Ivan duduk di balkon sambil merokok. Pikirannya kembali berputar mengenai semalam. Sekilas dirinya melihat keberadaan Agnia.
Namun, ia masih ragu. Pasalnya malam tadi ia mabuk. Bisa saja kan salah lihat?
"Kalau benar Agnia berada di pesta semalam, dengan siapa dia datang? Pesta itu diperuntukan untuk orang-orang kelas atas, bukan wanita rendah dan kampungan seperti dirinya."
Ivan menggelengkan kepala. Mencoba mengabaikan Agnia dari pikirannya. Ingatannya langsung tertuju pada wanita asing yang ditemui semalam.
Tanpa sepengetahuan Tiara, ia melakukan one night stand di mobil si wanita. Ivan terkekeh pelan.
"Wanita adalah makhluk paling bodoh dan mudah sekali untu dimanipulasi."
Ting tong.
Bel apartemennya berbunyi. "Ck! Siapa yang mengangguku di pagi hari seperti ini!" Ivan meletakkan rokok di asbak dan berjalan menuju pintu.
Setelah pintu dibuka, tidak ada orang. "Apa orang iseng?" Melihat ke kanan dan ke kiri. Tatapannya kini jatuh ke sebuah amplop di bawah kakinya. "Milik siapa ini?"
Penasaran, dibukalah benda tadi. Ivan terkejut dengan isinya hingga membuat pria itu segera masuk dan menutup pintu rapat-rapat.
Di dalam sana terdapat beberapa foto yang memperlihatkan dirinya sedang berciuman dengan wanita di pesta semalam.
"Kurang ajar! Siapa yang memotret diam-diam?!" Tak mau ketahuan, Ivan lantas menyobek foto-foto tadi menjadi serpihan-serpihan kecil lalu membuangnya ke tempat sampah.
"Berani-beraninya berurusan dengan seorang Ivan. Tidak tau saja kalau aku bisa melakukan apa pun dan dengan cara selicik apa pun untuk membalas pelaku pemotretan sialan itu!"
Ia mencoba menahan emosinya yang meledak-ledak. "Tahan Ivan, sebaiknya berpikir jernih di situasi seperti ini." Menarik napas panjang kemudian mengembuskan perlahan-lahan. "Akan kucari siapa yang memotretnya. Lihat saja nanti."
Ting tong.
Bel apartemennya kembali berbunyi. Kali ini yang datang adalah Tiara. Wanita itu bertanya, "Ada apa dengan wajahmu? Terlihat kesal."
"Masalah kerjaan. Kamu tahu kan beberapa orang menolak ide yang kuberikan? Mereka menjadi sangat menyebalkan sekarang."
Tiara masuk dan menuntun Ivan untuk duduk. "Tenangkan dirimu Sayang. Mereka tidak tau seberapa geniusnya kekasih hatiku ini." Ia mengelus rahang Ivan. "Lebih baik kita sarapan. Aku membuat makanan kesukaanmu."
Ivan mengangkat Tiara agar berada di pangkuannya. "Tapi aku lebih suka memakanmu," ujarnya dengan nada lirih dan penuh sarat akan makna terselubung.
Tiara tertawa pelan sambil menarik hidung Ivan. "Kamu ini selalu saja bilang begitu."
"Memang benar kan? Kamu adalah hidangan ternikmat yang pernah kumakan." Jempol Ivan mengelus bibir Tiara. "Bibir ini akan menjadi hidangan pembuka, lalu di lanjutkan dengan yang lainnya."
*****
"Kira-kira bagaimana respon Ivan saat melihat foto-fotonya?" tanya Agnia pada diri sendiri.
Benar, orang yang mengirimkan benda tersebut ialah Agnia. Memang siapa lagi orang yang memotret momen kemesraan Ivan bersama wanita lain? Jelas jawabannya tidak ada.
"Ini baru awal Ivan. Perlahan tapi pasti kamu akan hidup dengan rasa waswas dan ketidaknyamanan. Aku akan memulainya sedikit demi sedikit!"
Saat ini ia berada di restoran miliknya yang kembali buka mulai hari ini. Untung lah masih ada orang yang mau makan di tempatnya, meskipun Agnia harus mengakui, tidak seramai sebelum insiden memalukan itu terjadi.
Mengingat bagaimana Ivan marah-marah saat itu membuat Agnia kembali berpikir tentang bagaimana semua itu bisa terjadi.
