"Ini sepatu buat lo, pake." Saat Anna melempar sepatunya, Cleo dapat mengenali sepatu butuh itu, sebab dua hari yang lalu Anna memakainya dan di sekolah ini tidak ada yang memakai sepatu butuh selain cewek itu.
"Hah? Kenapa tiba-tiba ngasih sepatu Cleo?"
"Lo pikir gue ga lihat apa yang udah lo lakuin, Na? Gue tahu lo pelakunya."
"Tenang, sepatu ini udah gak kepake kok,jadi lo gak usah ngerasa ga enak. Gue ambil ini dari loker tadi."
"Makasih ya Cle, udah nolongin gue."
Setelah pintu lift terbuka, betapa kagetnya Anna melihat Juna dengan jidat memar dan sepatu yang ada di tangannya. Sepatu itu terlihat familiar hingga Anna sadar bila sepatu yang ada di tangan Juna adalah miliknya.
"Oh Tuhan! Itu sepatu gue." Anna memejamkan matanya penuh ketakutan.
Juna mencari krangyang sudah melempar sepatu secara sembarangan hingga mengenai jidatnya sampai memar begini. Orang dari pemilik sepatu ini tidak punya sopan santun sama sekali. Jika Juna mendapatkannya maka tunggu saja dia harus bersiap dengan konsekuensinya.
"Cari siapa, kak?" Cleo bertanya.
Juna melihat ke bawah, tepatnya ke arah kedua kaki cewek tersebut. Setelah itu pergi mengabaikan pertanyaan Cleo yang masih belum terjawab.
Akhirnya Anna bisa mengembuskan napas dengan bebas.
***
Anna bernapas lega saat sudah sampai di kelas, ia duduk bersebelahan dengan orang baru.
"Kayaknya kemarin gue ngga sebangku sama lo, deh."
Orang itu menoleh. "Gue dipaksa pindah, karena Laurin ngga mau satu bangku sama anak beasiswa."
Mendadak cengo saat mendengar alasannya. Anna heran kenapa siswa dari kalangan beasiswa seperti dikucilkan.
"Dan lo ngga malu satu bangku sama gue?" tanya Anna memancing.
"Gue Laudia, anak beasiswa juga. Gue dari beasiswa non-akademik." Laudia menjulurkan tangan.
"Anna, gue dapet beasiswa non-akademik dan akademik." Anna menerima tangan Laudia dengan senang hati. Bagus jika dirinya mendapat teman lagi, karena relasi juga penting bagi Anna.
Anna bertanya-tanya mengenai sekolah ini. Ternyata Laudia banyak tahu mengenai sekolah dan orang-orang nya. Dan lagi-lagi, Laudia mengingatkan jangan sampai Anna mencari masalah dengan senior bernama Dewa, Juna dan Prince.
"Prince? Kok gue baru dengar yang ini."
"Kak Prince lagi ikut olimpiade ke luar negeri. Tapi kabarnya udah balik si."
Banyak mereka mengobrol hingga tak sadar suara bel akhirnya berdering keras.
***
Laudia tidak tahu bila Anna sangat cuek dalam menjaga image-nya. Cewek itu berjalan mundur sambil terus mempercandainya, sedang membahas judul komik yang sedang buming.
Hingga hal tak terduga terjadi.
Punggung Anna menempel pada dada seseorang. Sepontan Anna langsung berbalik melihat seorang cowok sedang menatapnya dengan sinis.
"Maaf kak," ucap Anna kelabakan.
Juna tidak merespon, dalam matanya terdapat rasa enggan bersentuhan dengan Anna. Juna berjalan lurus mengabaikan permintaan maaf dari cewek berlesung pipit dengan hidung pas pasan.
"Aman kan jantung lo?"
"Gimana rasanya tabrakan sama cowok ganteng?" Heboh Lauida seraya melanjutkan langkahnya, namun sesekali tetap melihat ke belakang tepatnya ke arah Juna yang kini sudah menghilang, masuk ke ruang guru.
"Takut ga sih, dia kok diam aja. Mukanya kayak jijik gitu lihat gue."
"Asal gak cari masalah, Kak Juna aman-aman aja. Tau gak dia cowok paling pintar di sini. Sampai saat ini belum ada yang ngalahin kepintarannya. Sebenarnya dia termasuk idola cewek-cewek di sini, cuma ya karena sikap dinginnya yang bikin cewek-cewek jadi susah deketin dia."
"Lo yang lagi jalan!"
Anna menoleh. Kemudian menengok ke kiri dan ke kanan, hanya ada ia dan Laudia si sini.
Di sisi lain, Laudia ketakutan, karena tahu orang-orang itu temannya siapa.
