Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Terjebak Dengan Direktur

Hadira_94
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.1k
Views
Synopsis
Aira Putrikusuma terlahir dari keluarga sederhana. Ibunya bernama Saodah berprofesi sebagai guru honorer, lalu Ayahnya bersama Kusuma berprofesi sebagai tukang ojek.  Sementara Aira yang baru menamatkan Srata satu masih menganggur hingga saat ini. Menganggur dalam arti ia tidak bekerja dalam bidang yang di inginkannya, yaitu mengajar. Semua orang tahu betapa baiknya Aira dari balik cadarnya yang selalu tertutup rapi, namanya sering menjadi buah bibir karena tidak memiliki pacar, apalagi mantan. Namun lebih dari itu para orang tua mendambakan menantu seperti Aira, ramah serta sopan kepada orang tua. Dalam mimpi kecilnya Aira berharap suatu saat nanti akan ada laki laki gentleman nan Soleh yang datang menemui ayahnya. Mimpinya pupus hanya dalam satu malam, ketika ia menghadiri pesta ia malah 'disalah artikan' oleh seorang germo. Hingga akhirnya ia terbangun di atas ranjang bersama seorang Direktur.
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1. Awal Mula

Aira Putrikusuma terlahir dari keluarga sederhana. Ibunya bernama Saodah berprofesi sebagai guru honorer, lalu Ayahnya bersama Kusuma berprofesi sebagai tukang ojek.

Sementara Aira yang baru menamatkan Srata satu masih menganggur hingga saat ini. Menganggur dalam arti ia tidak bekerja dalam bidang yang di inginkannya, yaitu mengajar.

Bukan tidak mau bekerja, Aira sudah mengajukan surat lamaran di berbagai sekolah  yang membuka lowongan, namun karena Aira bercadar, itu menjadi penyebab utama ia tidak diterima. Jadi daripada menganggur Aira mencoba peruntungan dengan menjual aneka kue basah, dan beberapa kue kering lainnya. Ia memasarkan produknya dengan sistem online, terkadang ibunya juga ikut menitipkannya di kantin sekolah. Seminggu pertama Aira  bisa mengumpulkan keuntungan bersih kurang lebih 250 ribu. Setara dengan gaji ibunya yang mengajar selama satu bulan.

"Nduk, anaknya pak kepala sekolah titip salam. Katanya kamu di ajak keluar besok hari Ahad sore." Saodah mengutarakan pesan dari anak kepala sekolah. Ia sebagai seorang ibu tentunya bangga jika putrinya disukai oleh anak kepala sekolah yang sudah menjadi PNS di salah satu perusahaan milik negara. Bukan sekali dua kali Zani menitip salam untuk anaknya. Pernah juga laki laki itu bertandang ke rumahnya, namun Aira malah enggan keluar, dan lebih betah berkutat dengan pekerjaannya di dapur.

"Ai pernah bilang sama ibu, kalau Ai ndak mau pacaran atau apapun kata sejenisnya." Aira memandang ibunya dengan senyum manisnya, mencoba menjelaskan agar ibunya faham bahwa ia benar-benar tidak ingin berpacaran. Karena pacaran itu sama sekali tidak ada manfaatnya_selain mengajak pelakunya ke arah maksiat. 'Oh ndak kok, kita pacaran ndak ngapa ngapain!' kata sebagian orang. Yo, kalo ndak ngapain yo ngapain pacaran? Ngono lho logikane.

Ada banyak alasan mereka untuk menghalalkan pacaran. Padahal dari pacaran lahirlah zina, pembunuhan, judi dan berbagai kerusakan lainnya. Yang paling dirugikan adalah wanita. Sudah banyak sekali kasus, berita demi berita, anak anak di buang karena di anggap aib,  ada yang sampai di angkat rahimnya karena keguguran, lalu ada juga yang stres lalu bunuh diri dan berbagai macam kasus mengerikan lainnya.

Mau seperti apapun kisah 'cinta' yang mereka agungkan sebelum akad, cintanya hanyalah kata kata palsu karena belum berani menemui penghulu.

