Agnia mash merasakan perasaan gugup. Ia meanuatkan jari-jarinya. Mencoba menormalkan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Jangan terlalu gugp santai saja." Dirga merasakan betapa gugupnya Agnia.
"Akan kucoba. Aku tidak terbiasa pergi ke pesta para orang kaya atau semacamnya."
"Nanti juga kamu akan terbiasa. Anggap saja ini sebagai permulaan."
"Maksudnya?"
"Itu ... maksudku, kamu pasti ingin melebarkan bisnismu suatu saat nanti kan? Kamu butuh teman orang-orang kaya. Ya semacam relasi," jawab Dirga dengan segera.
"Ohh."
"Ngomog-ngomong, kenapa kamu tiba-tiba ingin berinisiatif menjadi plus one ku?"
"Itu .... bagaimana menjelaskannya ya. Pokoknya ada hubungannya dengan Ivan. Nanti kamu akan tahu sendiri."
Dirga menoleh ke arah Agnia. Tersenyum simpul. "Jadi, kamu ingin memulai pembalasan dendam?"
Agnia mengangguk. "Iya. Sudah cukup waktu bagi Ivan untuk bersenang-senang. Saatnya pria utuk menerima semua akibat perbuatannya. Selain itu, aku tidak ingin ada korban lagi. Kali ini mangsa Ivan adalah wanita yang berprofesi sebagai model dan pengusaha."
"Sepertinya Ivan memiliki taktik untuk mendekati wanita-wanita kaya."
"Ya. Dia adalah orang yang paling manipulatif yang pernah kukenal."
Tak berselang lama, mobil Dirga telah sampai di tempat tujuan. Kedua orang tadi pun turun.
Tampak mobil-mobil mewah bejejer dengan rapi di parkiran yang telah disediakan. Beberapa orang keluar dari dalam mobil.
Semerbak parfum wangin nan mahal langsun tercium oleh hidung Agnia. Jangan lupakan pakaian yang berharga fantastis. Dirga menepuk pundak Agnia.
"Sudah siap?"
Agnia menganggukkan kepala. "Iya. Ayo masuk ke dalam."
"Ya, ayo."
Bukan sembarang orang yang boleh memasuki pesta. Hanya orang yang diundang atau pengatur pesta lah yang bisa masuk.
Sebelum masuk, Dirga dicek apakah pria tersebut masuk dalam undangan atau hanya penyusup.
Di dalam gedung tampak dekorasi seperti bunga dan lampu gantung mewah tersaji di hadapan Agnia. Lantainya juga tampak bersih dan mengkilap.
"Semuanya tampak sangat mahal ya," bisik Agnia.
"Tentu saja. Orang-orang kelewat kaya tidak akan sungkan untuk membuat pesta mewah dan mahal."
"Kamu benar."
Dulu Agnia hanya mlihat pesta-pesta mewah di film atau tv, tapi sekarang ia berada di dalamnya. Jujur, jauh lebih indah saat bisa melihatnya secara langsung. Ia sudah seperti manusia yang baru keluar dari goa.
*****
Pandangan mata Agnia sering melihat ke arah pintu utama. Sepuluh menit lebih berada di sini, tapi ia belum melihat kedatangan Tiara dan juga Ivan. "Atau mereka tidak datang. Sayang sekali jika benar."
Beberapa menit kemudian orang yang ditunggu-tunggunya sampai. Ivan merangkul pinggang Tiara dengan mesra. Senyum palsu terus terukir di bibir Ivan.
"Itu mereka. Akhirnya datang juga." Terlihat
Tiara berbincang dengan Ivan, kemudian pergi untuk menghampiri teman-temannya. Sedangkan Ivan menuju ke tempat minuman berada. Memesan segelas alkohol.
"Dirga," panggilnya.
"Ya, kenapa Agnia?"
"Tiara dan Ivan sudah datang."
"Benarkah? Di mana mereka?"
"Di sana," tunjuk Agnia menggunakan dagu.
"Kamu ingin menghampiri mereka?"
"Tidak. Hanya ingin berada lebih dekat saja dengan mereka."
"Baiklah. Ayo kita ke sana."
Agnia menahan lengan Dirga. "Tidak usah. Biar aku saja yang ke sana."
"Tapi bagaimana jika Ivan melihatmu dan berakhir dengan keributan? Jika kalian bertemu selalu saja terjadi pertengkaran."
"Jika itu terjadi, aku akan segera pergi. Kamu di sini saja. Aku tidak ingin kamu terlibat secara langsung dengan masalahku."
Dirga memandang Agnia serius. "Kamu yakin?"
"Iya."
"Baiklah, aku akan mengawasi dari sini. Jika butuh bantuan segera beritahu. Dan satu lagi. Berhati-hatilah."
Agnia mengangguk yakin. "Pasti."
