Kini aku berada tepat di sampingnya, hanya temaram lampu lilin remang-remang sebagai penerangan. Aku hanya menundukkan kepala, sedang yang lainnya bersorak meminta kak Arfanmeniup lilinnya. Laki-laki berkulit hitam manis itu lama memperhatikan wajahku.
"Sar, kita tiup sama-sama ya lilinnya," ajaknya dan aku hanya tersenyum samar.
Jujur aku kikuk berada di situasi ini. Ia mengangguk perlahan memberi aba-aba supaya meniup lilinya. Aku menurut, mendekatkan wajah ke arah kue begitu pun dia, dan perlahan pula kami meniup lilin berdua. Semua kembali bersorak saat cahaya lilin padam. Lampu kembali dihidupkan.
Ibu dan Ayah kembali memaksaku memotong dan menyuapkan kuenya pada anak laki-lakinya. Entahlah aku merasa lucu berada di posisi ini. Mengapa mereka begitu gencar menjodohkan aku dan Kak Arfan.
"Hore! Selamat ulang tahun Kak Arfan," ucap mereka secara bergantian.
"Abang, calon menantu Ibu loh yang bikin kuenya. Ibu mana bisa bikin kue begini."