"Na, gue ke kelas duluan yah." Laudia segera terbirit, tidak ingin masuk ke dalam cewek yang baru dikenalnya itu.
"Eh, La–"
"Iya lo!" Tunjuk mereka pada Anna.
"G—gue, kak?" tanya Anna untuk memastikan. Tampaknya kedua kakak kelas itu sedikit jengkel.
"Sini!" bentak mereka bersamaan. Anna segera menghampiri mereka.
"Ada yang mau ngomong sama lo!"
"Pergi ke ruang musik sekarang!" tambah yang satunya sembari menunjuk ruang musik yang tak begitu jauh dari tempat di mana mereka berdiri.
"Mau apa ya kak?"
"Malah banyak tanya! Udah sono!"
Anna masih tidak mengerti kenapa tiba-tiba dua orang cewek itu meminta dirinya pergi ke ruang musik, padahal ia sama sekali tidak mengenal mereka.
Setibanya di sana, Anna dilanda guncangan di bagian jantungnya, sebab pada saat masuk ada seorang cowok yang harusnya ia hindari.
Dewa bangun dari duduknya, melempar stik drum ke sembarang arah.
Mata elangnya menyoroti Anna dengan tatapan mematikan. Seperti seekor singa yang hendak memangsa rusa.
Kemudian rusa malang itu tidak bisa lari ke mana-mana, karena singa telah membuat perangkap.
Pintu di kunci, kini tinggal Dewa dan Anna yang ada di ruangan itu. Hanya mereka.
"A—ada apa ya, kak?" tanya Anna penuh kegugupan. Kakinya perlahan mundur kala Dewa terus mendekatinya.
"Masih pura-pura gak tahu apa kesalahan lo?"
Anna memejamkan matanya, dalam hati penuh ketakutan.
"Aduh gimana nih. Apa dia tahu gue yang udah ngelempar dia pakai sepatu ," batin Anna menjerit-jerit.
"Kesalahan gue apa ya?" Anna meremas sisi roknya kuat-kuat.
Dewa tersenyum devil. Lalu menarik Anna untuk duduk di sebuah kursi. Dewa memperlihatkan rekaman cctv di bagian kantin saat Anna mengambil telur mata sapi miliknya.
"Eliana Mahesa, anak dari seorang pembantu. Punya tiga saudara. Dan sekarang ayahnya terbaring koma," kata Dewa hapal betul tentang siapa Anna.
Dewa bertepuk tangan ....
"Hebat! Anak dari seorang pembantu bisa sekolah di sini. Sepintar apa lo bisa dapat beasiswa dan masuk Guaradana international High school?"
Anna tampak mematung di depan layar komputer yang berisi wajah dirinya sedang melahap telur itu secara buru-buru.
Dalam hitungan detik, Dewa mematikan komputer itu hingga membuat Anna terhenyak.
"Lo yang maling telur mata sapi gue?"
Dada Anna kembang kempis. Kedua matanya melebar mendengar pengakuan itu dari Dewa. Tentang telur mata sapi itu, bagaimana Dewa masih ingat bahkan sampai tahu bahwa dirinya lah pelakunya. Dan buat apa sampai mencaritahu segala. Anna masih tak habis pikir, karena yang sedang dipermasalhkan hanyalah perihal telur mata sapi.
"A--anu, Kak. G–gue gak tahu kalau telur itu dibuat khusus untuk lo. Gue janji bakal ganti sebanyak yang lo mau. Dan ngga usah khawatir juga karena gue bisa masak." Lebih baik memang bertanggung jawab daripada memperpanjang masalah. Anna tidak mau ini menjadi awal dari kegaduhan dalam hidupnya.
Dewa tertawa keras. Ia merasa seperti Anna sedang menganggap enteng kesalahannya.
"Sombong banget lo! Udah maling so so-an mau jadi koki gue hah?"
Anna mengerenyit. Anna bahkan tidak merasa dirinya sombong. Yang Anna katakan tadi adalah bentuk dari rasa bersalahnya.
"Gue minta maaf, tapi gue ngga tahu kalau telur itu milik lo."
"Kalau bisa lo muntahin lagi telur yang udah dua hari ada di perut lo!"
"Sorry, kak. Telurnya udah jadi tai," batin Anna. Rasanya ingin sekali mengatakan kalimat demikian. Namun Anna urungkan, karena ia masih ingin hidup lebih lama lagi.
"Maksudnya kakak mau makan telur yang ada di perut gue?" tanya Anna hati-hati.
"Kurang ajar banget lo ngomong kayak gitu!" Dewa menarik Anna keluar dari sana. Dewa membawa Anna ke kantin untuk memberi klarfikasi bahwa dialah yang mencuri telur mata sapi Dewa.
