"Bi ... gue anak yang jahat banget ya?"
"Kenapa lo ngomong begitu?"
"Gue nyesel, kenapa ga dari dulu gue balik. Gue kasih penjelasan ke papi secara langsung. Mungkin dengan begini, papi masih ada di tengah-tengah keluarga kita."
"Penyesalan emang selalu datang belakangan. Bukan waktunya lo menyesal sekarang. Ga akan ada gunanya juga lo nangis semalaman. Biarin papi tenang di sana. Tugas lo berdoa dan jagain mami, demi papi."
"Lo bener, Bi."
Malam itu, Cherry benar-benar merasa penyesalan yang begitu dalam. Hatinya pun terasa sedikit longgar setelahnya. Mungkinkah ini adalah sebuah pertanda bahwa perjanjian itu akan hilang dengan sendirinya jika Cherry berusaha mengikhlaskannya. Cherry tertidur setelah lelah menangis seharian ini. Dalam mimpinya kakek buyutnya datang.
"Apa kamu sudah melupakan dendammu, Nak?"
"Kakek, entahlah ... tapi rasanya, hatiku sedikit lega. Tapi kenapa setelah papi pergi, aku baru merasakan perasaan yang seperti ini, Kek?"
"Kamu akan tau seiiring berjalannya waktu. Teruslah mencoba berbuat baik dan belajar ikhlas, melupakan dendam dalam dirimu. Lambat laun semua kekuatan supranatural yang ada dalam dirimu akan hilang dengan sendirinya. Sebaliknya, jika kamu menyimpan dendam pada orangtua atau keluargamu yang lain, kekuatan itu akan semakin susah di lepaskan. Bahkan kekuatan itu akan merenggut nyawamu jika kamu salah langkah. Kakek yakin, kamu belajar banyak dari hal ini. Jangan sia-siakan orang yang dekat denganmu. Sayangilah mereka. Hilangkanlah rasa dendam itu. Lebih cepat lebih baik."
***
Bia menatap lekat wajah istrinya yang sudah tertidur pulas. Ia memberanikan diri untuk mengusap air mata Cherry yang masih tersisa.
"Gue janji, gue akan bahagiain lo, Cher!"
Bia mendaratkan sebuah kecupan di kening istrinya. Ia beranjak dari sana dan menuruni anak tangga dari kamae Cherry. Samar-samar, Bia mendengar tangisan yang sangat pelan.
"Dari kamar mami?" gumamnya.
Bia mengintip dari celah pintu kamar mami yang terbuka. Melihat mami yang belum tidur, dia mengetuk pintu. Mami membukakan pintuk untuk Bia.
"Bi ..."
"Mami kenapa belum tidur?"
Mami menggeleng, rasanya berat untuk bercerita bagaimana perasaannya malam itu. Bia dengan sabarnya, menunggu Mami, hingga akhirnya mau bercerita tanpa diminta. Dua puluh menit, mereka membisu. Hampir saja mata Bia tertutup karena mengantuk. Namun, begitu mami membuka suara, kantuknya lenyap seketika.
"Bi ... apa selama ini, mami terlalu jahat sama papi ya? Mami menyesal, harusnya, mami tau, posisi papi saat itu memang sulit. Andai Papi tidak pernah membohongi mami, mami akan percaya 100% padanya. Tapi semua sudah tidak ada artinya lagi. Papi udah pergi. Papi mengingkari janjinya pada mami."
Mami menangis terisak dalam pelukan Bia. Bia bingung, apa yang harus ia ucapkan untuk menenangkan perasaan mami yang tengah kalut. Namun, akhirnya Bia memilih diam, mendengarkan semua curahan hati mami. Meski bukan ibu kandungnya, rasa hormatnya tidak kalah dengan hormatnya pada mama kandungnya yang telah tiada.
Bia pergi dari kamar mami setelah tertidur. Barangkali setelah kelelahan karena menangis, sama halnya dengan Cherry. Bia memilih tidur di sofa ruang tamu. Menghabiskan sisa malamnya yang hanya tinggal beberapa jam saja.
***
Pukul 07.00 WIB
"Den ... den Bia." Bibi membangunkan Bia yang masih tidur pulas di sofanya, tanpa selimut atau bantal yang menyertainya.
"Astagaaa.... udah pagi ya, Bi."
Bia sedikit terkejut dengan kehadiran bibi di sampingnya. Selain itu, juga karena kurang tidur semalam.
