"Aku beri waktu lima belas menit. Kau harus segera angkat kaki dari rumah ini! Dasar benalu!" Patricia berkacak pinggang di depan pintu kamar yang terbuka lebar.
Genevieve mengemas barang-barang yang dianggapnya paling berharga ke dalam tas ransel. Hati Genevieve sangat tak nyaman dengan tudingan yang dilontarkan oleh Patricia, putri Nyonya Debby sang pemilik flat.
Patricia mengatakan berkali-kali kalau Genevieve tak lebih dari benalu yang memanfaatkan kebaikan hati Nyonya Debby. Tak hanya itu, hinaan pun terlontar dari bibir Patricia yang dipoles dengan lipstik berwarna merah. Tanpa perasaan, Genevieve dituding sebagai perempuan kotor yang dicampakkan ketika hamil.
"Jangan sampai kau mengambil barang-barang milik Ibuku!" Patricia mendengkus marah.
Tangan Genevieve langsung berhenti memasukkan barang ke dalam tas. "Ada baiknya Anda periksa saja tas saya sebelum menuduh, Nona Patricia."
Genevieve ingin marah, tetapi tak baik baginya untuk membalas semua perbuatan kasar Patricia. Dia takut Liesel akan terhasut. Hal itu tak baik untuk mental gadis kecil berusia tiga tahun, bukan?
Maka Genevieve menelan bulat-bulat harga diri yang hangus terbakar atas semua ucapan kasar dari mulut Patricia.
"Ide bagus. Jika terbukti mengambil benda berharga milik Ibu, aku tak akan ragu melempar kau ke penjara!" Patricia melangkah masuk, suara ketukan high heelsnya menggema di ruangan kecil yang ditempati oleh Genevieve.
Genevieve merapatkan bibirnya. Barang-barang berharga milik Mellysa yang tadinya sudah tertata rapi, diacak-acak oleh Patricia. Dia takut kelepasan meneriaki gadis angkuh berpakaian minim itu.
"Sayang sekali, kau hanya punya barang-barang butut. Tak berharga. Sama sepertimu." Patricia menatap jijik bergantian pada kedua telapak tangannya. Seolah-olah tangan itu habis menyentuh benda-benda buruk yang mengandung banyak kuman dan virus.
Lagi-lagi Genevieve harus menahan perasaan yang hendak meledak. Egonya melarang keras air mata yang bisa tumpah kapan saja.
"Mommy."
Genevieve menoleh ke arah pintu. Senyumnya mengembang melihat Liesel yang berjalan mendekat. Genevieve menyembunyikan rapat-rapat luka hati yang berdarah atas semua hinaan Patricia.
"Apa kau sudah menghabiskan susu dan biskuit itu?" tanya Genevieve seraya mengelus lembut pipi kemerahan milik Liesel.
"Sudah. Apa kita akan pergi jalan-jalan?" Liesel menatap pada barang-barang yang berantakan di atas ranjang kecil mereka.
"Iya. Kita akan melakukan perjalanan jauh. Lily suka?" Mati-matian Genevieve menahan suaranya agar tak terdengar memilukan.
Liesel langsung melompat kegirangan seraya memeluk Genevieve. Ah, tangis Genevieve nyaris saja luruh karena sudah membohongi putri kecil itu.
"Hei, jangan bermain drama di sini! Cepatlah! Waktuku tak banyak."
Genevieve menatap dingin ke arah perempuan sombong itu. Namun, ketika Liesel melepaskan pelukan, Genevieve langsung membuang muka ke arah tumpukan barang. Lagi-lagi dia harus menata hati agar tak meninggalkan jejak buruk di memori gadis kecil itu.
"Pergilah ke depan. Duduk yang manis sementara Mommy membereskan ini." Genevieve menunjuk ke arah ranjang.
Liesel mengangguk lalu menuruti perintah Genevieve. Dengan cekatan, Genevieve menyusun kembali barang-barang yang paling berharga itu. Semua di bawah pengawasan tatapan tajam Patricia.
"Sudah. Terima kasih, Nona. Aku pamit." Genevieve memakai tas ransel itu lalu berjalan keluar. "Ayo, Schatz. Kita pergi."
Liesel mengangguk sembari membawa boneka kelinci yang diletakkan di atas meja. Satu-satunya mainan yang pernah dibeli Genevieve untuk Liesel.
Beberapa tetangga yang berkerumun menatap iba pada Genevieve dan Liesel. Namun, tentu saja mereka tidak mau repot-repot menawarkan bantuan. Genevieve tersenyum sopan seraya mengangguk pada mereka sebagai isyarat pamit.
Tanpa terasa, Genevieve dan Liesel sudah berjalan dua blok dari tempat tinggal mereka.