Saat Anna dibawa menelusuri koridor beberapa orang memotret untuk bahan tontonan di grup WA. Selanjutnya mereka berbondong-bondong mengikuti Dewa dan Anna ke kantin.
Dewa memaksa Anna memakan satu butir telur mata sapi yang sudah tersedia. Ini seperti sudah direncanakan.
Makan telur ini!" Seru Dewa seraya menjulurkan piring kecil berisi telur yang dipersiapkan untuk Anna.
Anna mengangkat alisnya, tidak paham dengan yang Dewa rencanakan.
"Makan!" bentak Dewa.
Tidak mau ribet dan memperpanjang durasi menjadi tontonan siswa-siswa, akhirnya Anna memakan telur itu.
Gurat wajah Dewa masih penuh dengan amarah.
"S–sudah, Kak."
"Siapa suruh lo telan?" sentak Dewa membuat Anna bingung. Bukannya tadi cowok itu menyuruh Anna untuk memakan telurnya?
"Kan tadi kakak suruh gue makan?"
"Gue gak minta lo buat nelen, bego!"
"Muntahin!" suruh Dewa seenak jidat.
"Mana bisa kak." Anna tidak habis pikir dengan permintaan Dewa.
"Muntahin!" Paksa Dewa sembari menyuguhkan piring kosong ke arah Anna.
"Lo gak mau dong terus berurusan sama gue karena lo gak mau muntahin telur yang udah lo makan tadi."
Anna menyeringai tak habis pikir. Dengan terpaksa Anna mengeluarkan makanan itu lagi di saksikan banyak orang yang tengah melihatnya dengan perasaan jijik.
Sesuai instruksi dari Dewa, Dirta mecampurkan lumpur membuat beberapa orang menjauh termasuk Dewa.
"Sekarang makan muntahan lo bersamaan dengan lumpur comberan itu," titah Dewa seraya menutup hidungnya.
Anna terbelalak dengan kalimat yang baru saja keluar dari Dewa.
"Budek telinga lo, hah? Congean?"
"Sorry, gue gak akan segila itu nurutin kemauan lo. Gue manusia yang berhak dimanusiakan. Bahkan binatang aja ngga mungkin mau makan muntahinnya lagi apalagi dicampur sama lumpur comberan," tegas Anna menolak. Meski ini adalah salahnya. Namun hukuman dari Dewa bukan manusiawi lagi. Dewa sudah keterlaluan.
"Sorry-sorry, ganggu. Tapi lo di panggil kepsek Dew." Arga yang baru sampai membeberkan infonya dengan segera pada sang empu.
"Kenapa, siapa yang udah lapor?" Cealse kepalang tanggung, padahal tontonan sebentar lagi dimulai.
"Ngga tahu."
"Urus cewek ini!" Dewa keluar dari kantin masih dengan perasaan marah.
"Ayok, ikut kita!"
Dewa mendecak sebal karena kepala sekolah berani memarahinya. Sebetulnya sekolah ini benar-benar tegas memberi peringatan pada Dewa, sekolah ini bukan seperti yang siswa lain pikirkan, seringkali tidak adil mentang-mentang ayah Dewa pemilik dari sekolah ini. Pihak sekolah bahkan sudah sempat memberi Dewa ancaman dikeluarkan, namun Dewa tak kunjung jera malah memperpanjang masalah dengan memperkeruh keadaan, mengancam balik kepala sekolah bahkan sampai nekat menyuruh orang agar memberi pelajaran kepada kepala sekolah dengan menganggu keluarganya.
"Ini peringatan terakhir buat kamu. Ada banyak bukti tentang kenakalan kamu yang sulit dibenarkan." Pak Tirta sendiri tidak tahu di mana jalan pikir Dewa sebagai anak dari pemilik sekolah ini. Seharusnya Dewa memberi contoh yang baik bukan malah sebaliknya.
Padahal keluarga Dewa masih lengkap, dan Pak Tirta rasa Dewa tidak mungkin kurang didikan keluarganya di rumah.
"Mau saya kasih sogokan agar bapak tutup mulut?"
Mendengar ucapan Dewa, Pak Tirta serasa tidak ada harganya sebagai kepsek di sini.
"Ini sudah kesekian kalinya kamu menghina saya. Baiklah, saya akan membicarakan ini dengan ibumu. Tunggu saja."
Dewa beranjak dari sana setelah mendengar kalimat omong kosong dari Pak Tirta. Mau bagaimanapun caranya, ibu Dewa tidak akan pernah mau datang. Tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya Dewa sudah tidak punya ibu. Wanita yang Pak Tirta maksud hanyalah ibu tiri sialan bagi Dewa. Persetan dengan yang namanya ibu Tiri.