Cepat atau lambat, Bia memang akan tahu dan wajib mengetahuinya. Kali ini, ekspresinya tidak begitu syok mendengar sedikit latar belakang tentang laki-laki yang masih menjadi suami almarhum mama kandungnya.
"Pi ... kenapa dia mengganggu keluarga Papi sekarang?"
"Soal itu, Papi belum yakin karena belum ada bukti, baru prasangka-prasangka yang mengarah ke sana."
"Oh ...."
Bia meninggalkan ruang tamu. Papi memanggilnya.
"Bia! Tunggu, Papi mau bicara sama kamu."
Bia mengabaikan dan masih saja berjalan pelan.
"Bia! Ga denger kata Papi?"
"Apa lagi sih Pi?"
Papi bergeleng melihat kelakuan Bia, biar begitu, ia tetap berusaha mendekat ke arah Bia. Dengan keadaan yang susah payah, Wilson mencoba bangkit dari duduknya. Badannya semakin renta dan sakit-sakitan. Keluarganya diambang kehancuran.
"Bia, kita bicara sebentar bisa?"
"Aku sibuk, Pi."
"Sepuluh menit aja. Papi janji, ga akan lebih."
Bia terlihat sedang mempertimbangkan keinginan papi.
"Oke, di taman belakang?"
"Ya."
Papi dan Bia berjalan beriringan menuju taman di belakang rumah. Diam-diam, mami membuntuti mereka.
Sementara mereka duduk di kursi yang terpisah, mami mencari spot yang cukup dekat untuk bisa menguping pembicaraan antara suami dan menantunya.
"Bi ... Papi perhatikan, sekarang kamu berubah. Ada apa? Kamu ga betah disini?"
"Ga ada apa-apa, Pi. Aku betah disini."
Bia berusaha menutup-nutupi sesuatu dari papi. Tapi feeling papi lebih kuat.
"Papi mau kamu jujur, setelah kehilangan mami dan Cherry, Papi hanya bisa mengandalkanmu, Bia."
"Aku ga pernah minta papi untuk melakukan itu sama aku."
"Ya, tapi ..."
"Papi tau, perlakukan papi yang begini ini yang buat aku semakin jelek di mata Cherry. Dia selalu menilaiku jahat. Menilaiku matre, cuma mau harta papi."
"Siapa yang bilang begitu? Kamu kan juga anak papi, dulu dan sekarang, kamu tetap anak papi."
"Tapi engga buat Cherry."
"Tunggu! Kenapa kamu selalu melibatkan Cherry? Jangan-jangan, kamu tau dimana Cherry selama ini?"
"Maaf ya Pi, sebenernya aku udah janji sama Cherry, untuk ga bilang tentang semua ini. Tapi, aku rasa semua ini udah waktunya. Papi sama Mami udah saatnya tau tentang ini."
Papi terdiam sejenak. Bia melanjutkannya.
"Jadi, selama ini, Cherry memberitauku soal keberadaannya selama ini."
"Kamu tau dan diam aja?"
"Tunggu, Pi. Dengerin dulu, Cherry ga tinggal di Jawa Tengah seperti saat dia bilang lewat chat waktu itu, Pi."
"Dimana?"
"Dia ada disini, dia ga pernah sekalipun jauh dari rumah ini. Setiap hari, Cherry selalu memantau keadaan Papi sejak Mami menghilang waktu itu."
"Kamu serius?"
"Iya, Pi. Tapi, untuk sekarang, aku ga bisa bilang dimana dia sekarang. Yang jelas, sampai detik ini, Cherry ga pernah sedikit pun ga tau kondisi Papi."
"Cherry tau, Mami udah ditemuin?"
"Tau."
"Mami sama Cherry itu sangat deket. Kenapa dia ga pilang untuk ketemu sama Mami?"
"Semua itu karena Papi."
"Papi? Kenapa, kenapa dengan Papi?"
"Papi ga sadar juga, perlakuan papi ke aku tuh bikin sakit hatinya Cherry. Dia suka marah-marah ga jelas."
Papi mulai menitikan air matanya. Mami yang sedari tadi bersembunyi pun, menangis diam-diam. Air matanya mengalir deras. Tak tahan dengan kesedihannya, ia memutuskan untuk pergindari sana. Entah ada yang menyadari atau tidak keberadaannya sebelum ini.
