Sore harinya Elena mendatangi toko makanan di pinggir jalan, ia masuk. Kepalanya terus bergerak seperti tengah mencari sesuatu lantas mata bulat Elena menangkap keranjang berisi makanan yang tergeletak di lantai, lalu ia tersenyum lebar pada penjaga toko yang malah membuang muka dengan senyuman terpaksa.
"Kau sangat menjijikan!" kata penjaga toko itu, tapi membiarkan Elena membawa keranjang berisi makanan ke atas meja di mana ia sedang berdiri.
"Apa? Ini memang belum kadaluarsa dan paling hanya lewat satu hari, masih bisa dikonsumsi." Elena kembali tersenyum lebar. "Akan aku makan semua ini, jangan khawatir!" Penuh keyakinan Elena memasukan semua makanan dalam kantong yang ia bawa dari rumah tadi.
"Terserahlah! Ambil! Ambil semua dan pergi! Cepat!"
"Kau memang yang terbaik, bos! Kau baik sekali." Elena memasukan dua potong roti pada mulutnya lantas dengan semangat ia menikmatinya.
"Dasar!" Wanita itu menggeleng. Tidak jarang ia menyisipkan beberapa roti yang masih bagus dan tadi pun baru hari ini tanggal kadaluarsa, jadi masih layak untuk dikonsumsi.
"Sampai jumpa, bos. Terima kasih." Elena menunduk dengan hormat.
Baru saja Elena sampai rumah, harum makanan sudah menyambutnya tapi jangan harap ia bisa menikmati makanan itu setelah tadi ia diberikan kesempatan untuk makan siang. Elena menelan ludahnya melihat berbagai hidangan dan nasi hangat yang masih mengepul untuk melawan dinginnya malam ini. Mereka makan di depan televisi yang menyala, sungguh kenikmatan yang tidak Elena rasakan.
"Aku pulang." Tidak ada yang menjawab. Mereka masih sangat asik menikmati makanan. Elena akan langsung melangkah pada kamarnya.
"Hei! Cuci piring yang benar. Kau ingin kami keracunan? Masih ada sisa-sisa minyak."
Bagaimana mau hilang sisa-sisa minyak jika sabun pencuci piring itu habis dan tidak mungkin Elena membeli sabun, walaupun ia ada uang Elena lebih baik menabungnya untuk biaya kuliah tahun depan, dan selama ini pun tidak ada yang tahu jika Elena memiliki uang tabungan yang akan ia gunakan untuk kuliah dan menjadi orang sukses tidak perlu lagi menjadi budak di rumah ini.
"Maaf. Lain kali, akan aku pastikan aku mencuci piringnya dengan benar," ujar Elena meski mereka tidak melihat sedikitpun masih asik makan dan tertawa melihat televisi.
"Oh yah, apa kau sudah mengambil gaunku di laundry? Akan aku gunakan pada ulang tahun temanku?" tanya anak pertama, barulah melihat Elena.
"Oh, aku lupa. Besok akan aku ambilkan. Maaf." Elena kembali menunduk patuh.
"Menyebalkan!" umpatnya.
Lantas bibi Elena melihat Elena dengan tatapan menghunus. "Awas kau melupakan baju putriku lagi! Dia ada pesta dengan para kalangan atas." Wanita itu membelai pipi anaknya dengan bangga. "Kau harus mendapatkan pangeran tampan dan kaya raya. Astaga… wajah putriku begitu cantik." Pujinya lagi.
"Kau itu tidak bisa apa-apa! Aku penasaran kau itu mirip siapa, tidak berguna sama sekali!" sindirnya pada Elena.
Elena hanya menunduk, langkah kakinya mulai memutar menuju arah pintu kamar.
"Ya siapa lagi, ibu. Pasti mirip mendiang ibunya." Ejekan itu masih bisa Elena dengar dengan kikikan mereka yang begitu puasa menghina Elena dan ibunya.
Elena menarik napasnya kemudian melebarkan senyuman meskipun ada genangan air mata dalam kelopak matanya. Elena masuk ke dalam kamar, menyeret kursi untuk duduk di depan meja belajar usang, bekas anak bibirnya.
Elena masih bisa mendengar tawa kesenangan orang yang ada di luar. Sedangkan ia sudah melihat lembaran lembaran brosur kerja paruh waktu yang akan didatangi besok, untuk menyambung hidupnya.
"Aku akan menghubungi yang ini Minggu depan." Elena mulai membuka bungkusan kue hampir kadaluarsa itu, dan itu sudah cukup nikmat menemani tidur malamnya dibanding harus menahan lapar dengan gelas berisi air putih.
