Satu penganggu sudah musnah, sekarang tinggal satu lagi.
Rina yang masih tergeletak di dekat pohon mencoba berdiri sambil berpegangan pada pohon itu.
Tubuhnya yang habis terhantam oleh sepatu zirah itu masih belum bisa menerima dirinya yang terluka. Butuh beberapa waktu untuk sampai dia benar-benar kembali pulih seperti semula.
"Hah--- Akhirnya hilang juga penganggu itu..."
Rina menoleh dari ke arah tempat Rena terakhir terlihat ke arah dua gadis yang sedang bersama dan menatap tajam dirinya.
"Sepertinya, tinggal menghancurkan kalian saja..." Senyuman menyeringai menyertai kebangkitan wanita itu dari tidurnya. "... Tak kusangka, anak itu-- laki-laki itu maksudku... Dia bisa menghantam dan menghancurkan sihirku untuk kembali ke masa lalu..."
Rina berjalan mendekat ke arah Ira dan Hannah seperti sedang fashion show.
Meskipun dengan pakaian pelayaj yang sudah compang-camping, dia tidak terlihat terganggun dengan itu, dia bahkan menganggap biasa hal seperti itu.
"Tapi..." Wanita itu kembali menoleh ke belakang dan melihat ke tempat Rena terakhir kali memghilang.
Saat melihat tempat itu, matanya seperti melebar ketakutan dan menganggap adanya bahaya yang mengerikan akan datang.
"... Sepertinya yang mengerikan di sini bukan hanya dia(Randy)..."
Rina memegangi dagunya dan hanyut dalam pikiran.
"Apa maksudmu dengan kalimatmu tadi?" Ira bertanya dengan berteriak.
Suaranya bahkan sampai terdengar serak hanya karena teriakan itu.
"Eh(menoleh ke arah Ira)... Tidak, bukan apa-apa..."
Berharap mendapatkan informasi dari musuh dengan gratis adalah hal yang mustahil.
"Sudahlah, aku tidak perlu tahu apa-apa dari mulutmu. Yang pasti sekarang, kami di sini punya perintah, yaitu menghentikanmu!"
Ira menguatkan kepalan tangannya, matanya melotot ke depan tepat ke arah wajah Rina yang menyeringai sombong.
"Perintah, ya?"
Rina memegang panggulnya sebelah dan memasang ekspresi yang menandakan kalau dia semakin tertarik dengan situasi sekarang.
"Bodoh Ira! Kau tidak seharusnya memberitahunya!"
"Ma-maaf..."
Kesunyian menimpa mereka, kini tak ada satupun suara yang menyertai selain suara angin yang menggerak-gerakkan dedaunan di pepohonan.
Rina mengangkat moncong pistolnya ke atas sebuah pohon tanpa mengalihkan pandangan wajah dan badannya.
Dia membidik tanpa perlu melihat targetnya.
"Keluarlah! Aku tahu kamu di sana!"
Rina menyadari keberadaan hawa misterius itu.
Tak lama setelah itu, gemerisik dedaunan yang berjatuhan terdengar di bagian pohon yang ditodong itu.
"Ah~ sepertinya aku ketahuan..."
Cewek dengan rambut bergelombang, dan badan yang bisa dibilang menjadi idaman para laki-laki muncul dan memperlihatkan dirinya pada wanita itu.
Senyuman menyeringainya terpampang meskipun dia berada di situasi yang bisa membuatnya mati kapan saja.
"Rina~ orang yang menjadi pembantu dari kakaknya, karena cemburu dengan keadaan sosial kakaknya dia sampai melakukan ini."
Dian menghina lawannya tanpa ada rasa takut kalau peluru akan bersarang di kepalanya kapan saja.
DOR!
Baru saja sang narasi bertitah, sebuah tembakan ditembakan ke arahnya, namun beruntung...
Tembakan itu mengenai tepat di samping kepala cewek itu.
Dian yang mengoceh hanya bisa terdiam melongo, dia masih merasakan panasnya tembakan yang meluncur dan menggores pipi lembutnya.
"Ah~ kamu mainnya kasar..."
"Itu tidak akan terjadi jika kau menjahit mulutmu menjadi satu."
"Cih, dasar wanita pemaksa..."
Wajah menyeringai Dian menghilang dan digantikan dengan wajah yang mengkerut seperti saat melihat sesuatu yang menjijikkan.
"Dari apa yang terlihat sekarang, sepertinya aku benar-benar terdesak di sini... Lawanku melebihi jumlah yang bisa kuatasi, terlebih lagi..." Mata Rina mengunci ke arah Dian. "... Dasar pengguna sihir penyegelan sialan."