"Schatz, apa kau merasa lelah?"
"Tidak, Mommy. Aku suka jalan-jalan. Kita jarang melakukannya."
Ada perih yang kembali mengiris hati Genevieve. Jawaban sederhana dari bibir mungil Liesel membuatnya merasa gagal menjadi seorang Ibu yang baik. Selama ini, Genevieve hanya bisa membawa gadis kecil itu bermain di taman dekat flat saja.
"Kita mau ke mana, Mommy?"
Pertanyaan itu membuat Genevieve bingung. Benar. Dia bahkan tak tahu harus ke mana. Mata Genevieve memindai sekeliling. Ada bangku kosong yang bisa mereka pakai.
"Lily, kita duduk dulu di situ. Mommy harus menghubungi seorang teman."
Leisel duduk sembari memangku boneka kelincinya, sedangkan Genevieve langsung merogoh kantong celana untuk mengambil ponsel.
Dalam benak Genevieve, hanya ada satu nama. "Beatrice, bisakah kau menolong kami?"
**
Hujan mengguyur kota Berlin di malam hari. Genevieve dan Liesel baru saja turun dari kereta. Gadis kecil itu sedang tertidur pulas dalam pelukan Genevieve.
Di bangku panjang yang disediakan berjejer rapi di dalam ruang tunggu, Genevieve membaringkan Liesel. Dia berusaha agar Liesel tak kedinginan. Namun, dia hanya punya sehelai selimut yang sudah pudar dan tipis termakan usia.
Liesel meringkuk di pangkuan Genevieve. Gadis itu menggigit bibir, menahan tangis ketika menyelimuti tubuh Liesel.
"Maafkan Mommy, Schatz," bisik Genevieve, lirih.
Gagal. Air mata Genevieve luruh juga. Gadis itu kembali menggigit bibir kuat-kuat agar tak terisak-isak.
"Ve."
Genevieve menoleh. Matanya mengerjap. Orang yang sedari tadi dia tunggu sudah tiba. Genevieve tak lagi bisa membendung tangis ketika Beatrice memeluk erat.
"Maaf, aku terlambat. Hujan deras menghambatku." Beatrice mengelus punggung Genevieve yang sedang duduk memangku Liesel.
"Terima kasih sudah sudi menerima kami, Bee. Aku tak tau harus ke mana membawa Lily."
"Mommy."
"Ah, gadis kecilku terbangun." Genevieve mengurai pelukan.
"Hai, Schatz. Aku, Bibi Beatrice." Beatrice berjongkok di depan Liesel yang sedang mengucek mata.
"Hai, Bibi. Aku Liesel. Mommy biasa memanggilku Lily."
"Nama yang cantik seperti orangnya," puji Beatrice lalu menengadah menatap Genevieve. "Ayo, kita pulang."
Genevieve tak henti mengucap terima kasih pada satu-satunya sahabat yang dimiliki sejak mereka bersekolah di asrama.
"Maaf. Hanya ini flat yang tersisa." Beatrice menghela napas berat.
Genevieve tersenyum. "Ini jauh lebih dari cukup, Bee. Aku sadar dengan keterbatasan biaya."
Mereka masuk ke dalam flat berukuran kecil itu. Hanya ada satu single bed di samping kamar mandi.
Genevieve membaringkan Liesel yang kembali tertidur pulas dalam perjalanan menuju flat ini.
"Ve, ada banyak hal yang ingin aku tanyakan. Tapi tidak malam ini karena kalian pasti lelah." Beatrice mengelus punggung Genevieve.
"Ya. Ada banyak kejadian yang cukup menguras emosiku hari ini, Bee." Genevieve berucap tanpa mengalihkan pandangan dari Liesel.
"Lebih baik kau segera mengganti pakaian. Cuaca sedang tidak baik. Jangan sampai kau jatuh sakit."
Genevieve mengangguk lalu berbalik badan. Dipeluknya tubuh Beatrice. "Terima kasih. Maaf, aku merepotkanmu."
"Tidak sama sekali. Ah ya, flatku ada di lantai bawah. Kalau perlu sesuatu, ketuk saja pintuku."
"Ya." Genevieve mengangguk.
Pelukan itu diurai. Beatrice beranjak pulang. Genevieve bersandar di pintu yang baru saja ditutup oleh Beatrice. Tubuh lelah Genevieve merosot ke lantai.
Tangis Genevieve pecah. Namun, dibekapnya mulut untuk meredam suara isakan. Hidup di kota besar tanpa punya gambaran tentang masa depan baginya tak mengapa. Hanya saja, dia tak ingin menyeret Liesel dalam kumparan kemiskinan yang menyedihkan ini.
"Maafkan Mommy, Lily."
***