uang sama dengan ingin menyuruh selamanya."
"Maksudnya?" Mamat terperanjat, meminta Yanto untuk menjelaskan maksud dari kata-katanya tadi.
Untuk menghindari jadi suruhan orang, lebih baik tidak menerima pemberian dalam bentuk apapun dari orang.
"Pemberian itu, disadari atau tidak merupakan gerakan membangun ikatan. Orang, biasanya mau aja disuruh itu, disuruh ini karena merasa sudah menerima pemberiannya," kata Yanto.
Mamat masih tidak puas, terlihat belum memahami maksud dari kata-kata Yanto. Mengamati gaya bicara Yanto, dia merasa dipandang sebelah mata.
"Kamu jangan menampik rejeki, itu tidak baik. Tuhan marah kepada manusia yang menampik rejeki," kata Mamat.
"Aku tidak menampik rejeki. Tapi aku tidak suka disuruh-suruh tidak ada kaitannya dengan pekerjaanku," sahut Yanto.
"Hahaha, jangan tersinggung...," Mamat jadi hafal watak Yanto. Dia tidak mau disuruh oleh orang bukan atasannya.
Tidak ada pilihan, Mamat hanya menunggu dan berharap Jeanni dengan Sunny cepat menyelesaikan pembicaraannya, untuk kemudian dia bisa berpamitan. Untuk itu dia harus tetap bersabar.
Akhirnya, setelah berjam-jam dilalui. Mamat dari jauh melihat Sunny dengan Jeanni ke luar ruangan berjalan memasuki ruangan kerja Mirawati.
***
Jeanni ke luar dari ruangan kerja Mirawati. Langkahnya semangat dengan wajahnya yang gembira. Melihat Mamat masih berdua dengan Yanto sedang bercakap-cakap di ruang loby, dia segera menghampirinya dan langsung mengajak Mamat pergi.
"Perlu gerak cepat! Sekarang aku mau ajak kamu ke rumah Jandoet," kata Jeanni tidak sabar.
Mamat dengan Yanto tertegun, tidak mengerti apa maksud dari Jeanni mengajaknya pergi. Keduanya hanya memperhatikan bibir merah Jeanni bergark-gerak.
Memperhatikan bibir merah Jeanni ada kenikmatan tersendiri bagi Mamat dan Yanto. Pengalaman seperti itu jarang dialami. Angan kedua lelaki itu melayang jauh...
Plak! Tangan Jeanni mendarat di pipi kanan Mamat. "Diajak bicara malah bengong!" Jeanni marah karena dia dapat membaca pikiran Mamat dan Yanto.
"Kalian melihatku jangan sambil berkhayal, ya!" Ujar Jeanni, setelah itu dia urungkan niat hendak membawa Mamat ke rumah Jandoet.
"Sabtu depan kamu menyanyi harus lebih bagus lagi, besok kamu ditunggu di rumah Jandoet untuk memulai latihan... ini alamatnya," ujar Jeanni, menyerahkan kartu nama kemudian pergi.
Mamat tidak berkata apa-apa, dan hanya memandangi kartu nama di tangannya sambil sekali-kali memandang ke arah Jeanni berjalan pergi.
Setelah Jeanni menghilang dari pandangan mata, Mamat menyadari kesalahan yang dia lakukan bersama Yanto, otaknya berkhayal yang tidak-tidak saat mata memperhatikan bibir merah Jeanni.
Mamat menarik nafas panjang, lalu berkata lirih kepada Yanto. "Wanita itu sangat hebat, dengan melihat cara kita memandang dia bisa tau isi kepala," ujar Mamat.
Yanto menganggukan kepalanya, ekspresinya dipenuhi rasa malu membuat dia seperti orang kepergok sedang maling.
Mamat tersenyum, dan sadar bahwa dia sudah mendapat jawaban untuk ikut memeriahkan acara famous singer sebagai penyanyi openingnya. ****