Di sebuah tempat yang menyerupai koloseum. Dua kstaria bertarung satu sama lain, kedua pedang mereka saling mengayun satu sama lain, kedua perisai mereka saling menahan satu sama lain.
Kedua ksatria yang berzirah penuh layaknya pasukan salib itu saling bertarung layaknya seorang barbarian. Mereka dibedakan dengan warna hitam dan putih, ksatria hitam terlihat mengungguli ksatria putih saat ini. Entah kenapa bisa begitu, namun seperti ada penyebab yang membuat mereka menjadi seperti itu.
Ting! Ctang! Clang!
Kedua baja itu saling menghantam satu sama lain untuk memperlihatkan siapa yang kokoh dan siapa yang lembek di antara mereka.
Di tempat bagian penonton, ada satu buah kursi raksasa yang digunakan seseorang untuk mendapatkan pemandangan paling bagus di koloseum itu.
Seorang wanita berambut jingga panjang sampai punggung layaknya terbakar oleh matahari, memiliki rambut bor yang berbentuk seperti DNA di kedua bagian depan kupingnya, dan memiliki perhiasan seperti mahkota emas yang berbentuk bando sedang duduk di sana, dia sedang tersenyum manis sambil menahan pipinya dengan genggaman tangannya. Apa yang wanita itu lihat tidak lain dan tidak bukan adalah pertarungan kedua kstaria itu. Dia merasa sangat senang hanya dengan menonton pertunjukkan itu, bahkan senyumannya sulit untuk lepas dari wajahnya.
"Lihatlah! Bagaimana kedua orang itu menghiburku..."
"Sungguh, orang yang sangat baik. Bahkan mereka rela membuang nyawa mereka hanya untuk menghiburku dan rakyatnya."
Semua yang wanita itu katakan jelas berputar balik dengan fakta yang sebenarnya.
Mereka tidak sedang menghibur wanita itu atau rakyatnya. Melainkan mereka sedang berjuang hidup demi melihat cahaya hari esok. Mereka adalah budak yang terpaksa bertarung antara hidup dan mati karena dipaksa melakukannya oleh tuan mereka.
SLASH!
Salah satu ksatria berhasil menghabisi lawannya sampai terbaring tak bernyawa di atas tanah itu. Darahnya mengalir deras sampai membasahi tanah yang mereka gunakan bertarung.
Sedangkan ksatria yang menang hanya bisa bergetar hebat, air mata membasahi pipinya yang sudah berkeringat.
Seketika ksatria itu mendangak ke atas dan tepat ke arah wanita cantik itu.
"HARGGGG!" Ksatria itu mengangkat pedangnya yang berlumuran darah sambil berteriak kencang.
Teriakannya bisa di dengar oleh seluruh pengunjung koloseum itu.
Di sisi lain, wanita cantik itu tersenyum semakin lebar.
"Ternyata pemenangnya selalu tidak terduga, ya?"
"Kasihan sekali yang sudah mempertaruhkan uang mereka kepada ksatria hitam. Dia mati di saat orang-orang berpikir dia akan menang."
"Di sisi lain, ksatria putih yang tadi mereka kira akan kalah karena terlihat seperti pecundang malah berakhir memenangkan pertarungan."
"Dan beruntungnya..." Wanita itu mengangkat kartu taruhannya. Tertulis di kartu itu kalau dia bertaruh 1000 buah emas pada ksatria putih itu. "... Aku memilih orang yang benar."
"Seperti yang diduga dari tuan putri, anda memang hebat."
Seorang pelayan yang berpakaian serba kendur datang mendekat dan berdiri di belakang putri itu. Jika dilihat dari perawakannya, pelayan itu memiliki rupa yang hampir sama dengan sang wanita cantik itu. Yang membedakan hanyalah rambutnya yang pendek dan rambut bor yang ada di depan telinganya berbentuk seperti RNA.
"Tentu saja, aku tidak mungkin salah. Karena aku adalah penguasa di Time Fracture, dan juga penguasa masa depan!" Wanita itu berdiri sambil memperlihatkan dominan-nya.
"Dina- maksud saya, Nona Dina, kumohon. Duduklah..." Dengan sangat sopan, pelayan itu membungkuk dan memberi saran pada sang wanita yang dia panggil nona tadi.
Mendengar permintaan pelayan itu, sang wanita kembali duduk di kursinya dan langsung menatap bosan arena pertarungan ini.
"Rina, apa kita sebaiknya langsung pulang saja? Aku sudah muak di sini. Tidak ada yang membuatku tertarik."
"Baiklah, nona(membungkuk)..."
"Oh, iya... Hati-hati, nanti di depan ada 3 orang yang akan menghadang kita. Daripada kita hadapi, ayo kita cari jalan lain saja."