"Ibu ndak enak menolak. Tolonglah nduk, tadi Zani hanya minta di temani ke pesta temannya. Yoo... ibuk kan malu mau menolaknya di depan teman-temannya ibuk." Saodah memohon kepada putrinya. Ia memang tau bahwa anak semata wayangnya akan menolak, tapi ia sudah terlanjur mengiyakan ajakan Zani.

"Piye tho... Biar saja anak kita di rumah. Kamu itu aneh aneh aja, nyuruh anak kita keluar." Kusuma yang dari tadi menjadi pendengar mengutarakan pendapatnya. Ia malah bersyukur anaknya tidak berpacaran. Karena teman teman seprofesinya malah mengeluhkan anak-anak gadis mereka yang sering pulang malam dan memiliki banyak pacar.

"Bapak gimana sih, harusnya bangga anaknya di taksir PNS." Saodah tetap kekeh dengan keinginannya. Setidaknya ia bisa membungkam mulut mulut tetangganya yang mengatakan anaknya tak laku karena jelek, mata juling, gigi kuning, dan berbagai ucapan miring yang mereka ucapkan. Hah, sebagai seorang ibu ia tentu saja tidak terima.

"Baru PNS, kemarin anak gadis bapak di tanyakan nomernya sama polisi." Kusuma tertawa, menarik pipi isterinya.

"Terus bapak kasih?" Saodah bertanya sewot. Menepis tangan suaminya pelan.

"Bapak kasih, katanya mau pesan kue." Kusuma kembali tertawa melihat ekspresi isterinya yang kelihatan kesal. Sementara Aira hanya tertawa melihat interaksi kedua orang tuanya.

"Pokoknya ibuk minta tolong sama Aira, kali ini aja." Ucap Saodah, meninggalkan Aira dan suaminya yang masih tertawa.

"Wes, boleh pergi kamu. Nanti bapak bicara dengan Zani. Bisa gawat kalau ibu kamu ngambek." Kusuma menepuk pucuk kepala putrinya kemudian menyusul isterinya ke kamar.

.

.

.

Hari Ahad yang Saodah tunggu pun tiba. Ia membantu Aira memakai pakaian terbaiknya. Gamis terusan berwarna Milo, dan Khimar berwarna coklat susu lengkap dengan cadar berwarna senada.

"Nanti jangan jauh-jauh dari Zany. Ibuk takut kamu hilang." Saodah berperan kepada putrinya yang di balas anggukan kecil.

"Senyum dong, hanya hari ini. Besok-besok ibuk janji tidak akan menyuruh kamu pergi dengan Zani." Saodah kembali menghibur putrinya yang masih berwajah murung.

"Do'akan ya Bu, semoga Allah jaga aku di sana." Aira mengutarakan ketakutannya. Ia memang sudah was was dari hari pertama ibunya mengabarkan bahwa ia harus pergi dengan Zani.

Aira memang tahu bahwa nama Zani cukup harum di desanya, bebas dari rumor jahat, tapi siapa yang tahu bahwa itu hanyalah kamuflase semu? Ia sudah mencoba berprasangka baik, tapi susah. Mengingat ini pengalaman pertamanya keluar dengan laki laki lain selain ayahnya.

"Nduk, ayo berangkat. Zani sudah menunggu." Kusuma menjemput putrinya yang tak kunjung keluar, lalu mengantarkan anaknya ke teras, dimana Zani sudah menunggu.

"Kalau begitu kami berangkat dulu, Om... Tante.." Zani menyalami orang tuanya Aira bergantian, lalu membukakan Aira pintu mobil. Keduanya pun meluncur menuju tempat acara yang berada di pusat kota.

"Kamu masih mau menjadi guru?" Zani membuka pembicaraan, melihat Aira yang terlihat canggung.

"Masih berniat kak." Aira menjawab sambil meremas tangannya gugup.

