Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Marriage Without Sex

🇮🇩Senja491
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.3k
Views
Synopsis
"Kau masih perawan?" tanya Elleard yang telah menjadi suaminya beberapa jam yang lalu. Elena mengangguk, ia yang duduk di samping suaminya tanpa sehelai benangpun. Elleard membuang pandangannya, dengan getaran dalam hati ia berkata. "Kau boleh bercinta dengan kekasihmu, untuk melepaskan keperawanan. Tapi ingat. Hanya satu kali dan aku tidak boleh tahu siapa laki-laki itu!" Siapa yang tidak kaget mendengar perintah seorang suami agar istrinya bercinta dengan laki-laki lain. Elena hanya tertunduk muram selain ia tidak memiliki kekasih ia juga bukan jalang yang mau saja ditiduri laki-laki bajingan. * Elleard Salvator Osbat dan Xaverius Salvator Osbat adalah kakak beradik keturunan mafia. Elleard menyukai gadis yang bekerja di toko bunga yang tidak jauh dari pemakaman kedua orang tuanya, dengan sedikit uang pada keluarga Elena ia bisa menikahi gadis itu. Di sisi lain kecantikan Elena terus mengusik Xaverius yang bertugas menjaganya, interaksi keduanya semakin lama semakin dekat dan tanpa disadari Xaverius mulai tertarik juga tahu jika kakaknya memerintahkan Elena untuk bercinta dengan laki-laki lain. Organisasi mafi saat itu sedang kacau karena Xaverius melanggar perjanjian dengan membantai sesama mafia yang terlibat dalam pembantaian orang tuanya. Sialnya, status Elena sebagai istri Elleard terbongkar. Akibatnya Elena diincar oleh musuh Elleard yang memberikan hadiah pada para pemburu, untuk menculik Elena sebagai alat untuk mengancam Elleard turun dari kekuasaannya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Ranting Dalam Genggaman

Siapa yang tidak kenal keluarga Osbart yang sedang berada di puncak kekuasaan pada masanya saat itu. Wilayah yang mereka kuasai semakin tahun semakin meluas, hingga tahun ini perayaan ulang tahun kedua pasangan serasi itu. Di tengah ballroom hotel. Kue ulang tahun tertata tujuh tingkat.

Kedua pasangan itu siap memotong kue diiringi dengan eluan semua orang yang hadir, juga kedua putra remaja mereka.

Di luar.

Para pengawal yang berkhianat mulai saling melemparkan kode dengan mata juga hitungan jari. Tidak berapa lama empat minibus hitam berhenti di depan hotel. Di dalamnya semua orang mengenakan topeng berwarna hitam. Berlari turun lalu menaiki anak tangga, mereka yang tidak berkhianat mencoba melindungi pintu itu agar tidak terbuka hingga akhirnya terjadilah perang senjata.

Di dalam. Kue paling tinggi baru saja terpotong dengan penuh suka cita. Tiba-tiba dari pintu luar terdengar teriakan tidak jelas. Seperdetik kemudian berondongan peluru membuka paksa pintu kayu lebar itu. Belum sempat mengelak berondongan peluru kembali menghujam para tamu yang hadir.

Seketika suasana tidak terkendali saat pandangan Xaverius tertuju pada kedua orang tuanya. Di sana hujan peluru laras panjang kembali menghujam ayahnya yang mencoba melindungi sang istri.

"Ayah!" Dalam teriakan Xaverius berlari.

Elleard yang melihat senjata dari lawannya terarah pada punggung adiknya, ia ikut berlari melindungi punggung Xaverius.

Dorr!

Satu timah panas tepat bersarang pada pinggangnya, kemudi disusul peluru yang lain yang juga membantai ibunya. Elleard jatuh bersama Xaverius dalam dekapannya hingga kesadarannya menghilang.

*

Tiga tahun setelah pembantaian itu. Elleard koma dan Xaverius terpuruk dalam ketakutan menjadikan ia hidup, bernapas tetapi bagai robot. Mimpi-mimpi kejadian itu terus menghantui tidurnya. Sampai pada hari ini hari pertama kali Elleard bisa melihat tempat peristirahatan terakhir kedua orang tuanya.

Elleard tidak bisa menyembunyikan rasa sakitnya saat ia terbangun tiga bulan lalu dan kenyataan tubuh bagian bawahnya tidak bisa bergerak. Elleard sempat menyesali kenapa ia harus bertahan hidup, kenapa alat-alat bodoh itu harus mempertahankan napasnya.

Saat Elleard tahu keadaan mental adiknya, di sana ia baru menyadari bukan hanya dia yang sulit bertahan hidup. Xaverius juga, mungkin anak itu terlihat kokoh dari luar tapi jiwanya sakit. Elleard pernah melihat bagaimana Xaverius terbangun dari tidur dengan wajah pucat dan langsung menggenggam senjata seakan ia akan menembak siapapun yang ada.

Seumur hidup dihantui oleh ketakutan membuat Xaverius merasa semua orang adalah lawan dan akan menembaknya kapanpun.

