Chereads / Pembalasan Sang Nyonya / Chapter 12 - Jika Semakin Sakit Hati, Pembalasan Pasti Akan Lebih Mematikan

Chapter 12 - Jika Semakin Sakit Hati, Pembalasan Pasti Akan Lebih Mematikan

Tidak ada pilihan lain, selain bekerja. Bekerja adalah hal terbaik untuk menghilangkan segala kepenatan yang terjadi di dalam otak maupun diri. Tak hanya itu saja, bekerja akan membuat Kinara terlihat tetap baik-baik saja. Meskipun otak dan hati kadang kala mengeluh kesakitan, di mana kefokusan pun sulit untuk ia dapatkan. Namun, siapa pun tidak akan ada yang mengira bahwa dirinya sedang menyimpan luka, yang semakin hari justru semakin menganga. Padahal sidang perceraian pertama akan digelar tidak lama lagi. Ia pikir setelah bercerai jiwanya akan lebih bebas dan dirinya bisa membalas dendam tanpa batas. Namun, perceraian yang belum benar-benar terjadi saja malah semakin membuat Kinara terkungkung derita.

Beginikah rasanya cinta yang tak terbalas dengan baik? Meskipun sudah berselingkuh, apakah Abimana tidak memiliki rasa sakit yang sama besarnya seperti Kinara? Lalu rontaan yang Abimana lakukan di hadapan Bram, apakah hanya sebatas sandiwara demi sebuah merger antara kedua perusahaan?

Ah, Kinara tidak yakin Abimana sampai rela bersimpuh hanya demi dirinya. Terakhir sebelum Abimana memutuskan pergi di hari kemarin, Kinara mendapati sorot kemarahan yang terpancar di mata pria itu. Tidak ada tanda-tanda penyesalan, tidak ada pula permohonan ampun lanjutan. Abimana benar-benar menghilang setelah Kresna membuka semua bukti yang telah didapatkan. Justru Bram yang mendadak diam. Bram menyesal, merasa bersalah pada putrinya. Seolah penderitaan hanya dirasakan oleh Kinara dan keluarganya, sementara Abimana hanya sebatas sandiwara kemudian langsung bisa bahagia.

Kalau sudah bercerai, mungkin segala sikap Abimana bukan urusan Kinara lagi. Namun, atas dasar kemanusiaan, hati nurani, dan nulari seorang suami, bukankah tidak pantas jika Abimana bersikap seolah tidak ada yang terjadi? Atau, dugaan ini hanyalah sebatas imajinasi Kinara saja, sementara Abimana mungkin saja juga sedang terluka? Entahlah. Yang pasti tidak ada perselingkuhan yang bisa dibenarkan. Satu kali dimaafkan, Abimana bisa mengulanginya lagi dengan cara yang lebih aman dan rahasia. Kata beberapa orang, selingkuh adalah sebuah penyakit yang sulit sembuh kecuali terkena azab lumpuh dan mati!

"Ck!" Kinara mendecapkan lidah. Lelah, ia memundurkan punggung dan mulai bersandar. Matanya terpejam dan beberapa kali ia menghela napas dalam. Sefokus apa pun dan sekeras apa pun dalam melakukan pekerjaan, nyatanya masalah perceraian dan pengkhianatan Abimana tak bisa menghilang dari pikiran. Apalagi ketika wajah wanita simpanan itu justru semakin terpatri jelas di dalam benak Kinara, seolah paras wanita simpanan itu harus Kinara ingat untuk selama-lamanya.

Kinara harus membuka mata ketika suara ketukan terdengar. Suara Isabela pun memasuki telinganya setelah itu.

"Selama siang, Nyonya Kinara," ucap Isabela yang masih berada di ambang pintu dari ruangan itu. "Nyonya Besar ingin bertemu dengan Anda."

"Ibu?" gumam Kinara. Lalu, dengan cepat ia langsung menatap Isabela dan menganggukkan kepala. "Aku bisa menemui beliau, Isabel. Oh ya, sajikan teh hangat untuk kami."

"Baik, Nyonya. Saya akan meminta Nyonya Besar untuk masuk dan lantas menyajikan teh."

"Terima kasih, Isabela."

Isabela tersenyum sembari menganggukkan kepala. Ia segera mundur, lalu bergegas untuk melebarkan pintu. Dan detik setelah itu, Meysa muncul. Meysa memang selalu menjaga pekerjaan serta privasi putrinya. Bahkan meski dirinya adalah istri dari pemilik perusahaan yang sebenarnya, ia tidak pernah bersikap tidak sopan. Jika ingin berkunjung, ia akan mengabari Kinara dan meminta izin terlebih dahulu. Namun, karena hari ini teleponnya tidak diangkat oleh sang putri, Meysa terpaksa datang dan meminta Isabela untuk memastikan situasi kinara di dalam ruang kerja.

"Selamat siang, Ibu," sapa Kinara sesaat setelah bangkit dari duduknya dan menuju area ruang tamu. Di sana, ia mempersilakan ibunya untuk duduk, kemudian disusul oleh dirinya sendiri. Sikap santun pada orang tua, memang tidak pernah menghilang dari diri Kinara. Ia terlalu sopan sebagai seorang anak. Namun, lagaknya pada beberapa orang memang cenderung seperti bongkahan es dari Kutub Utara. Entah. Ia hanya merasa tidak ingin terlibat banyak perbincangan, kecuali jika ada kepentingan.

