*Tang!
Tanpa mengindahkan intimidasi bibinya, dalam sekejab Randy melangkah maju ke depan. Dia menebas dengan pedangnya ke siapapun yang ada di depannya.
Suara besi yang bertabarakan dengan besi lain terdengar. Sepertinya tepat setelah Randy mengayunkan pedangnya, terdapat sebuah peluru yang mengarah ke arahnya dan karena ayunanannya. Dia tanpa sadar telah menangkis tembakan itu.
'Gila! Keren banget gue!' Ucapnya dalam hati.
'Jangan ngayal, tadi itu elu cuman kebetulan.' Tapi Dalor malah menghinanya.
Suara kaki terdengar sedang mendekat, kaki yang menginjak-injak rerumputan itu terasa seperti orang yang sedang menyisir rambut. Suaranya semakin lama semakin keras.
Di kegelapan itu, suara kaki itu terasa sangat horror bahkan melebihi pertarungan melawan charbdys.
"Sudah kubilang jangan ikut campur!" Rina mengangkat pistolnya untuk sekali lagi. Dia berteriak dengan suara yang keras bahkan sampai membuat dengungan di dalam pusaran angin itu.
"Kenapa?!"
Namun, belum sempat bertanya, dia sudah dihadiahi beberapa tembakan.
*Dor!
*Dor!
*Dor!
Randy mencoba menghindar namun sayangnya Rina mengetahui kemana dia akan pergi.
*Gubrak!
Ketiga tembakan tadi tidak ada yang meleset. Randy tersungkur ke tanah dan menciumnya.
"Gyahhh!!!" Ucapnya sambil memegangi kedua kakinya dan perutnya.
Perasaan ini sungguh berbeda, pertarungan antara Rina yang saat ini terlihat berbeda dari yang sebelumnya. Dia benar-benar bisa memprediksi ke mana laki-laki itu akan pergi.
'Apakah dia menggunakan sihir waktunya?' Pikiran itu seketika muncul.
Namun bagaimana? Randy mengingat bahwa sihir Rina telah dia segel, namun saat ini wanita itu bisa menggunakannya, bahkan tanpa ada masalah sedikitpun.
'Gue punya ngerti sekarang...' Dalor berbicara di dalam hatinya. 'Kubah ini- maksudku pusaran angin ini adalah zona mereka.'
'Zona?!'
Tidak ada waktu untuk memikirkan itu, Randy segera berdiri dengan kedua kakinya yang pincang dan menjauh dari lawannya.
"Dark Heal!"
Tubuhnya seketika sembuh, namun rasa sakit karena luka tembak masih terasa.
'Randy dengarkan dulu!'
'Apa?!'
Randy mulai memberontak, dia berbicara dengan Dalor dengan membelah otaknya. Dia harus memikirkan sebuah rencana selagi Rina terus mengejarnya.
'Percuma elu nyerang dan menghindar! Gak bakal ada yang ngaruh! ? Musuhlu bisa dengan mudah menghindar karena sudah mengulang waktu!'
'Lalu bagaimana caranya aku melawan atau menghindar?!' Ucapnya dalam hati dengan keras dan berkeringat.
*Dor
Saat mengatakan itu, peluru kembali mengenai kakinya.
"Gyaghh!"
Randy kembali tersungkur untuk kedua kalinya.
'Pakai 'Dispel'-mu lagi! Kali ini buat jadi area!' Dalor memerintahnya. 'Dia masih belum tahu kalau dispel-mu juga bisa berbentuk area!'
Seketika Randy yang tersungkur kesakitan menyadari keteledorannya. Dia sadar ada beberapa cara ampuh untuk melawannya. Kondisi tempat yang gelap telah membutakan pikirannya untuk berpikir secara logis.
"Dark Heal!" Dia menyembuhkan tubuhnya terlebih dahulu, lalu...
"Area Dispel!"
Dia menghantam tanah dengan genggamannya dan membuat sebuah lingkaran sihir yang cukup besar. Jika Rina benar-benar tidak bisa mengembalikan waktu, maka dia tidak akan bisa membatalkan atau menyadari sihir ini.
Lingkaran semakin membesar dan menyentuh dari ujung ke ujung pusaran angin.
