Anneliese memandang ke luar jendela mengikuti laju kereta kuda yang membawanya pergi jauh dari istana, menuju Northern Imperial. Keputusan Anneliese sudah bulat, suatu saat dia akan kembali, membawa kekuatan baru untuk mendirikan kembali istananya yang runtuh akibat serbuan dari Northern Imperial.
Titik-titik salju yang turun, menempel di jendela, menandakan kereta kuda Anneliese memasuki wilayah yang berhawa dingin. Cuaca di wilayah sebelah utara memang jauh lebih dingin. Sangat berbeda dengan istana Southern Kingdom, tempat Anneliese dibesarkan, cuacanya selalu hangat, bagaikan musim semi sepanjang tahun.
Anneliese mendesah. Dia tidak punya cukup waktu untuk menyiapkan mantel bulu yang dapat menghangatkan tubuhnya. Pertunangannya dengan Putra Mahkota Northern Imperial diputuskan dengan cepat. Mereka berpacu dengan waktu mengingat kakak lelaki Anneliese dijadikan sandera oleh Raja Gunrr dari Northern Imperial.
Satu-satunya yang dapat menjamin keselamatan kakak lelaki Anneliese adalah pertunangannya dengan Ivorein, putra Raja Gunrr. Anneliese rela menempuh perjalanan dari ujung benua di bagian Selatan menuju ke ujung Utara untuk menyerahkan dirinya. Anneliese berharap, kedatangannya tidak terlambat sehingga nyawa kakaknya tidak melayang di tangan kekejaman Raja Northern Imperial maupun putranya.
Seperti mendengar harapan Anneliese, kuda-kuda berpacu lebih kencang. Kereta kuda Anneliese yang telah dimantrai dengan sihir, setengah melayang di udara, menembus kabut tipis di atas dataran Northern Imperial.
Ketika akhirnya kereta itu berhenti dengan lembut di depan sebuah kastil megah berdinding batu, Anneliese harus mengatur napasnya dengan susah payah. Tangan-tangan mungilnya yang mulai pucat karena kedingingan menggenggam erat gaun panjang semata kaki yang dikenakannya.
Anneliese menyesal tidak mengenakan gaun yang lebih mewah agar setidaknya bisa menyembunyikan perasaannya yang hancur. Datang menyerahkan diri sebagai tunangan Putra Mahkota kerajaan musuh sama sekali bukan sesuatu yang pernah dibayangkannya.
Pintu kereta itu terbuka, sepasang kaki mungil milik Anneliese melangkah turun. Rambut panjang Anneliese yang kemerahan berkibar diterpa angin dingin, tapi Anneliese berhasil membungkuk hormat dengan baik, tanpa cela.
"Anneliese Lorraine, Putri Ashyurr, memberi hormat kepada Pangeran Ivorein Sebastian, Putra Gunrr, matahari dari Northern Imperial," ucap Anneliese, sedapat mungkin menyembunyikan bibirnya yang bergetar kedinginan.
Ketika Anneliese mendongakkan wajah, memandang lurus pada lelaki gagah yang menjulang di hadapannya. Anneliese sudah sering mendengar orang membicarakan Putra Mahkota dari Utara yang senyumannya begitu dingin, sedingin pualam. Namun mereka lupa menambahkan satu hal.
Dia memang dingin, tapi juga tampan.
Sangat tampan.
Selama ini Anneliese selalu mengira bahwa Dyre, kakak laki-lakinya, adalah lelaki tertampan nomor dua setelah ayahandanya. Namun kali ini Anneliese melihat wajah yang begitu sempurna.
Terutama mata itu, mata yang mampu menenggelamkan siapa pun ke dalam pusaran kabut ungu di dalamnya. Anneliese tidak sanggup berlama-lama menatap langsung ke mata Ivorein. Selain khawatir hal itu dianggap tidak sopan, meskipun sebetulnya kedudukan mereka setara sebagai pangeran dan putri. Anneliese lebih khawatir jika semburat merah di pipinya akan makin kentara jika mereka saling bertatapan.
Ivorein merasa luka di tangannya sedikit kebas berdiri menunggu di tengah hawa dingin. Kereta yang membawa calon tunangannya terlambat datang.
Ketika akhirnya kereta itu tiba dan wanita itu turun dari kereta, semua kata-kata sambutan yang dilatihnya hilang tak berbekas. Tenggorokannya tercekat saat dilihatnya wanita itu mendongak.
