Siang berganti malam kelakuan anak dan bapak yang memperebutkan gadis bernama Anya masih saja berlangsung. Jika kemarin Mario dengan sengaja mengikuti sang ayah dan Anya saat makan malam, maka beda kali ini. Mario terang – terangan ikut dengan sang ayah meninjau lokasi yang akan di bangun sebuah rumah sakit di sebuah kota di pulau Bali.
"Anya, biar gue yang nyetir." Ucap Mario tiba – tiba sambil merebut kunci mobil yang Anya pegang.
Anya hanya terbengong karena tak mengira jika Mario akan benar – benar ikut dengan mereka.
"Anya..."
Anya menoleh ke sumber suara.
"Ya bos.."
"Kamu duduk di belakang, saya yang di depan."
"Oke bos,"
Anya langsung membukakan pintu depan sang bos. Mario tersenyum karena mengira jika Anya lah yang akan duduk bersama nya di depan, namun Ia harus merasakan kecewa saat melihat sang ayah yang masuk ke dalam mobil dan duduk di samping dirinya sedang kan Anya membuka pintu mobil di bagian belakang.
"Kok papa yang di depan?" Tanya Mario sambil menatap sang ayah dengan kesal.
"Kenapa? Kamu tak suka duduk dengan ayahmu? Ayo jalan!"
Akhirnya Mario memilih pasrah dan menjalankan mobilnya sambail sesekali melihat Anya melalui kaca spion.
Anya yang duduk di bangku belakang nampak begitu santai dan justru sibuk dengan berkas yang ada di tangannya tak sedikitpun ia menghiraukan Mario yang begitu gusar dengan sikapnya.
'Sialan! Susah banget dapetin ni cewek!' Batin Mario sambil menatap Anya melalui kaca spion.
"Tidak semua perempuan bisa dengan mudah kamu dapatkan." Ucap sang Ayah tiba – tiba seolah mengerti apa yang sedang Mario pikirkan.
"Maksud ayah?"
"Anya, apa berkas – berkas untuk rumah sakit sudah kamu bawa semua?" Tak menjawab Pertanyaan dari Mario namun Pak Burhan justru mengalihkan pembicaraan dengan bertanya dengan Anya.
"Sudah bos." Sahut Anya sambil mengangkat beberapa berkas di atas pangkuannya.
Drrrtttt Drtttt
"Hallo.." Jawab Anya saat tiba – tiba ponselnya berdering dengan nyaring.
"Ya bu, nanti Anya akan kirimkan uangnya, Ibu jangan khawatir ya." Ucap Anya dengan nada lembut, yang membuat Mario mengerutkan dahi, benarkah Anya bisa selembut itu? Mengapa dengan dirinya Anya selalu ketus bahkan seolah ingin menerkamnya?
"Ya bu." Terdengar kembali suara Anya, Mario dapat melihat binar bahagia di mata gadis incarannya.
'Dia benar – benar menjadi kucing yang manis di depan ibunya, tapi jika bersamaku? Oh my god! Harimau!'
Anya lalu menutup panggilan telponnya, namun terlihat jika Ia sedag sibuk dengan ponsel di tangannya.
"Yang benar bawa mobilnya Mario." Tegur sang ayah saat melihat Mario terlihat tak konsentrasi menyetir justru sibuk melihat apa yang Anya lakukan.
"Maaf ayah." Jawab Mario sambil tersenyum kaku pada sang ayah karena ketahuan sedang memperhatikan Anya.
Anya masih tetap tak menyadari apa yang sebenarnya terjadi antara ayah dan anak yang ada di depannya kini. Yang ada di dalam benaknya hanya segera mengirimkan uang untuk wanita yang ia sebut sebagai Ibu. Tak ada niatan sedikitpun dalam hati Anya untuk mengetahui apa yang sedang di obrolkan oleh ayah dan anak itu.
Setelah menempuh hampir empat puluh lima menit mobil yang mereka tumpangi akhirnya sampai di tempat yang mereka tuju. Yaitu sebuah proyek bernilai fantastis karena fasilitasnya yang sangat lengkap nantinya.
Anya keluar dari mobil kemudian membukakan pintu untuk sang bos. Mario hanya mampu mendesah nafas berat melihat bagai mana Anya memperlakukan ayahnya.
Anya berjalan tepat di belakang mario dan Pak Burhan. Ditangannya setumpuk berkas Ia bawa.