Wanita yang dipanggil Dina itu memindah rute keluarnya dari koloseum itu. Dia bagaikan sudah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Lebih tepatnya, apa yang terjadi di masa yang akan datang sudah ia ketahui sejak awal.
"Baiklah, Nona Dina..."
Dengan begitu, kedua wanita itu bisa keluar dari koloseum tanpa adanya gangguan dan tanpa harus menggunakan kekuatan mereka.
***
Kukuruyuk!
Suara ayam berkokok membangunkan Randy di pagi buta.
"Hah?!" Laki-laki itu sontak kaget dan langsung melihat jam yang ada di ponselnya.
"Masih jam 4 pagi... Aughh."
Saat melihat jam yang masih terlalu pagi untuk beraktivitas, dia kembali menjatuhkan dirinya ke kasur dan melanjutkan mimpinya.
Namun....
Tok! Tok Tok!
Seseorang mengetuk pintu rumah.
"Siapa yang datang sepagi ini?"
Randy mencoba melanjutkan tidurnya tanpa memikirkan suara itu. Palingan ibunya yang akan menjawab ketukan pintu itu.
Tapi semua tidak seindah seperti yang diharapkan, karena...
"Randy! Jawab ketukan pintu itu! Ganggu orang tidur aja!" Teriakan ibunya meminta Randy untuk yang menyambut ketukan itu.
Kini dia tidak bisa beralasan untuk kembali tidur, perintah ibu adalah mutlak dan harus dilakukan.
"Iya, iya, iya! Ah... Ganggu saja..."
Dengan berat hati, Randy berjalan ke arah pintu utama.
Tanpa mengintip dari jendela, laki-laki itu langsung membuka pintu itu tanpa persiapan.
"Ada apa pagi-pagi buta begi.... Ni..."
Saat Randy membuka pintu itu, dia melihat wajah yang sangat dia tidak percaya akan dia lihat saat ini. Bahkan tepat di depan rumahnya dan terlebih lagi di depan pintu utamanya.
"Yo, Randy..."
"Selamat pagi, tuan Randy(membungkuk)..."
Dengan menekuk bibirnya sampai membuat sebuah senyuman manis. Kedua gadis itu memberi salam dan berjabat tangan dengan laki-laki itu.
'Kenapa mereka ada di sini?'
'Apakah aku mendapat keberuntungan buruk lagi?'
'Tidak, ini bukan sesuatu yang seharusnya kusebut sebagai kesialan.'
Mata laki-laki itu membuka lebar-lebar.
'Ini adalah mimpi buruk!'
"Tuan Randy, anda terlihat sangat ketakutan. Apakah kedatangan Nona Dina membuat anda terkejut, atau..." Pelayan itu menyipitkan matanya, mulutnya membuat senyuman licik. "... Anda tersipu karena tiba-tiba Nona Dina datang?"
Tentu saja apa yang Rina katakan adalah sesuatu yang berbalikan dengan apa yang laki-laki itu pikirkan.
Dia tidak sama sekali berpikir begitu, lebih tepatnya, kenapa wanita ini datang secara tiba-tiba?!
Sepertinya hidupnya setelah ujian akan semakin sulit karena kedatangan wanita ini.
"Hah(menghela nafas)... Sebaiknya..." Randy mulai tarik nafas.
"Kau mau apa?" Dina terlihat bingung dengan apa yang laki-laki itu akan lakukan.
Tapi dia tidak perlu dibuat kepo terlalu lama, karena...
"IBU! ADA TANTE DINA SAMA ADIKNYA KE RUMAH!" Dengan berteriak sampai membuat rumah bergema layaknya diguncang gempa, Randy memanggil ibunya yang bermalas-malasan di kamar.
Tiba-tiba, suara yang terdengar sepeti orang yang merenovasi rumah terdengar di kamar orang tua laki-laki itu.
Bagaikan Flash, ibu datang dan menghadap kedua wanita itu.
"Halo, Dek Dina, apa kabar?" Dia menyapa tamunya. "Bagaimana kabarmu juga, Dek Rina?" Tak lupa pula dengan pelayan yang ada di belakangnya.
"Baik(membungkuk)..."
"Ba-baik(tersenyum kecut)..."
Penyebab Dina tersenyum kecut bukan karena dia melihat wajah saudaranya, melainkan dia merasa tersinggung karena disebut tante oleh anak dari kakaknya.
Sepertinya akhir pekan akan menjadi penuh dengan warna dengan kedatangan mereka berdua.
Mungkin...
Karena jika Randy mengetahui sesuatu yang berada di balik kedua tantenya, maka akhir pekan yang dipenuhi warna itu akan hilang dan berubah menjadi merah, hitam, ataupun putih.