"Selamat pagi. Tidurmu nyenyak?" tanya Beatrice, cemas.
"Apa aku tampak sangat mengerikan?" Genevieve berusaha bercanda.
Beatrice menunjuk. "Ada lingkar hitam di bawah mata. Kau tak tidur dan hanya menangis semalaman?"
Genevieve tersenyum. Tentu saja dia tak ingin menambah beban pikiran Beatrice dengan mengeluhkan kondisi flat yang mereka diami. Ketika semua pintu tertutup, masih ada sahabat yang sudi mengulurkan tangan saja, sudah seperti anugerah bagi Genevieve.
"Apa kau membutuhkan sesuatu?" Beatrice benar-benar mengkhawatirkan kondisi Genevieve.
"Ya. Bisakah menjaga Liesel sebentar? Aku hendak membeli beberapa barang kebutuhan pokok."
"Oh, ada swalayan beberapa blok dari sini. Kau yakin tidak butuh ditemani?"
"Tenanglah. Aku hanya pergi sebentar. Stok susu Lily sudah habis. Kalau dia bangun, mintalah untuk menungguku."
Beatrice pun langsung menjelaskan di mana posisi blok yang dimaksud. Genevieve mengangguk lalu beranjak keluar dari flat.
Sepanjang perjalanan menuju swalayan, mata Genevieve tak lepas memindai sekeliling. Mencari info lowongan pekerjaan di deretan toko. Namun, nihil.
Mellysa memang meninggalkan sejumlah uang di dalam rekening bank. Namun, tak lantas membuat Genevieve seenaknya memakai uang itu. Bahkan untuk dirinya sendiri pun, Genevieve berhemat ketat. Terlebih ada gizi dan nutrisi Liesel yang menjadi prioritas utama.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya swalayan yang dimaksud oleh Beatrice tampak di depan mata Genevieve. Segera saja gadis itu membeli semua kebutuhan penting yang sudah dicatat di selembar kertas.
Usai berbelanja, Genevieve yang terburu-buru justru menabrak seseorang dari arah belokan samping swalayan. Kantong belanja milik Genevieve robek dan isinya berhamburan.
"Astaga!" Genevieve memekik tertahan lalu buru-buru berjongkok untuk memunguti barang belanjaan yang terserak.
"Maaf. Aku tak sengaja menabrak Anda."
Genevieve merasa waktu seperti berhenti berputar ketika mendengar suara berat tetapi nyaman didengar itu. Dia pun menengadah dan mendapati seorang laki-laki berpenampilan kasual sedang tersenyum hangat.
Laki-laki itu ikut berjongkok di hadapan Genevieve. Tanpa sungkan, lelaki itu membantu Genevieve memunguti barang.
"Tunggu sebentar. Aku akan meminta kantong belanja yang baru untukmu."
Belum sempat Genevieve menjawab, lelaki itu sudah melesat masuk ke swalayan. Benar saja, tak berapa lama kemudian, lelaki asing itu memberi Genevieve kantong belanja baru.
"Terima kasih, Tuan. Maaf, saya tidak berhati-hati tadi. Permisi." Genevieve tersenyum sembari sedikit membungkukkan badan.
Adler Wirtz terpana. Entah mengapa, senyum dari gadis cantik yang sudah berlalu dari hadapan itu, mampu membuat ia merasa nyaman. Adler mengernyit, sudah begitu lama ia tidak menaruh perhatian pada perempuan.
'Ayolah, Ad. Itu hanya senyuman biasa. Kenapa kau malah salah tingkah seperti ini?' Hatinya berbisik, mengejek.
"Ah, di sini kau rupanya. Aku sudah menunggu lama, Ad. Kenapa kau selalu saja mengabaikan aku?" Elma mengalungkan lengannya pada Adler.
Adler langsung melepaskan diri selembut mungkin. "Kau tau aku harus berkeliling, El. Nenek memberiku banyak tanggung jawab."
Elma berdecak kesal. Bibirnya mengerucut. "Tapi, Sayang, tak bisakah kau memberi waktu untuk membicarakan tentang pertunangan kita?"
Adler merasa muak. Selama ini, tidak pernah ada sedikit pun perasaan untuk perempuan yang kembali menggelayut manja itu. Semua dilakukan hanya karena ingin menyenangkan hati ibu dan nenek semata.
Berbeda dengan Elma yang begitu gencar merayu dan menggoda Adler. Sayangnya, usaha perempuan bertubuh seksi itu belum pernah menunjukkan hasil.
"Kau mau ke apartemenku?" Elma berbisik mesra.
"Tidak kali ini, El. Aku masih banyak pekerjaan. Pulanglah. Nanti malam, kita bicara lagi." Adler mencoba berkelit.
"Kau selalu seperti ini. Sayang, Papaku besok datang dari Munich. Beliau mengultimatum, kalau hubungan ini tidak berkembang, aku harus mencari laki-laki lain." Elma mengucapkan semuanya dengan nada manja.
Adler ingin mengutarakan isi hati, tetapi otaknya melarang. Tidak boleh menyakiti hati orang, terlebih di depan umum seperti sekarang.
"Beri aku waktu. Swalayan ini baru saja berjalan tiga bulan, El. Lagi pula ada beberapa cabang baru yang juga harus aku pantau perkembangannya."