Elena melihat jumlah tabungan yang ada di rekeningnya, jumlahnya hampir mencukupi untuk setengah jalan biaya kuliah, setelahnya ia bisa mencari sambil kuliah.
Pagi ini Elena sudah bagun lebih pagi dari penghuni rumah lainnya. Ia merapikan ruang televisi bekas makan malam di sana, lalu menyapunya dengan bersih, setelahnya beralih pada ruang makan yang bersebelahan dengan dapur.
Semua piring kotor yang ada di atas meja ia susun di tempat pencucian piring. Meja makan itu berkali kali Elean gosok dengan waslap agar terlihat lebih mengkilap.
Isi rumah sudah rapi saatnya ia memasak nasi dan mencuci piring, tidak lupa baju kotor yang ada di dalam keranjang ia masukan dalam mesin cuci.
Semua alat-alat pembersih bergerak bersamaan dengan tangannya yang sedang mencuci piring. Sebelum mata hari terlihat, isi rumah sudah bersih barulah ia berangkat bekerja.
Sesampainya di minimarket Elena langsung mengganti bajunya dengan seragam berwarna hitam lalu bersiap di balik mesin kasih. Hari ini yang biasanya bekerja libur, jadi Elena menggantikan sementara.
Pelanggan pertama masuk. Elena sedikit menundukan wajahnya. Lelaki itu masuk melangkah dengan gagah, setelan serba hitam semakin membuat ia misterius. Tapi, Elena kenal paras menawan namun menyeramkan itu, ia laki-laki pembeli bunga. Lengan baju panjang Elena ia tarik menutupi bekas cengkraman lelaki itu kemarin dan ia sedikit mendehem mencoba tenang.
Xavierus tidak memperdulikan siapapun, ia mulai memilah apa yang akan dibeli. Mulai dari minuman kaleng sampai hidangan siap saja. Xavierus sedikit melempar makanan itu di atas meja kasir bermaksud untuk dipanaskan.
Tapi Elena terperanjat seakan mendengar letusan, ia sampai tergagap sangking takutnya pada Xavierus.
"Silahkan menunggu lima belas menit. Tuan." Kata Elena beralih pada oven.
Xavierus melihat lekat wajah tegang Elena dan Elena mulai gelisah menghindar dari mata tajam lelaki yang tingginya sekitar 1,9m. Mungkin, karena Elena saja hanya sedadanya. Sedangkan tinggi Elena 1,63m.
Semua sudah disiapkan sesuai permintaan Xavierus dan sekarang Elena menunggu lelaki itu membayar semua pesannya. Mata Xavierus masih lekat melihat gadis itu, sedangkan tangannya mengeluarkan kartu kredit dari dalam dompetnya.
Setelah pembayaran selesai dan Xavierus mengambil semua barangnya di atas meja lantas berlalu. Di sana Elena seakan baru saja bernapas, ia memegangi lututnya yang terasa tanpa tulang.
Astaga… kenapa ada manusia yang memiliki aura berbahaya namun seksi secara bersamaan.
"Selamat datang." Suara Elena kembali ceria menyambut pelanggan yang baru saja masuk, mengenyahkan pemikirannya soal laki-laki. Tidak ada waktu bagi Elena memikirkan cinta atau lawan jenisnya, yang harus Elena kejar adalah pekerjaan paruh waktu yang menghasilkan untuk biaya kuliah seperti yang mendiang ibunya cita-citakan.
Dua orang wanita dewasa masuk membeli beberapa makanan lalu membawanya ke meja kasir. "Bukankah kau Elena? Peringkat pertama di sekolah kami? Kita satu sekolah dulu." Tanya wanita itu menunjuk Elena.
"Kau sangat pintar dulu, Nilaimu tertinggi. Tapi kenapa kau di sini, kau tidak melanjutkan kuliah?"
"Aku akan kuliah tahun ini. Ada lagi yang ingin dipesan?" tanya Elena.
Dua wanita itu menggeleng lantas segera berlalu setelah membayar.
Elena melanjutkan pekerjaan dengan merapikan beberapa barang juga menambahkan yang sudah kosong terjual. Ia menyentuh liontin yang selalu tergantung di lehernya, di sana ada foto Elena, ibu dan ayahnya saat Elena masih kecil. Pintu minimarket kembali dibuka.
"Selamat datang, pelanggan."
Sepertinya tidak ada waktu untuk Elena merenung, kerja paruh waktu selalu menunggunya di manapun berada. Setelah ini jam tiga sore nanti ia harus menjual bunga, sekalipun disana adalah tempat yang paling menyenangkan karena ia bisa berdekatan dengan ibu dan ayahnya.