Mendengar pernyataan Rina, Dian kembali menyeringai namun juga wajahnya yang kebingungan dalam senyuman itu tidak bisa disembunyikan.
'Bukankah sihir penyegelanku hanya berfungsi pada orang yang menerima sihir dari Dewi Apate?'
'Apakah aku masih melewatkan sesuatu?'
Dian mencoba berpikir dalam genangan memori.
"Mau sampai kapan kalian diam terus? Apa kalian tidak ada inisiatif untuk maju dan menghajar wanita yang sudah tidak berdaya ini?" Pekik Rina pada mereka semua.
Kedua tangannya di angkat ke atas seperti sedang menantang Tuhan sekalipun.
Ira, Hannah, dan Dian hanya bisa diam dan mencurgai wanita itu.
"Sttt(berbisik)... {Aku yakin ada jebakan di baliknya!}" (Hannah)
"{Aku juga tahu bodoh... Mana mungkin aku terpancing semudah itu...}"
"{Siapa yang kau panggil bodoh?!}"
"{Bodoh, kecilkan suaramu!}"
Baik Dian yang berada di atas dahan pohon, maupun Rina yang sedang terluka, mereka berdua melihat kebodohan mereka berdua yang teralihkan di tengah-tengah pertarungan seperti ini.
"Cih, sepertinya aku harus segera menyelesaikannya?"
Rina mengangkat kembali pistolnya dan kini dihadapkan kembali ke arah dua gadis yang sedang berantem itu.
"Time Shot..." ucapnya sambil mengangkat dessert eagle-nya.
Sekitar 10 lubang yang berbentuk tidak beraturan muncul di belakang wanita itu.
Lubang itu adalah lubang yang sama seperti saat dia akan menghabisi Rena saat itu.
Di setiap lubang itu akan mengeluarkan beberapa tembakan peluru yang meluncur sangat cepat. Jika saja tadi Rena tidak segera diselamatkan tuannya, maka dia jelas akan mati oleh serangan itu.
Kini kedua gadis itu harus menghadapi sihir itu, entah bisa apa tidak mereka melewatinya, namun yang harus mereka lakukan sekarang adalah bekerja sama.
"Apa kita bisa selamat?" Tanya Ira pada Hannah yang berada di sampingnya.
Hannah membenarkan kacamatnya dan membuat kedua rambutnya yang dikepang menjadi dua bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri.
"Hah, jadi itu jawabanmu? Kalau begitu, ayo kita mati bersama..."
"Kau pasrah?"
"Tidak... Itu mustahil, terlebih lagi, Randy pasti akan marah padaku jika aku berakhir di sini."
"Rencana?"
"Oh~, matamu jeli sekali... Padahal ini dikegelapan..."
"Tidak usah banyak bacot, katakan saja!"
"Keluarkan sihir yang sama seperti saat kita bertarung melawan Charybdis, sihir perisai yang berbau harum itu... Jelas akan bisa menahan serangannya."
"Kenapa kau bisa yakin?"
"Firasat saja, saat wanita itu menembakkan peluru yang berasal dari lubang itu, bau tidak sedap terasa di saat peluru itu meluncur melewati kita."
"Jadi kau bermodalkan firasat itu, jadi kau menghiraukan kalau sekarang nyawamu dalam bahaya? Dan tidak mencoba berpikir sesuatu yang lebih logis?"
"Itu sudah paling logis!"
Mereka kembali terbawa ke dalam dunia mereka sampai kembali lupa dengan keberadaan Rina yang sudah bersiap menembak.
"Apa sudah berantemnya? Karena aku sudah siap menembak."
Pelatuk pistol itu semakin ditarik, secara perlahan.
"Sebaiknya aku tidak mau menunggu, karena menunggu itu membuatku kesal!"
Saat menyinggung soal menunggu, baik Ira, Hannah, dan Dian sudah tahu siapa yang disinggung oleh wanita itu.
Pelatuk sudah semakin dekat, dan...
"Berhenti sampai sana, Rina!"
Suara wanita yang terdengar tegas namun juga gahar terdengar di belakang wanita yang siap menembak itu.
Saat Rina menoleh ke belakang, dia melihat sesosok wanita dengan rambut panjang yang menjuntai sampai punggung, dan rambut panjang yang berada di depan bahu yang berbentuk seperti rumus DNA sedang mengangkat tangan kanannya ke depan seperti sedang memerintahkan Rina untuk segera menghentikan aksinya.