Mami kembali ke ruang tengah, berkali-kali diusapnya pipinya yang basah. Sementara itu, papi masih duduk berdua di taman belakang bersama Bia. Mereka melanjutkan obrolannya. Obrolan antara dua pria dewasa. Berbicara dari hati ke hati. Mungkin beginilah seharusnya. Ada yang saling memberi pengertian dan peringatan. Agar yang salah tidak semakin salah. Sepertinya Wilson sangat terpukul dengan keterangan yang diberikan oleh Bia.
"Kenapa kami baru bilang?"
"Aku punya perjanjian dengan Cherry."
"Kenapa Cherry masih terus bersembunyi?"
"Soal itu, aku ga tau, Pi."
"Sampaikan salam Papi untuk Cherry, Bia. Papi sungguh menyesal, Papi minta maaf, ga ada maksud sedikit pun untuk menyakiti hatinya. Papi sayang sama Cherry. Papi menyesal."
"Pi ...." Bia menarik nafas panjang, berusaha melanjutkan lagi, "Apa Papi tau, sesuatu udah terjadi dengan Cherry?"
"Apa lagi?"
"Tentang kekuatan yang dimilikinya."
"Kekuatan apa?"
Papi semakin bingung dengan kondisi yang serba tidak ia ketahui. Semakin bertambah usianya, semakin banyak yang tidak diketahuinya perihal anak semata wayangnya.
"Apalagi ini, kenapa begitu banyak rahasia yang tidak kuketahui, tentang putriku sendiri."
Papi terlarut dalam kesedihannya yang datang secara tiba-tiba. Ia tidak bisa lagi menutupi penyesalannya. Tiba-tiba papi ambruk. Badannya roboh ke depan, sambil sebelah tangannya meremas bagian jantungnya.
"Astaga ..., Papi!"
Bia menggendong badan papi yang sudah lemah itu ke dalam mobil, Mami panik dan mengikutinya dari belakang. Tanpa bertanya lebih jauh apa alasannya, dan sepertinya tidak perlu dipertanyakan kepada Bia. Sudah pasti penyebabnya adalah Cherry.
Papi masuk IGD.
Tiga puluh menit kemudian, dokter yang menangani Wilson keluar. Ekspresinya sulit dijelaskan.
"Giman dok?" tanya Mami harap-harap cemas.
"Maaf," ucap dokter sambil melepas kacamatanya.
"Apa maksudnya maaf?"
"Tuan Wilson sudah ...."
"Sudah apa?" desak mami tidak sabaran. Serasa nafasnya juga ikut tertahan di leher menunggu dokter memberi penjelasan.
"Sudah tidak bisa diselamatkan."
Mami tidak percaya, dia menyerobot masuk ke ruang tindakan. Ada tubuh papi yang terbaring dengan wajah pucat dan sudah tidak bernyawa. Tapi, mami berat untuk mempercayai bahwa suaminya telah tiada. Beberapa kali ia menggoyang-goyangkan badan Wilson, memintanya untuk segera membuka mata.
"Papi .... bangun, Pi. Bangun!"
"Mi ...." Bia menepuk pundaknya dari belakang. Bermaksud menguatkan wanita di hadapannya. Wanita yang selama ini menolak keberadannya di rumah itu. Wanita yang kini menjadi ibu mertuanya, kini, nanti dan selamanya.
Bia memang tidak berniat sedikitpun untuk menceraikan Cherry. Apapun dan bagaimana pun kondisinya. Dia sudah menambatkan hatinya pada wanita yang memiliki kekuatan supranatural. Kekuatan aneh dan langka, yang belum tentu dimiliki oleh orang biasa. Bagi Bia, Cherry adalah wanita spesial. Meski menurut Cherry, kekuatan supranaturalnya ia dapatkan akibat kehadiran Bia dalam hidupnya. Tapi, sungguh, itu tidak lantas membuat Bia mundur dan menjauh terhadap Cherry. Bia justru semakin memberikan perhatian pada Cherry, wanita yang sekarang menjadi istrinya. Walaupun Cherry belum memiliki perasaan yang sama dengan Bia, hingga saat ini.
"Mi ...," Bia masih berusaha menenangkan mami.
"Mas Wil ... ayo bangun! Jangan tinggalkan aku sendirian. Meskipun kita sering berselisih faham, tapi aku masih sangat mencintai kamu, Mas. Ayo kita pulang dari sini!"
Mami menangis hingga berteriak di ruangan itu. Perawat juga mencoba menenangkannya. Semuanya gagal, mami bertambah histeris kala perawat lain mulai menutupi wajah Wilson dengan kain putih. Barangkali dunia mami hancur untuk kedua kalinya, setelah mengetahui Wilson akan membawa Bia untuk tinggal bersamanya pada waktu itu.