"Kemarin teman aku menawarkan lowongan kerja. Cuma karena aku sudah nyaman di tempat kerja sekarang, aku tolak. Kamu bisa tanya tanya nanti, kebetulan teman teman seangkatan aku semuanya akan datang." Zani menatap kulit putih mulus Aira beberapa saat, kemudian kembali fokus mengemudi. Ia tahu di balik gamis yang sering di pakai Aira, terdapat kecantikan alami yang terjaga, baik dari jamahan tangan laki laki, maupun bidikan kamera seperti hijabers jaman now yang doyan selfi. Ia saja yang sering 'jajan' di kota tetap menginginkan wanita seperti Aira, yang selalu menjaga diri.

Menyejukkan mata  yang memandang Aira karena keramahtamahan nya kepada setiap orang. Apalagi kepada orang tua, Zani bahkan hafal dengan ucapan ibunya yang selalu bercerita tentang Aira, Aira, dan Aira. Seolah-olah di desa hanya ada gadis itu, padahal Aira hanya gadis biasa yang bahkan tidak memiliki pekerjaan. Berbeda dengan gadis gadis yang sering Zani kencani, meskipun bertitel dan berpendidikan mereka dengan suka rela menyambut pelukannya, atau terkadang Zani mendapatkan bonus lebih.

Setelah perjalanan  dua puluh lima menit_yang kebanyakan di isi keheningan_akhirnya mereka sampai di tempat acara.

Zani dan Aira turun, karpet merah menyambut mereka seolah sedang menghadiri acara fashion show.

Aira memandang sekelilingnya sepersekian detik, mencoba untuk bersikap biasa saja, padahal ia sungguh kagum luar biasa. Orang yang mengundang Zani pasti orang yang super kaya. Terbukti dengan dekorasi pesta ala ala aktris yang sering Aira lihat di TV, glamor dan mewah.

Tamu undangan yang hadir pun  berkelas dengan fashion nyentrik dan kekinian.

"Kamu tunggu di sini sebentar, saya mau menghampiri teman di sana."

Belum selesai kekaguman Aira, Zani sudah meninggalkannya di sebuah meja, tanpa menunggu persetujuan Aira yang masih kebingungan dengan suasana di sekitarnya.

.

.

Saodah dan Kusuma sudah datang sejak pagi buta ke rumah orangtua Zani. Bahkan keduanya menunggu dengan tak sabar pasangan suami-istri itu pulang dari masjid. Semalam mereka tidak bisa tidur nyenyak, karena gadis satu satunya belum juga pulang. Handphone Zani maupun Aira tidak aktif, sementara orangtua Zani hanya menyuruh mereka menunggu, tanpa kepastian.

"Assalamualaikum," Farah dan Farhan mengucapkan salam begitu melihat orangtua Aira yang berdiri di depan gerbang.

Farah mempersilakan Saodah dan Kusuma masuk, tak lupa menyuguhkan teh hangat agar suasana lebih nyaman.

"Aira belum pulang." Kusuma mengutarakan kekhawatirannya.

Sebab seumur hidupnya ia tak pernah jauh dari putrinya, kuliah pun Kusuma yang mengantar jemput Aira. Jadi sudah jelas putri cantiknya bukan anak yang suka keluyuran tanpa meminta izin.

"Kami sudah menghubungi Zani. Katanya ia mengira Aira sudah pulang, karena ia tidak menemukan Aira dimanapun. Zani terkejut karena ia sudah sampai di kontrakannya saat kami mengabarkan. Jadi ia kembali ke gedung tempat acara, mengira jika Aira tersesat. Namun sampai jam dua pagi Aira tidak ditemukan." Dengan berat hati Farhan menyampaikan pesan dari Zani.

"Bisakah kami meminta alamat Zani? Kami ingin mencarinya." Saodah mengusap air matanya, ia menyesal karena memaksa anak gadisnya keluar dengan Zani. Menyalahkan Zani-pun terdengar mustahil, karena Zani anak yang jujur. Juga terbukti dari CCTV yang ditunjukkan Farhan bahwa Aira pergi beberapa saat setelah Zani pergi.