Dalam seketika, pusaran angin lenyap dan hanya menyisakan semua orang yang ada di dalamnya. Cahaya bulan malam kembali terlihat dan bintang-bintang bersinar bersamanya.
"Kau?! Bisa melakukannya?!" Rina terkejut, tangannya yang memegang pistol bergemetar seakan benda itu menjadi sangatlah berat.
"Sepertinya bibi tidak bisa kembali, ya?" Ucap Randy mengejek.
Badannya perlahan berbalik menghadap ke arah bibinya. Wajahnya perlahan membentuk raut lain, mulutnya melengkung dan matanya menyipit. Itu adalah wajah penuh keoptimisan akan kemenangan.
"Sayang sekali... Tapi aku sepertinya harus segera mengakhiri ini!" Dengan cepat Randy berada tepat di depan wanita itu.
Wajah mereka terlalu dekat seperti orang yang mau berciuman, namun tentu saja tidak. Mereka bahkan membenci satu sama lain.
*Pak!
Randy menampar bibinya sampai terhempas jauh dan menatap pohon yang tak bersalah.
Dengan begitu Randy dapat mengikat wanita itu dan menanyainya. Sayangnya dia tidak bisa membebaskan wanita itu karena Rina bahkan tidak memiliki kalung sihir.
"Dengan begini, tinggal satu lagi lawan..." Randy mulai menoleh ke arah lain.
Dia melihat ke arah pertarungan lain yang ada jauh darinya. Tapi bisa dipastikan mereka yang menang jumlah akan dengan mudah memenangkan pertarungan.
***
Beberapa menit sebelum Randy mengaktifkan sihir 'dispel area'.
Di tempat yang berjauhan dengannya, lebih tepatnya di sisi lain dalam pusaran angin.
Tak! *Tak! *Tak!
Ira berjalan menjauh dari Randy dan mencoba masuk ke rerumputan yang menjulang tinggi.
*Sres! *Sresh! *Sresh!
'Semoga saja orang tua itu(Rina) tidak melihatnya...' Ucapnya dalam hati.
Dia tahu kalau musuhnya adalah pengguna manipulasi waktu yang berupa kembali ke masa lalu. Namun, dia tidak boleh menghiraukan rencana yang telah disusun.
Bagaimanapun hasilnya, dia harus mengikutinya...
Ini sudah seperti perintah mutlak.
'Meskipun begitu, aku merasakan sesuatu yang tidak beres di sini...'
Dia seperti telah melupakan seseorang. Atau lebih tepatnya, dia melupakan keberadaan orang itu.
'Mungkin karena terlalu fokus pada Rina...' Dia melupakan sesuatu yang seharusnya ada bersama wanita itu.
*Phank!
Sesaat baru memikirkannya, sebuah gesekan dari dua besi terdengar. Benda itu terdengar seperti dua buah pedang yang saling berlawanan.
"Hannah?! Tidak... Dia hanya bisa bertahan." Ira membuang pemikiran bahwa suara itu berasal dari Hannah karena kemampuannya.
"Berarti yang sedang dalam masalah saat ini adalah..." Ira seketika berlari ke sumber suara.
*Phank!
*Ctang!
Kedua senjata mereka saling menghantam satu sama lain. Beberapa serangan dan tangkisan itu terjadi beberapa kali, namun tak ada satupun dari mereka yang berhasil menyayat kulit lawannya.
"Kau hebat juga..." Dian tertawa kecut pada lawannya.
Lawannya menggunakan sebuah pedang yang melengkung dan tajam layaknya perang orang timur khas padang pasir. Pedang itu mengkilap kuning di tengah kegelapan karena cahaya dari Randy.
Rambutnya yang berbentuk DNA bergoyang-goyang karena tubuhnya bergerak terus menerus. Rambut bagian belakangnya yang panjang ke belakang diikat pendek dengan mahkota bando emasnya untuk menyesuakan dengan pertarungan.
"Justru aku malah terkejut padamu. Postur tubuhmu mengatakan kalau kau adalah orang pemalas, namun sepertinya kau mahir juga saat bertarung." Ujarnya sambil memujinya.