Elma mendengkus. "Ya. Selalu begini. Aku tak pernah menjadi prioritas utama bagimu. Kau begitu mencintai pekerjaan itu."
Adler hanya mengedikkan bahu. Seandainya bisa, ia ingin segera menghilang dari hadapan perempuan yang selalu mengejar itu.
"Pulanglah. Aku masih banyak urusan. Nanti aku hubungi lagi."
Elma masih menggelayut manja. "Sayang, aku ingin membeli tas baru."
Adler mengumpat dalam hati. Seandainya bukan karena menghormati permintaan Ibu, tipe perempuan mata duitan seperti Elma sudah lama ia tendang jauh-jauh.
"Ya. Pergilah berbelanja. Nanti kirim saja foto dan harga tas yang kau inginkan. Akan aku bayar."
Elma memekik kegirangan lalu berjinjit untuk mengecup bibir Adler. Untung saja Adler refleks bergeser, sehingga kecupan itu hanya mendarat di pipinya. Namun, Elma tak peduli karena berhasil membeli tas yang baru saja diluncurkan itu.
"Sampai ketemu lagi, Sayang. Ich Liebe Dich."
Adler hanya berdeham. Lelah dengan tingkah Elma yang semakin hari membuat ia merasa tak nyaman.
***
Sudah satu minggu sejak kepindahan mereka, tetapi Genevieve belum mendapatkan pekerjaan yang tetap. Setiap hari, uang yang disisihkannya dari hasil berjualan kue Lebkuchen, semakin menipis.
Genevieve tidak mungkin mengeluh pada Beatrice. Gadis itu juga sedang sibuk dengan kuliahnya. Terkadang Beatrice hanya bisa mampir sehabis makan malam, sekadar untuk menyapa Liesel saja.
"Ve, buka pintunya!" Beatrice mengetuk pintu dengan tak sabar.
Genevieve yang sedang menyuapi Liesel mendadak beranjak untuk membukakan pintu. "Ada apa? Kenapa kau tampak panik?"
Beatrice sibuk mengatur napas. "Aku ... hhh ... melihat ada lowongan pekerjaan di swalayan itu. Cepat, kau harus bergegas ke sana."
Genevieve langsung melompat kegirangan. Harapan untuk mendapatkan penghasilan, segera memenuhi kepalanya.
"Apa kau tidak ke kampus?" Genevieve mendadak menyadari sesuatu.
"Tidak. Dosen mendadak membatalkan mata kuliah hari ini. Aku sempat mampir ke swalayan itu dan melihat lowongan pekerjaan."
"Oke. Aku akan segera bersiap setelah selesai menyuapi Lily."
"Biar aku saja. Kau harus bergegas. Jangan sampai peluang itu disambar oleh orang lain."
Genevieve ikut panik setelah mendengar ucapan sahabatnya. "Tapi ... aku tak punya pakaian yang layak untuk melamar pekerjaan."
Beatrice berpikir sejenak. "Tunggulah di sini. Akan aku pinjamkan."
Setengah jam kemudian, Genevieve sudah berada di ruangan pihak HRD. Jika bukan karena Beatrice, tidak mungkin dia bisa tampil percaya diri seperti saat ini. Gadis baik hati itu bahkan memoles wajah Genevieve dengan make up tipis tetapi memukau.
"Baik, Nona Genevieve. Sudah cukup semua informasi yang perlu saya ketahui. Kapan Anda bisa mulai bekerja?"
Genevieve terperangah. Dia tak percaya kalau takdir Tuhan seolah-olah berpihak kali ini. Gadis itu bahkan mengerjap beberapa kali hanya untuk memastikan bahwa ini bukan guyonan.
"Kenapa?"
"Tidak, Pak. Apa saya bisa mulai bekerja besok?" Genevieve tersenyum.
"Baik. Kamu diterima. Selamat bergabung di Rossie Grup." HRD itu mengulurkan tangan.
Genevieve menyambut uluran tangan itu dengan senyum terkembang sempurna. Mendadak, HRD itu seperti tersihir pesona kecantikan gadis di hadapan. Namun, sikap profesionalitas harus tetap ditonjolkan oleh lelaki itu.
Genevieve pamit. Hatinya benar-benar dipenuhi rasa bahagia. Bagaimana tidak, ini kali pertama dia mendapatkan pekerjaan dengan gaji layak. Genevieve merasa jalan hidupnya akan lebih baik setelah ini.
Adler Wirtz sedang melakukan kunjungan rutin ke cabang swalayan milik keluarganya. Tentu saja para karyawan tidak mengetahui tentang status Adler. Mereka hanya mengira ia hanyalah pengunjung biasa.
Genevieve dan Adler berpapasan di pintu masuk swalayan. Gadis itu tersenyum lebar. Bukan karena merasa mengenal Adler, tetapi karena hati Genevieve sedang bahagia.
Hanya Adler yang tertegun melihat senyuman itu. Mendadak Adler berupaya keras untuk mengingat di mana ia pernah melihat gadis yang sudah berjalan menjauh itu.
"Ah, ya. Dia gadis yang dulu pernah bertabrakan denganku di pintu samping swalayan." Adler mengulum senyum.
***