"Kau baik-baik saja, Kinara?" tanya Meysa.

Kinara tersenyum. Sebuah topeng bahagia lantas ia pasang. Ia berusaha untuk tidak memperlihatkan sedikit pun gurat kesedihan. Ia harus tenang dan tetap tegar.

Setelah menganggukkan kepala, Kinara menjawab, "Tentu saja, Ibu. Namun, meski baik-baik saja, Kinara harus tetap meminta maaf karena tidak bisa mempertahankan bahtera rumah tangga yang saya bangun selama satu tahun bersama Abimana, Ibu. Saya hanya tidak bisa mempertahankan seorang penipu berada di dekat saya, dan seluruh keluarga kita. Belum lagi soal kemungkinan perceraian kami nantinya akan membuat heboh dan perusahaan bisa saja terkena dampaknya."

"Kenapa justru kau yang meminta maaf?" Meysa menggeleng pelan. Wajahnya tampak kebas. Lagi pula, ibu mana yang akan semringah setelah mendengar kabar buruk yang menimpa putrinya. "Sayang sekali Ibu tidak ada di ruang santai itu kemarin. Ibu sibuk mengurus beberapa tanaman bersama Bibi dan justru mengabaikan kalian. Andai saja Ibu ada di sana, Ibu pasti akan membuat Abimana jera!"

"Hahaha." Kinara tergelak, tetapi tetap elegan. "Ibu tidak boleh berbuat kasar. Cara balas dendam terbaik bukan dengan kekerasan, bukan?"

"Kau …? Kau ingin membalas dendam?"

Kinara menghela napas. "Mungkin …."

"Jika menginginkan hal itu, berarti kau tidak baik-baik saja," tebak Meysa. "Menangislah. Di sini, di pelukan Ibu. Kau selalu membanggakan suamimu di hadapan Ibu dan Ayah, tak mungkin kau tidak terluka."

Kinara melakukan sesuatu yang salah. Belakangan ini, dirinya memang jauh dari kata teliti. Mungkin sudah beberapa kali, ia melakukan kesalahan. Baik dalam pekerjaan, ataupun dalam mengambil perkataan. Sama seperti saat sedang berbincang dengan Kresna, cara sesederhana itu saja tidak terpikirkan oleh Kinara dan malah Kresna yang sampai menyadarkan dirinya untuk segera mendapatkan bukti yang kuat. Lalu sekarang, ia justru mengatakan soal balas dendam dan melupakan kecerdasan sang ibu. Belum lagi soal firasat seorang ibu yang lebih kuat dari ikatan pernikahannya sendiri.

"Kau tidak bisa berkilah, Kinara. Ibu mengetahui dirimu lebih baik dari siapa pun, tanpa mengurangi rasa bersalah Ibu yang justru mendukung perjodohan kalian satu tahun yang lalu. Seandainya pada saat itu, Ibu melarang ayahmu untuk mempersatukan kau dan Abimana, mungkin kau tidak terancam menjadi janda. Sebagai orang tua yang tak sempurna, Ibu dan Ayah memohon maaf padamu, Nak," ucap Meysa. Ia lantas mendekati Kinara, kemudian memberikan rengkuhan hangat pada putrinya tersebut. "Menangislah, Ibu tidak akan menertawakanmu."

"Tidak ada rasa sakit di dalam hati saya, Ibu," tandas Kinara. "Namun, ada kemarahan yang mungkin akan sulit untuk saya kendalikan."

Dan saya tidak tahu apa saja yang akan saya lakukan setelah perceraian terjadi. Mungkin sebuah pembalasan dendam yang tidak bisa dianggap enteng. Saya sudah bertekad menghancurkan Abimana. Rasa cinta yang sudah terpendam, penilaian baik yang selalu saya tujukan untuknya akan menjadi dasar atas kekecewaan saya, lanjut Kinara dalam hati.

Kinara ingin sekali untuk berbagi cerita. Sayang sekali, ia tetap harus kuat dan baik-baik saja. Tidak ada yang boleh lebih terluka daripada dirinya. Maka pembalasan dendam akan semakin mematikan ketika dirinya memiliki rasa sakit yang semakin menggila. Abimana tidak boleh benar-benar bahagia.

Isabela yang bertahan di balik pintu akhirnya memasuki ruangan Kinara. Ia sempat memutuskan untuk segera menyajikan teh setelah merasa bahwa kedua nyonya beda generasi tersebut sudah tidak membicarakan sesuatu yang bersifat rahasia. Demi menjaga privasi atasannya, Isabela memang rela mundur serta kembali menutup pintu dan seolah tutup telinga. Kini, tugasnya untuk menyajikan minuman tersebut sudah terlaksana.

"Terima kasih, Isabela," ucap Kinara dan Meysa secara bersamaan tanpa mereka sengaja.

"Sama-sama, Nyonya CEO dan Nyonya Besar," jawab Isabela. Selanjutnya, ia pamit untuk bekerja kembali.

***