"Mami sama Cherry udah bangun?"
"Udah den, tapi ga mau turun."
"Ok, makasih ya, Bi ...."
"Sarapan udah siap ya den, nyonya sama non Cherry mau diantarkan ke atas aja?"
"Mmm... itu, biar aku aja, Bi."
Bia menaiki anak tangga dengan sebakul nasi lengkap dengan lauk dan segelas susu untuk Cherry. Ada Cherry yang sedang menyisir rambutnya di depan cermin.
"Cher..."
Cherry menoleh, tapi tidak ada tanggapan apapun selain itu.
"Makan dulu ya, kamu semalem ga makan loh. Nanti sakit, ingat, kamu punya mami yang harus di jaga. Mami hanya punya kamu, sekarang. Jadi sehat dan kuatlah!"
Mendengar itu, Cherry menyuapkan tiga sendok nasi putih tanpa lauk ke dalam mulutnya.
"Lagi ..."
Cherry menggeleng.
"Ok!"
"Habiskan susunya!"
Cherry meneguk setengah gelas susu coklat kesukaannya. Bahkan kini, Cherry lebih mirip sebuah robot yang patuh dengan perintah tuannya. Bia mengambil posisi jongkok tepat di hadapan Cherry yang duduk lesu di depan meja riasnya.
"Gue tau, lo masih sedih, belum bisa nerima kepergian papi yang mendadak. Tapi, bukan berarti masa depan lo berakhir juga. Lo masih muda, cita-cita lo masih panjang. Ada perusahaan papi yang harus kita pegang bersama. Biarkan gue mendampingi elo, selamanya. Gue ga akan ninggalin elo dan mami. Kalian berdua adalah satu-satunya keluarga gue. Please, jadilah gadis kuat dan tegar seperti Cherry yang selama ini marah-marahin gue. Cherry yang garang. Gue lebih suka Cherry yang galak, bukan Cherry yang lemah dan penuh penyesalan dalam hidupnya. Penyesalan memang perlu, tapi bukan berarti harus berlalu terlalu lama. Ngerti kan, maksud gue?"
Bia mengecup kening Cherry. Dia menerimanya, tanpa penolakan. Berkali-kali, air mata Cherry meleleh. Berkali-kali pula, Bia menghapusnya.
"Jadikan gue, laki-laki satu-satunya yang menghapus air mata lo, setelah papi!"
"Lo mau jalan-jalan, sekadar menghilangkan bosan aja."
Cherry menggeleng. Tidak ada ketertarikan sama sekali, sepertinya.
"Ok, kalau gitu, gue turun. Kalo butuh apa-apa, telpon aja. Gue ada di bawah."
Bia mengambil berkas-berkas dan laptopnya yang kemarin ia letakan di dalam lemari di kamar Cherry. Cherry memeluk Bia dari belakang, begitu Bia melangkahkan kakinya sampai di ujung kamarnya, tepat sebelum pintu kamar Cherry ditutup.
"Makasih, Bi. Jangan tinggalin gue, please. Gue butuh elo!"
Sontak, Bia kaget. Tidak percaya tepatnya. Ia segera berbalik arah, namun Cherry menahannya. Bia mengerti.
"Gue ga mau liat wajah lo!" jelas Cherry.
"Gue tau, gua paham dengan perasaan lo. Lakukan saja, teruskan apa yang membuat lo nyaman."
Mereka saling berpelukan tanpa memandang satu sama lain. Tapi kehangatan itu amat terasa. Bia berdiri seperti patung yang sedang dipeluk erat oleh si empunya, seolah patung itu akan pergi meninggalkannya.
"Cher ... udah ya? "
Cherry melepaskan ikatan tangannya dari pinggang Bia. Bia terasa lega. Cherry nampak tersipu malu, Bia menyadarinya. Tapi ia enggan mengomentari penampakan Cherry. Kali ini, Cherry menggenggam erat sebelah tangan Bia. Bia sadar, Cherry tidak mau ditinggal. Bia meletakan kembali perlengkapan kerjanya di tempat semula. Ia mengajak Cherry duduk di pinggiran tempat tidur miliknya.
"Gue akan jagain lo!"
Setelah itu, mereka berdua diam tanpa suara. Hanya hembusan nafas panjang yang terdengar silih berganti. Sesekali saling mencuri panjang.