"Anya, berikan padaku berkas yang kau pegang." Titah Pak Burhan.
"Ini bos." Jawab Anya seraya menyerahkan satu bendel berkas pada bosnya.
"Ayah ingin memeriksa berkas sambil jalan?" Tanya Mario sambil menatap berkas yang lumayan tebal di tangan ayahnya.
"Tidak."
"Lalu untuk apa?" Tanya Mario masih tak mengerti dengan sikap ayahnya.
"Kasian Anya jika harus berjalan sambil membawa berkas yang lumayan banyak ini." Ucap Pak Burhan seraya melirik Mario yang menoleh pada Anya yang justru tak perduli dengan tatapan Mario.
'Sialan aku kalah satu langkah dari ayah.' Batin Mario.
"Selamat pagi Pak Burhan." Sapa Menejer yang di tugaskan untuk memantau pembangunan rumah sakit.
"Selamat pagi, Irwan. Bagai mana pembangunan proyek kita, saya lihat persiapannya sudah ok." Kata Burhan.
"Semua persiapan sudah selesai, kita juga sudah mulai pembangunannya, Pak."
Pak Burhan mengangguk paham, kedua netranya memandang kesekeliling lokasi proyek. Ini adalah mimpinya dan juga mendiang Inge, istri Pak Burhan.
"Saya harap pembangunannya akan selesai tepat waktu." Ucap Pak Burhan lalu menyerahkan berkas yang tadi Ia pegang pada Irwan.
"Ini berkasyang kau butuhkan."
Irwan tersenyum, lalu segera menerima berkas yang di berikan oleh Pak Burhan. Baru kali ini Pak Burhan menyerahkan sesuatu pada karyawannya langsung dari dirinya, biasanya akan ada Anya sebagai perantara.
"Terima kasih, Pak." Ucap Irwan lalu sekilas melirik Anya yang menatap Irwan dengan tatapan biasa saja.
'Tumben Pak Bos ga lewat Anya, jadi ga bisa deketan sama Anya kan.' Batin Irwan yang juga memiliki perasaan pada Anya, maklum saja mereka sudah lama saling mengenal bahkan saat Anya masih menjadi asisten pribadi Inge.
"Bisa antar kami berkeliling?"
"Mari silahkan, Pak." Ucap Irwan yang langsung berjalan di samping Burhan sedangkan Mario yang sejak tadi hanya diam, memilih mundur ke belakang berjalan beriringan bersama dengan Anya, sang gebetan.
Tak ada pembicaraan apapun antara Mario dan Anya, karena Anya justru sibuk mengeluarkan kamera yang Ia bawa lalu membidik lokasi proyek yang sedang di bangun, namun Anya juga sigap mencatat apapun yang di bicarakan sang bos dengan Irwan yang mungkin saja akan diperlukan demi kelancaraan proyek.
Hampir dua jam mereka berkeliling lokasi proyek, kemudian Anya dan sang bos serta Mario sang mantan gebetan pergi meninggalkan lokasi tersebut.
"Kita makan siang dulu, Nya."
"Baik, Pak bos."
"Mario, kita berhenti di warung itu untuk makan siang." Perintah Pak Burhan pada Mario yang bingung dengan lokasi makan siang mereka.
"Warung itu?"
"Iya, kenapa?"
"Ayah tidak salah?"
"Iya, kenapa?"
"Jadi kita makan di warteg?"
"Iya, memangnya kenapa?"
"Ayah masih banyak restoran yang lebih bersih dan layak untuk kita kunjungi, kenapa harus warteg sih?"
Anya dan Pak Burhan tak memperdulikan ocehan Mario, keduanya langsung turun dari mobil setelah Mario menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah warung makan sederhana yang Mario sebut Warteg. Sedangkan Mario hanya membuang nafas kasar, lalu mengikuti kedua manusia yang membuat Mario selalu memutar otak.
"Selamat siang Pak Burhan, Nona Anya.. lama sekali tidak berkunjung kemari." Ucap seorang wanita paruh baya menyapa Anya dan Pak Burhan.
Warung makan ini adalah tempat favorit mendiang Inge, jadi wajar saja jika Anya dan Pak Burhan sudah sangat familiar disana.
Mario semakin bingung, ternyata pemilik warung makan itu mengenal Anya dan juga ayahnya.
'Apa mereka sering makan di sini?'