Agnia memutuskan untuk lebh dekat dengan posiis Ivan berada. Rambut sebelah kanan ia kedepankan agar menutupi wajahnya dari samping.
Ia berada di sebelah seorang wanita asing yang berdiri tepat di sebelah Ivan. Agnia melirik, tampak Ivan yang mulai makin. Pria itu minum lagi dan lagi.
Wanita yang berada di sebelah Ivan menatap pria itu. Mendekatkan diri lebih dekat. Pelan-pelan tangannya menyentuh tangan ivan yang berada di meja.
"Maaf, aku hanya ingin mengambil minuman."
"Yang ini?"
"Iya."
"Ini."
"Terima kasih." Wanita asing tersebut tersenyum. "Kamu sendirian di sini?"
Ivan menatap wanita di sampingnya. "Wow, wanita cantik juga," batinnya.
"Ya. Kamu sendiri?"
"Sama. Kebetulan aku sedang mencari teman ngobrol di sini. Sepertinya kamu pria yang cukup asyik untuk diajak bicara."
"Oh, benarkah?"
"Ya. Bagaimaa kalau kita berbincang-bincang. Maksudku, di tempat yang lebih sepi."
Ivan tersenyum miring. "Baiklah. Ayo."
Wanita tadi tersenyum dan berjalan keluar dengan Ivan. Sedangkan Agnia merasa penasaran hal apa yang akan dibicarakan.
Ia memutuskan untuk mengikuti dua orang tadi. Agnia bersembunyi di dekat pohon begitu melihat keduanya berhenti di taman yang terletak di samping gedung.
"Kenapa mereka malah berada di tempat sepi seperti ini? Benar-benar mencurigakan."
Agnia terus memperhatikan interaksi keduanya yang kian intim. Sesuai dugaan, Ivan mencium wanita tersebut dengan cukup terburu-buru.
Sedangkan Agnia tersenyum senang dan segera merekam. "Bagus. Aku tidak perlu susah-susah mencari cari untuk memberi pelajaran bagimu ivan." ujar Agnia dalam hati.
Agnia berhenti merekam saat target telah berhenti melakukan aski tersebut. Ia lantas segera pergi dari taman dengan suasana yang bagus.
Dirga yang melihat Agnia setelah wanita tadi keluar pun terheran-heran. "Agnia, apa yang terjadi? Kenapa kamu terlihat senang?"
"Sebentar lagi akan ada pertunjukkan."
"Maksudnya?"
"Nanti kamu tahu sendiri. Aku ke sana sebentar ya."
"Eh Agnia, tunggu." Dirga tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Agnia menghampiri Tiara yang sedang minum. "Apa aku boleh duudk di sini?"
Tiara mendongak. "Silakan. Ini kan kursi untuk tamu."
"Terima kasih." Ia pun duduk.
"Aku tidak menyangka kalau kamu juga diundang."
"Aku datang dengan temanku."
"Menjadi plus one?"
"Ya."
Tiara mengangguk-anggukan kepala. "Itu bagus. Pergi ke pesta seperti ini bisa menambah relasi."
"Ya. Kamu benar. Benar sekali." Agnia berdehem. "Kamu juga datang sediri?"
"Tentu tidak. Aku bersama kekasihku, Ivan."
"Ohh begitu rupanya." Netranya melihat sekeliling. Setelah merekam tadi, bergegas kembali, tapi Ivan malah belum kembali. "Di mana kekasihmu? Dia membiarkan kekasihnya duduk dan minum sendirian?"
"Katanya tadi sih sedang ke toliet. Mules katanya."
"Mules apanya? Mules ingin segera berciuman?" Agnia membatin.
"Sebenarnya aku datang ke sini untuk membicarakan sesuatu yang penting."
Tiara mengernyitkan kening. "Sesuatu yang penting? Apa itu?"
"Begini, tadi aku ...." Ia berhenti bicara saat melihat Ivan menuju ke arah mereka. Pria itu berjalan dengan sibuk membetulkan pakaiannya. "Aku harap kita bisa menjadi teman." Agnia berdiri. "Aku pergi dulu. Sampai jumpa."
Tiara hendak menjawab perkataan Agnia, tapi sang lawan bicara kebuur pergi. "Kenapa wanita itu pergi terburu-buru."
"Honey, aku mencarimu," kata Ivan.
"Hei, Honey. Aku menunggumu sedari tadi. Lama amat." Tiara cemberu
"Sayangku jangan cemberut. Aku minta maaf oke. Perutku benar-benartidak bisa diajak berkompromi."
Wajah Tiara tampak khawatir. "Kamu baik-baik saja? Apa kita harus ke dokter?'
"Tidak perlu. Aku sudah baik-baik saja."
"Tapi kamu berkeringat."
Ivan menyentuh keingnya. "Badanku juga tidak enak dan aku agak mabuk. Bagaimana jika kita pulang saja Sayang?'
"Ayo, kita pulang."