Dian mengayunkan pedangnya ke depan dan sekali lagi ditangkis oleh Dina. Kedua pedang mereka saling bergesek dan mendorong satu sama lain untuk memperlihatkan siapa yang memiliki tenaga lebih kuat di antara mereka berdua.
Dian memasang senyum hinanya kembali, namun kini raut mukanya sedikit lemas. "Entah kau sedang menghinaku atau memujiku, namun semua ucapan yang muncul dari mulutmu semuanya terasa memuakkan!" Ucapnya sambil menguatkan dorongannya pada pedangnya.
Sayangnya, karena dia mendorong terlalu kuat, pedangnya bukan malah mendorong pedang lawannya, melainkan malah terpeleset ke atas dan membukakan celah pada lawannya.
"Sial!" Ucapnya terkejut.
"Bodoh!" Menggunakan kesempatan ini, Dina seketika memutarkan badannya dan melayangkaj tendangan dada pada Dian.
"Grghh!" Dian berjalan mundur beberapa langkah sambil memegangi perutnya.
Tidak mau membuang-buang kesempatan, Dina berjalan mendekati lawannya.
Namun tiba-tiba dengan anehnya Dina malah melompat mundur dan mengubah ancang-ancangnya menjadi seperti ingin menusuk.
"Aku benci kalian!" Dengan raut muka yang oenuh kerutan, Dina menusukkan pedangnya ke arah Dian yang masih jauh di depannya.
Tusukan itu tidak akan mengenainya, mungkin hanya sampai pada ujung pedangnya mengenai hidungnya saja.
"Ground Wall!"
*Brak!
Tepat sesaat melakukan tusukan, sebuah dinding dari tanah muncul di depan hadapan Dian dan menahan tusukan Dina yang sebenarnya tidak mengenainya.
Dinding itu seketika hancur karena ditusuk oleh pedang itu. Dinding yang seharusnya melindungi Dian malah berakhir melukainya.
"Argh!" Dian terluka karena terkena serpihan dinding tanah yang hancur seperti meledak.
"Ma-maafkan aku, Dian!" Ira yang baru datang seketika mencoba memberikan uluran tangan pada Dian.
Namun, tepat setelah jarak mereka mendekat. Dina yang masih berada di depan Dian seketika membuat lekukan di mulutnya, matanya menipis seperti apa yang musuhnya lakukan benar-benar sesuai keinginannya.
"Kena kau!" Dalam sekejab, Dina mengayunkan pedangnya ke arah Ira yang sedang panik.
...
Ira menutup matanya karena terkejut, namun beberapa detik telah berlalu dan tak ada yang terjadi.
Saat matanya terbuka, dia melihat sesuatu yang hilang meskipun hanya sebentar. Itu adalah cahaya rembulan dan bintang-bintangnya.
Matanya seketika terbuka lebar-lebar karena keindahan malam itu. Dia seperti baru menemukan keindahan langit malam yang sebenarnya.
Sementara itu, di sisi lain...
Dina yang tadi sedang mengayunkan pedang seketika melihati kedua telapak tangannya. Telapak tangan yang tadi memegang pedang sekarang hanyalah menjadi telapak tangan biasa tanpa kekuatan.
Dia melihat ke arah Dian dan Ira yang berada di dekatnya, namun mereka tidak memperlihatkan reaksi apa-apa.
Dia seketika menyimpulkan kalau mereka berdua bukanlah penyebabnya. Matanya seketika menoleh ke arah lain. Dia kini tidak bisa melihat masa depan jadi dia harus berhati-hati pada serangan yang akan datang.
"Mau kemana kau, Dina?" Sebuah suara dari samping mengejutkannya, bahkan kedua gadis yang berada di dekatnya juga ikut menoleh.
Wanita itu menoleh perlahan dan hati-hati.
Saat melihat ke sana, dia mendapati sebuah sileut bayangan dua gadis yang berdiri berdampingan. Gadis berkacamata itu tidak terlihat bisa bertarung karena sihirnya tersegel, namun beda cerita dengan gadis dengan rambut yang diikat horsetail itu dan berpakaian bak preman itu.
Pisau yang dia gunakan adalah asli.