Tiga mobil hitam berbaris dengan masing-masing mobil berpenghuni empat

orang, semuanya keluar membuat barisan barulah Xaverius keluar, lantas ia membuka pintu Elleard. Tidak berapa lama satu orang pengawal membawa kursi roda meletakan di dekat pintu mobil.

Sekalipun payah untuk duduk di kursinya. Elleard tetap meyakinkan ia bisa. Dengan dibantu sedikit oleh Xaverius akhirnya ia duduk. Elleard tidak ingin merasa berbeda ia ingin memperlihatkan pada siapapun ia mampu.

Setiap langkah kaki yang Xaverius ambil penuh dengan luapan emosi, rahangnya terus mengeras melihat kakaknya juga ingatan dimalam itu. Setiap suara tembakan juga kesakitan semua orang dan kedua orang tuanya. Bayangan genangan darah membanjiri jas putih yang ia kenakan sampai perlahan semuanya mengabur.

"Bunga, Tuan?"

"Aaa… sakit!"

"X!" Panggil Elleard.

Tadi saat Elena tiba-tiba mendekat, Xaverius langsung mencengkram tangannya kuta. Ketakutan kehilangan semua yang ia sayangi menjadikan Xaverius selalu waspada dimanapun ia berada, bahkan saat tidur. Tidak dikatakan tidur jika Xaverius memejamkan matanya, sesungguhnya telinga dan tanganya selalu siaga.

"Dia hanya penjual bunga," kata Elleard lagi.

Elena masih meringis, pergelangan tangan kecilnya layaknya ranting dalam telapak tangan Xaverius. Tatapan lelaki itu masih menghunus mata bulat Elena yang menahan sakit, lantas dengan hentakan Xaverius menghempas pergelangan tangan Elena.

"Bunga ini masih sangat segara, aku yakin mereka yang tinggal di sini akan sangat suka jika rumah terakhir mereka indah oleh bunga," lanjut Elena tanpa gentar.

Buka ia tidak takut pada tatapan Xaverius saat ini, tetapi diujung toko ada bibinya yang terus melihat tajam. Elena harus berusaha sekeras mungkin agar bunganya laku, jika tidak ingin merasakan tongkat skop bunga melayang pada kepalanya.

Elena sudah tidak memiliki orang tua sejak kecil dan sekarang hanya tinggal dengan bibi dan dua anak gadisnya. Elena harus mencari uang sebanyaknya jika ia ingin tetap tinggal di rumah itu atau memilih terlunta lunta di jalan.

"Bunganya sangat segara." Elleard melirik ekor mata Elena yang melihat toko bunga di ujung. Di sana bibinya seperti akan menghajarnya jika bunga yang ia bawa tidak laku satupun. Elleard tersenyum tipis. "Aku borong semua bunga!"

Mata bulat Elena langsung bersinar melihat Elleard. "Benarkah, Tuan? Terima kasih. Semoga Tuhan selalu memberkati Anda." Elena segera merapikan keranjang yang ia bawa beserta semua bunganya.

Xaverius menjentikkan tangan, satu orang maju menerima semua bunga yang Elena berikan lantas memberinya uang.

"Sebentar saya ambil kembalian," ucapnya. Sudah akan bersiap berlari.

"Tidak usah, simpan untukmu. Semoga Tuhan juga memberkati harimu," ucap Elleard.

Elena kembali tersenyum, dan Xaverius menggeram rendah dibalik tatapan mata tajamnya, di balik kaca mata hitam. Rombongan itu berlalu mulai memasuki area pemakaman. Sedangkan Elena harus segera berlari ke toko bunga karena bibinya sudah pasti menunggu uang-uang itu datang.

Baru saja sampai. Tas keci Elena langsung dirampas bibinya. "Bawa sini! Lama sekali kau jalan. Astaga…" bibi Elena mengipas ngipas uang lantas berjalan masuk untuk duduk. Elena melihatnya sambil mencari gelas untuk minum, ia belum makan dari pagi dan menelan ludahnya melihat dua anak bibinya sedang makan siang begitu lahapnya.

Bisakah siang ini ia mendapat makan, tidak harus menunggu malam. Tadi kalo saja bibinya tidak melihat Elena mendapatkan uang itu, ia pasti bisa mengambil kembalian sebagai uang sakunya. Paling tidak ia bisa membeli makanan di luar saat bibinya memerintahkan ia untuk keluar rumah.

"Perutku sakit, aku belum makan." Elena ragu-ragu untuk berkata. "Bolehkan aku makan?"

Bibinya tersenyum lebar. "Karena kau dapat uang hari ini, dan itu cukup untuk makan siang. Kau boleh makan tapi setelah kedua anakku yang cantik itu selesai."

Elena melihat kedua anak gadis bibinya yang sedang rakus menjejali makanan dalam mulutnya yang sepertinya sengaja tidak ingin tersisa agar Elena tidak kebagian makan.

Sore harinya Elena mendatangi toko makanan di pinggir jalan, ia masuk. Kepalanya terus bergerak seperti tengah mencari sesuatu lantas mata bulat Elena menangkap keranjang berisi makanan yang tergeletak di lantai, lalu ia tersenyum lebar pada penjaga toko yang malah membuang muka dengan senyuman terpaksa seakan membencinya.