Wajah tirus dengan mata bersinar sendu milik gadis itu tak mampu menutupi kecantikannya.
Berpakaian terlalu tipis untuk iklim Southern, wanita itu tampak begitu rapuh. Apalagi ketika angin dingin menerpanya, membuat rambutnya yang kemerahan berkibar. Bagaimana mungkin wanita semungil itu menyeberangi benua dari ujung ke ujung hanya seorang diri?
Ivorein membayangkan gadis itu bakal terbang terbawa angin pegunungan yang keras karena dia tampak begitu rapuh. Setidaknya itu yang dipikirkan Ivorein sebelum matanya menangkap sorot penuh tekad di mata gadis itu.
Sorot matanya begitu hidup dan menyala-nyala sampai-sampai Ivorein merasakan kehangatan di dadanya. Sesuatu yang sudah lama tidak pernah lagi dia harapkan.
Suara dehaman lolos mulut Ivorein membuat Anneliese terhenyak. Anneliese tidak bisa membaca arti raut wajah Ivorein yang datar dan memilih mengekor di belakangnya tanpa banyak bicara. Sepertinya ramah tamah menjadi hal yang asing di negeri ini, batin Anneliese, sedih.
Kastil yang dimasuki Anneliese lebih mirip benteng dibandingkan istana. Sia-sia Anneliese mencoba memikirkan cara untuk keluar diam-diam jika nanti dia berhasil menemukan tempat kakaknya ditahan.
Anneliese menyusuri koridor kastil yang panjang hingga tiba di sebuah ruangan dilengkapi perapian yang hangat dan nyaman. Diam-diam digosok-gosokkannya kedua tangan, menikmati kehangatan pertama yang dinikmatinya di negeri utara. Anneliese merasa keberaniannya kembali.
"Yang Mulia, s-saya datang untuk menemui Dyre," ujar Anneliese. Kedua tangannya bertaut erat, cemas menunggu jawaban Ivorein.
Ivorein memandang gadis yang berdiri canggung di hadapannya. Seandainya Anneliese bukan putri dari Southern semuanya bisa lebih mudah. Namun menghadapi seorang Southern, Ivorein merasa harus lebih waspada. Terlebih karena ayahandanya, Raja Gunrr, telah memberikan mandat khusus padanya.
"Putri Anneliese, sepertinya ada sedikit salah paham di antara kita. Yang saya tahu, kau datang sebagai calon pengantinku," ujar Ivorein tenang, matanya menyipit dengan senyum seringai tersungging di wajahnya.
"Ca-calon pengantin?" Anneliese tergagap, matanya terbelalak. Siapa yang harus dinikahinya? Lelaki berwajah datar di depannya ini? Bahkan batu pun akan membeku di dekatnya.
"Kurasa kau yang salah paham, Yang Mulia. Pada perjanjian yang dibuat ayahku, aku dikirim untuk menjaga perdamaian antara dua negeri," Anneliese menarik nafas sebelum melanjutkan dengan suara lebih tegas, "dan memastikan kakakku yang menjadi sandera di Southern dalam keadaan sehat."
Ivorein menyaksikan perubahan sikap gadis di depannya dengan geli. Beberapa saat yang lalu, gadis itu datang dengan tubuh pucat kedinginan, gemetaran memberi salam, daan sekarang tiba-tiba bertingkah seperti anjing galak.
Ivorein melangkah mendekati Anneliese. Dengan perbedaan postur mereka, dalam satu dua langkah Ivorein telah menutup jarak di antara mereka.
"Tuan Putri Anneliese Lorraine Putri Asshyur, apa kau yakin?" Suara Ivorein bergaung di telinga Anneliese.
Jarak mereka begitu dekat hingga Anneliese terhidu olehnya aroma lembut dari tubuh Ivorein. Aroma yang anehnya terasa begitu akrab, aroma hutan di musim semi.
Anneliese menahan diri agar tidak menutup mata dan menghirupnya dengan serakah. Ingat, Anneliese, di hadapanmu berdiri musuh yang telah meruntuhkan kerajaan ayahmu dalam semalam.
Spontan, Anneliese mundur, menjauh dari serbuan rasa hangat yang mengepung tubuhnya. Dilihatnya lelaki itu kembali menyeringai.