"Kenapa juga harus tepat di sup milik Ivan? Pria itu pasti selalu ingin mencari masalah denganku."
Tok tok tok
Suara ketukan pintu langsung menyadarkan dan menarik Agnia ke alam nyata. "Masuk," ujarnya.
Nina masuk dengan perlahan. Wanita itu tampak gugup dan takut saat menghadap atasannya. "Bu Agnia, ada yang ingin saya bicarakan." Nina memilin ujung pakaiannya. Perasaan deg degan kian terasa.
"Mau bicara apa? Duduk saja di depanku."
"Tidak Bu. Saya hanya ingin bicara sebentar." Memberanikan diri untuk menatap Agnia. "Lagi pula saya sangat tidak pantas untuk duduk atau bahkan menemui Bu Agnia."
Agnia menjadi penasaran dan bertanya-tanya tentang arti dari perkataan Nina. Ia berdiri dan mendekat ke arah pegawainya. "Ada apa Nina? Ini tidak seperti dirimu yang biasanya. Kamu terlihat ketakutan dan merasa bersalah seolah memiliki salah."
"Saya memang bersalah kepada Bu Agnia. Maafkan saya." Nina menundukkan kepala sebagai bentuk rasa maafnya.
"Tunggu dulu Nin. Saya benar-benar tidak tau apa yang kamu bicarakan. Katakan dengan jelas apa yang telah kamu perbuat?"
Tanpa Diduga-duga Nina menjatuhkan diri, berlutut di depan Agnia. "Saya lah orang yang menyebabkan nama restoran ini tercoreng. Saya orang yang menaruh cicak tersebut ke dalam makanan pengunjung. Maafkan saya Bu Agnia. Saya menyesal. Mohon maafkan saya." Nina menyatukan kedua tangan sambil meneteskan air mata.
Sementara Agnia merasa kaget, antara percaya dan tidak percaya. "Ap-pa kamu bilang Nin? Kk-kamu sengaja melakukannya?" Dijawab anggukan Nina. "Kenapa?" Agnia bertanya dengan raut kecewa dan nada lirih.
"Saya disuruh oleh Pak Ivan Bu. Dia memberikan saya uang asal mau membantunya."
Kepala Agnia menjadi pening mendengar segala pengakuan tak terduga Nina. "Tapi kenapa kamu mau Nin? Apa kamu punya dendam kepada saya? Tega sekali kamu."
Air mata Nina makin luruh dengan mudahnya. "Ss-saya tidak mm-memiliki dendam apa pun pada Bu Agnia. Ss-saya melakukannya demi uang."
"Uang untuk pengobatan kakekmu?"
Nina menggeleng. "Bukan Bu."
"Lalu? Untuk apa uang itu? Apa kamu berbohong tentang penyakit kakekmu?"
Nina memejamkan mata. Tangannya kini berada di kedua pahanya. "Saya kecanduan judi online Bu. Saya berambisi untuk bisa menang, tapi pada realitanya, saya yang banyak kalahnya." Menghapus air mata. "Mengenai kondisi kakek saya memang benar. Beliau tengah sakit saat ini dan saya juga sedang mencari uang tambahan untuk pengobatan kakek saya, Bu."
Agnia memejamkan mata. Berusaha meredam emosi yang siap meledak. "Jadi, kepercayaan dan kebaikan yang saya berikan selama ini tidak ada artinya hingga kamu rela melakukan hal rendah itu?"
Nina terisak. "Maaf, Bu."
"Tapi kenapa kamu malah mengaku? Kalau diam pun pasti tidak akan ketahuan, cctv di dapur sedang dalam kondisi mati."
"Karena hati kecil saya menolak perbuatan saya Bu. Selalu memprotes. Apalagi ketika saya menerima uang dari Bu Agnia, saya merasa menjadi manusia munafik dan tak tau diri."
"Harusnya kamu bisa berpikir ulang saat akan melakukannya."
"Maafkan saya Bu. Saya benar-benar meminta maaf."
Agnia menghela napas berat. "Saya benar-benar kecewa padamu Nin. Saya kira kamu adalah karyawan jujur dan setia, nyatanya tidak. Bahkan kebaikan saya pun tidak ada artinya bagimu."
Harusnya sejak awal Agnia tak usah terlalu memakai hati, bisa saja orang yang dianggap baik malah menusuk dari belakang seperti Nina.
"Saya memang bodoh. Sangat bodoh hingga melakukan hal setega itu pada orang sebaik Bu Agnia."